Ketika kenangan masa kecil
Yang harusnya penuh akan kebahagiaan
Berubah menjadi
Sebuah petaka
Kenangan buruk
Bahkan terlalu pahit untuk diingat.
"Itu karena kamu mendidik anak yang kurang becus!"
PRANG
"Memamgnya apa kerjamu selama ini, Mas?"
Keributan kecil
Bahkan besar
Selalu kudengar menembus tirai kamar yang menjadi pembatas ruangan.
"Akh! Dasar wanita tak tau diuntung!"
PLAK
Bahkan bunyi dari tamparan yang selalu membuatku ketakutan.
Mengisi malam
Pagi
Siang
Bahkan sore
Aku menggil ketakutan di bawah selimut buluk yang sudah tak enak baunya.
Menangis sambil menutup telinga.
Meringkuk di atas kasur keras dari kapuh yang sudah lama berjamur.
Akankah
Tuhan memberikanku kebahagiaan?
***
Detak dari jam dinding yang diletakkan dekat dengan kasur membangunkan anak kecil yang tertidur pulas. Bunga tidur yang indah, dan kenyataan setelah bangun yang pahit.
Air mata di pipinya sudah mengering, dia harus cepat-cepat bangun sebelum wanita itu datang. Kaki kecilnya berjinjit melangkah keluar dari kamar menuju sumur di belakang rumahnya.
Ini masih pagi, bahkan langit masih terlihat petang dengan hiasan bulan dan bintang. Ayam warga mulai berkokok nyaring membangunkan makhluk yang berada dalam alam mimpi.
Anak kecil itu menarik tali untuk mengambil air dari sumur. Beban air yang cukup berat tidak menyurutkan niatnya. Abiandra terus menarik tali agar ember berisi air itu naik.
"Wah, sudah bangun jam segini?" Tangan lain yang cukup besar, memegang tali dua puluh senti jaraknya dari pegangan Abiandra.
Kepalanya mendongak melihat siapa pemilik tangan itu, "Bang Bimo."
Laki-laki betubuh tambun tertawa, "Pagi Abi. Sudah besar ya kamu."
"Iya, Bang," ucap Abi.
Bimo menggantikan Abi menarik dan mengisi jrigennya dengan air, sambil mengajak anak itu berbicara mengenai apa saja yang bisa menjadi topik pembicaraan.
Seperti biasa, anak ini tidak pernah vanyak bicara. Dia menjawab seperlunya. Bimo menatap Abi di samping yang tengah mengambil wudhu. Lebam di bagian tangannya membuat sesuatu dalam dadanya nyeri, iba.
Masih enam tahun, tapi dia sudah merasakan pahitnya rasa sakit. Tetangga seperti dirinya bahkan tidak mampu berbuat apa-apa.
"Ini cuma dua, Bi? Mau Bang Bimo anterin ke rumah gak?" Dua jrigen sedang yang terisi penuh oleh air, Bimo letakkan.
"Gak perlu repot-repot, Bang. Abi bisa sendiri. Suwun."
"Beneran gak mau?"
Kepalanya menggeleng pelan, "Iya, Bang. Abi bisa sendiri, mari," ucapnya sambil membungkuk, terbirit-birit menenteng dua jrigen di masing-masing tangannya.
Tidak banyak yang bisa Bimo bantu. Dari tempatnya, dia memperhatikan kepergian laki-laki kecil itu.
Semoga suatu hari kamu diberikan kebahagiaan, Bi. Kebahagiaan lebih daripada saat ini.
Lengannya terasa nyilu. Tapi Abi terus membawa jrigen-jrigen itu. Kalau dia sampai telat, nasib wanita itu yang akan menjadi taruhannya.
"Sedikit lagi, Bi. Kamu bisa," ucapnya menyamangati diri sendiri.
Untunglah kecil itu tidak terlalu jauh jaraknya dari sumur tempat biasa dia dan ibunya mengambil air untuk keprluan sehari-hari. Hujan semalem membuat tanah di sekitar menjadi licin. Abi harus berhati-hati, jika tidak dia akan terjatuh dan menumpahkan isi jrigen-jrigennya.
"Asslamu'alaikum," Abi memasuki rumah.
"Wa'alaikum salam. Abi, ibu cari kamu di kamar ternyata udah ngambil air duluan. Ditinggal nih ceritanya," Wanita dengan daster yang mulai luntur warnanya mengambil dua jrigen dari tangan Abi.
Dia meletakkannya sesaat, kemudian mengusap kepala anak laki-lakinya. Abi tersenyum, pagi ini tidak ada keributan. Dia bangun tepat waktu dan ibunya juga sudah bersiap untuk memasak.
"Bentar lagi adzan. Abi ke masjid ya? Ibu mau masak dulu."
"Iya, Bu."
Abi berlari ke arah kamarnya, dia mengambil sarung dan kopiah kecil kemudian berlari lagi ke luar dari kamar.
Namun, karena tidak memperhatikan jalan dan terburu-buru. Abi menabrak seseorang yang selalu membuatnya tidak nyaman berada di rumah.
"Kamu punya mata gak sih?!" bentak pria paruh baya yang ditabrak.
"M-maaf, Pak," kepalanya menunduk takut. Kedua tangannya mencengkram sarung kuat-kuat.
"Makanya jalan itu pake mata kamu!"
"Sudah lah, Mas!" Lastri berlari ke hadapan suaminya, melindungi Abi di belakangnya. "Abi, kamu pergi duluan ya, Nak."
Dengan anggukan sebagai balasan, langkah kecilnya berlari ragu keluar dari rumah.
"Oh, bagus. Sekarang kamu bertindak sebagai pahlawan. Sudah congkak rupanya gayamu itu." Nada berat dan besar terdengar dari dalam rumah.
"Aku hanya melindungj anakku daei monster seperti kamu, Mas!"
PLAK
Lagi-lagi pertengkaran terjadi. Abi kira, pagi ini semuanya sudah berjalan lancar. Abi kira, paginya tidak akan berubah menjadi kekacauan. Abi kira, dia bisa menikmati paginya tanpa perlu bersedih dan takut.
Kiraan yang selalu salah dan tidak sejalan dengan apa yang ada dalam cerita Tuhan.
Laki-laki kecil itu tidak dapat berbuat apapun. Dia memandangi rumahnya dari kejauhan. Melihat siluet samar pertengkaran kedua orang tuanya. Setiap hari, tidak ada hari tenang tanpa pertengkaran dari keduanya.
Sarung yang terselempang dia remas. Mereka yang dalam tahu tidak jika hati Abi sekarang ini sedang tergores? Tahu setiap Abi mendengar semuanya Abi merasa ketakutan?
Dia menghapus kasar air mata yang sedari tadi menuruni pipinya. Abi berbalik, berlari ke arah masjid. Suara adzan sudah memanggil.
Malam ini, Abi ingin berdua dengan-Nya. Bercerita dan memohon sebuah kebahagiaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abiandra: Hujan dan Kenangan di Masa Lalu [SELESAI]
General Fiction#7 in General Fiction Hujan membuatku ingat, pada masa di mana aku belum.bisa tersenyum bahagia. Namun, aku tetap menyukainya. Masa lalu memang terasa sangat pahit. Namun sayangnya, aku tidak bisa memutar kembali kemudian memperbaikinya. Kesalahan a...