Bab 12

1K 114 5
                                    

"Assalamu'alaikum."

Ketukan pintu untuk ketiga kalinya terdengar. "Assalamu'alaikum."

Bahkan sudah sekitar tiga puluh menit wanita berpakaian sederhana itu berdiri di depan pintu rumah seseorang. Namun, selama itu juga tidak ada tanggapan atau pun suara dari dalam rumah.

Mungkin kah penghuninya sedang keluar?

Dia menunggu hingga lima menit, kemudian mengetuk pintu kayu berwarna coklat itu lagi. "Assalamu'alai--"

"Bude?"

Suara anak laki-laki yang familiar terdengar dari belakang. Siti membalikkan tubuhnya, mendapati Abi sudah berdiri menatapnya. Masih sama, baju lusuh bocah laki-laki itu dan barang bawaan yang selalu dipeluknya ke mana-mana, buku dan sebuah pensil yang sudah mulai tumpul ujungnya.

"Assalamu'alaikum, Abi." Siti mengacak rambut keriting anak itu.

"Wa'alaikumsalam Bude Siti."

Setelah mengantarkan Abi kemarin lusa, Siti akhirnya memberanikan diri untuk datang lagi ke rumah berukuran sedang itu. Dia juga sudah mencari tahu tentang keluarga anak bocah laki-laki ini. Dan sekarang, saatnya wanita itu berbicara mengenai suatu hal bersama Lastri, ibu dari Abi.

"Bude ke sini ada perlu apa?"

Meskipun masih kecil dan terlahir dari keluarga kurang harmonis, tapi Abi belajar sopan santun dengan baik. Entah karena rasa takut atau pun akhlaknya yang dibentuk oleh seorang ustad, Abi selalu terlihat sopan pada siapapun yang ia temui.

"Ibu Abi ada di rumah?"

Anak itu menggeleng, "Ibu sama mbah masih ke pasar, De."

Pantas saja berulang kali Siti mengucapkan salam tapi tidak ada yang membukakan pintu.

"Ada perlu sama Ibu Abi?" tanya Abi polos.

"Hmm, sebenernya bude ke sini pengen ngomong sesuatu sama ibu kamu. Tapi kalau--"

"Abi." satu lagi suara yang memotong kalimat Siti, kali ini berasal dari seorang wanita berdaster.

Dua wanita berumur 35 tahunan dan 60 tahunan mendekat dengan barang belanjaannya. Siti masih kebingungan sampai akhirnya dia mengetahui jika mereka berdua adalah ibu dan nenek dari Abi. Perkenalan singkat yang terjadi di luar rumah, membawa wanita paruh baya itu lebih mengenal keluarga Abi.

Banyak hal saling mereka ceritakan. Walaupun awalnya masih canggung, bahkan Lastri sangat tertutup tentang masalah keluarga yang menimpanya dulu. Perlahan saling terbuka, bercerita tentang masa-masa pahit yang pernah dilalui. Sedangkan Abi dan neneknya berada di dapur menyiapkan makan siang.

"Jadi, ada alasan saya datang ke mari."

Lastri mendengarkan sedikit ragu, "Alasan? Alasan apa mbak?"

"Abi, kamu tahu tidak kalau dia sudah dapat menulis dan berhitung?"

Abi? Anaknya dapat berhitung? Jika menulis Lastri tahu, dia pernah melihat anak itu menuliskan kata bapak, ibu, dan Abi pada buku yang dibelikannya. Namun untuk sebuah kalimat?

Lastri menggeleng ragu, "Memangnya mbak siti pernah liat Abi menulis?"

Sudah Siti duga, Lastri belum mengenal sepenuhnya Abi. Dia hanya merasa kasihan, mengikat batin antara ibu dan anak. Tetapi tidak mengetahui kegiatan apa yang setiap hari anaknya itu lakukan, hingga kemampuan Abi pun dia tidak pernah tahu.

Panjanh lebar Siti menecritakan tentang anak itu. Anak yang membuatnya kagum akan kesabaran yang dihadapinya dan perkembangan potensinya. Padahal dia belum masuk pada satu pun lembaga pendidikan.

Wanita itu juga menceritakan tentang wajah Abi yang murung ketika ditanyai masalah sekolah. Itu juga yang alpa Lastri perhatikan. Dia lupa jika umur anaknya itu sudah cukup untuk bersekolah. Dia hanha sibuk mencari nafkah dan memikirkan masalahnya dengan Aried.

Mungkin ketika dia tidak ada di rumah Abi sering melihat anak sekolah yang hilir mudik lewat di depan masjid? Apakah itu juga yang membuatnya minder untuk bermajn bersama dengan anak seusianya?

"Saya ingin memasukkan Abi ke sebuah lembaga pendidikan, Las."

Lamunan sememtaranya terhenti, dia menatap lurus manik kecoklatan milik Siti. Tulus, dia mengerti apa yang dimaksud perempuan ini. Tapi Lastri tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai Abi bersekolah. Emaknya? Rasanya tak mungkin meminjam uang pada orang yang sudah ia repotkan.

Terlebih, seharunya dia memberikan sesuatu pada emaknya yang mulai menua. Bukan malah membebaninya dengan menampung dirinya dan Abi di sini.

"Aku juga ingin, Mbak. Tapi aku tidak memiliki uang untuk membiayai Abi bersekolah. Pekerjaanku hanya cukup untuk makan sehari-hari."

Kepala Siti menggeleng pelan, dia tersenyum sambil menggenggam kedua tangan Lastri yang diletakkan di pangkuan. "Gak perlu cemas masalah biaya. Saya akan membantu kamu, Las. Saya yang akan mencarikan Abi biaya untuk sekolah."

"Tapi Mbak. Gimana caranya?" Lastri melihat pakaian Siti yang sangat sederhana. Dia dapat menebak wanita ini bukanlah wanita kaya raya. Lalu, memberikan sebuah bantuan untuknya?

"Aku punya panti asuhan, Las."

Panti asuhan? Tetapi Abi masih memiliki orang tua, bahkan lengkap. Kami tidak bercerai dan menelantarkan dia.

"Kamu gak usah khawatir. Gak usah bingung. Ada lembaga pendidikan yang bisa Abi masuki dengan dana dari yayasan saya."

"Mbak benar mau membantu Abi sekolah?"

Siti tertunduk, dia tersenyum tulus. "Abi itu seperti saya dulu. Ketika melihat dia, saya jadi teringat pada masa lalu yang lebih sulit dari sekarang. Jadi, yah... Membantu membangkitkan cita-cita Abi mungkin bisa membuatnya sedikit senang."

"Oh iya, nanri ada beberapa surat yang perlu kamu penuhi dulu. Baru dana itu bisa keluar untuk Abi. Nanti akan saya bantu sampai semuanya selesai."

Air mata bahagia Lastri mengalir. Dia tidak tahu, masih ada orang sebaik Siti di zaman sekarang. Dia berterimakasih karena wanita itu mau membantu anaknya mendapat pendidikan yang layak. Lastri sungguh berterimakasih karena Tuhan mengirimkan Siti untuknya dan Abi.

Dari arah dapur, diam-diam Abi menguping pembicaraan dua orang wanita di ruang tamu. Dalam hatinya rasa senang menguasai. Dia ingin melompat dan beteriak terimakasih untuk Siti. Akhirnya setelah sekian lama belajar sendiri, Abi bisa belajar bersama dengan anak lain. Berseragam putih merah, memakai separu, dan tas gendong untuk menyimpang buku-bukunya. Rasanya tidak sabar.

Aku akan bersekolah!

Abiandra: Hujan dan Kenangan di Masa Lalu [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang