Bab 3

1.6K 152 11
                                    

Kicauan bunyi burung di langit yang masih gelap menemani perjalanan Abiandra bersama ibunya menuju masjid. Dia berjalan bersisian dengan Lastri sambil bergandengan tangan.

Udara pagi di daerah Batu yang sejuk menyentuh kulit orang-orang yang berjuang bangun pagi untuk pergi ke masjid. Tidak banyak orang yang datang, sebagian besar warga lebih memilih mendirikan ibadah di rumahnya masing-masing. Hanya tampak beberapa pria paruh baya.

"Mbak Las!" suara seorang perempuan menghentikan langkah mereka berdua.

Lastri menoleh ke belakang, "Eh, Rahmi."

"Iya mbak. Duuuhhh, udah lama gak ketemu." Perempuan yang dipanggil Rahmi oleh Lastri memeluknya, yang dibalas pelukan hangat juga oleh Wanita itu.

"Kamu udah balik, Ra? Kuliah di malang gimana?"

"Alhamdulillah, aku baru sampe kemarin mbak. Kuliahku lagi libur semesteran jadi pulang aja dulu, kangen."

Tambah lagi seorang yang berjalan bersisian dengan mereka berdua. Sambil sesekali Rahmi menggoda Abi yang jarang berbicara itu. Menggelitiknya, bertanya tentang keseharian Abi, dan banyak lagi sampai mereka sampai di halaman masjid.

***

"Jadi masih sering bertengkar, Mbak?"

Lastri mengangguk sambil tersenyum. Dua perempuan duduk di undakan masjid, sedang menunggu Abi yang masih bersama pak ustad di dalam.

"Terus mbak gak melawan?" Rahmi terus bertanya dan Lastri hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan kepala.

Gadis berusia 19 tahun itu mengembuskan nafas. Entah dari tahun berapa pertengkaran keluarga tetangganya ini dimulai. Ah, Rahmi tahu sedikit tentang kisah mengapa mereka bersatu. Tapi bukankah dulu Aried tidak melakukan kekerasan fisik? Apalagi pada Abi yang masih berumur enam tahun.

Dia juga bercerita tentang kejadian kemarin saat Abi tak sadarkan diri akibat tamparan keras laki-laki sialan itu. Rahmi melongo tak percaya, sekejam itukah Aried ketika murka?

"Mbak harus pulang ke rumah orang tua Mbak Lastri."

Lastri mengangkat sebelah alisnya, bingung akan pernyataan perempuan di sampingnya ini.

"Pulang?" ulangnya.

"Iya." kedua tangan Rahmi menangkup tangan wanita itu yang diletakkan di atas pangkuannya. "Mbak memang bisa melindungi Abi dari kekerasan fisik yang Mas Aried lakukan. Tapi, mbak gak bisa hanya berfikir sampai sana. Bagaimana dengan psikis Abi, Mbak? Apa mbak gak pernah berfiikir tentang bagaimana Abi merasakan ketakutan ketika mendengar kalian bertengkar?"

Lastri terdiam. Dia lupa, selama ini dia hanya berpikir bagaimana cara dirinya melindungi kebahagiaannya daei moster gila itu. Tidak ada lebam biru apalagi tamparan seperti kemarin yang seharusnya tidak Abi dapatkan dari sosok seorang ayah.

Dia lupa tentang perasaan Abi. Dia alpa mengetahui, kenapa anaknya itu pendiam dan jarang bergaul. Penyendiri dan takut pada suara yang terlalu keras. Lastri sadar dia belum benar-benar memperhatikan putra kecilnya.

Wanita itu bahkan sebenarnya tidak bisa melindungi Abi dari apapun. Pergi ke mana Abi saat dia bekerja, apakah Aried memperlakukannya kasar saat Lastri tidak di rumah? Meskipun dirinya menjadi perisai untuk anaknya. Namun, tetap lebam biru terkadang tercetak di salah satu lengan Abi.

Hancur, rasanya sudah gagal dia menjadi seorang ibu. Gagal menjadi malaikat pelindung. Gagal menjaga titipan Tuhan yang amat berharga itu. Lalu, Lastri harus bagaimana? Apakah perempuan itu harus mengikuti saran dari Rahmi? Pulang ke kampung halamannya bersama Abi?

Air matanya menetes, rasa sakit menyadari kesalahannya membuat bendungan itu tumpah.

"Mbak? Mbak Las, sudah." Rahmi membawa wanita itu dalam pelukannya. Memberikan sejenak sandaran pada perempuan tiga puluh tahunan itu.

"Sudah mbak, istigfar. Allah tahu yang terbaik buat mbak dan Abi. Ini hanya cobaan. Mbak Lastri harus kuat ya." tangannya mengelus bagian pundak orang yang masih terisak.

"Iya Ra. Makasih atas saran kamu, kayaknya mbak bakal pulang kampung bersama Abi. Mbak ingin Abi terbebas dari pertengkaran mbak dan Mas Aried."

"Iya, Mbak. Iya, itu lebih baik. Biarkan Abi merasa bebas dan tenang untuk sementara waktu."

Kepala Lastri mengangguk pelan dalam pelukan Rahmi. Perlahan air matanya berhenti mengalir. Tidak lama kemudian Abi datang menghampiri keduanya bersama pak ustad. Abi dan ibunya berpamitan pulang terlebih dulu, sedangkan Rahmi pulang ke arah yang berlawanan. Ada sesuatu yang harus dia beli di warung dekat masjid, jadk mereka bertiga berpisah.

Perjalanan menuju rumah sepi dari pembicaraan. Ibu dan anak itu hanya berjalan bergandengan tangan sambil menghirup udara pagi. Pikiran Lastri masih mengingat tentang saran dari Rahmi.

"Abi."

Anak laki-laki di sampingnya mendongak, "Iya, Bu?" matanya menatap bingung.

"Umm.. Kalau Abi sama ibu nginap di rumah kakek, Abi mau tidak?" Lastri berucap ragu-ragu.

Abi melepaskan genggaman tangan ibunya, dia berlari ke hadapan sang ibu dan berkata, "Abi mau!" dengan semangat empat lima.

Sesuai dugaan, Abi menyetujui permintaan ibunya. Anak itu kemudian menjulurkan tangan kirinya yang terkepal ke hadapan sang ibu, membuat Lastri bingung.

Abi membuka kepalan tangannya, "Ini dari pak ustad. Abi dikasi ini tadi waktu bantu-bantu angkat sajadah."

Selembar uang kertas berwarna biru terang dia letakkan pada telapak tangan Lastri. "Ini bisa dipakaikan, Bu? Kata pak ustad ini bisa dibuat jajan, tapi Abi gak bisa makan kertas."
Gelak tawa dari wanita itu pecah, Abi memang masih kecil. Dia polos, dan setiap kata yang keliar dari mulut kecilnya sangatlah lucu.

"Abi, ini lucu juga ya," cubitnya gemas. "Ini bisa kita pakai pergi ke rumah kakek, sayang."

"Cukup, Bu?"

Lastri mengangguk, "Cukup kok. Abi sudah bilang makasih belum sama pak ustad?"

"Iya! Sudah, Bu."

"Abi anak pintar."

Abi tersenyum lebar, menampilkan sederet gigi putihnya.

Alhamdulillah, di saat dirinya bingung harus menggunakan uang tabungan untuk pergi atau tidak. Tuhan membrikannya kemudahan lewat Abi. Anak itu membawakan ketenangan sekaligus kebahagiaan yang nialainya tidak bisa ditukar dengan apapun.

Abiandra: Hujan dan Kenangan di Masa Lalu [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang