Bab 19

783 87 4
                                    

Pukul empat pagi, adzan subuh sudah berkumandang. Menggema mengisi ruang kosong di langit bumi. Banyak orang berbondong berjelan ke arah masjid untuk menjalankan ibadah pagi dia rakaat.

Namun berbeda dengan Lastri yang berjalan modar mandir, ke sana kemari menunggui cemas seseorang yang sedari malam belum kunjung pulang. Anak itu! Benar-benar tidak mendengarkan apa yang aku katakan!

Irma yang baru bangun duduk di kursi ruang tamu memperhatikan ibunya. Dia juga sama-sama takut karena kakaknya belum kembali dari tempat game, padahal ibunya ternyata sudah pulang jam sembilan malam.

Dia meminta izin pada tetangganya untuk pulang lebih dulu karena harus mengurusi ibu dan dua anaknya di rumah. Tapi begitu sampai, hanya ada Romlah dan Irma yang sudah terridur di pangkuan neneknya. Lalu di mana Abi? Dia baru tahu ke mana perginya anak itu ketika Irma bangun dan mengatakan jika kakaknya sedang ke tempat bermainnya.

Dan, sampai sekarang tidak ada tanda jika Abi akan kembali. "Di mana anak itu!"

Barulah sekitar jam delapan pagi, di mana matahari sudah menampakkan sinarnya. Anak itu datang dengan wajah penuh kelelahan, memasuki rumah.

"Abi!" teriak Lastri begitu anaknya berada di ambang pintu masuk rumah.

Abi terlonjak kaget, matanya yang sudah penuh lingkaran hitam mendongak menatap siapa orang yang meneriakjnya barusan. Dan, dia menemukan ibunya yang bermuka menakutkan, seolah siap menerkam Abi berdiri berkacak pinggang.

Anak itu tidak mengira ibunya sudah pulang, dia tidak tahu jika Lastri akan kembali ke rumah karena wanita itu mengatakan jika akan pulang larut. Itu artinya kemungkinan wanita itu akan menginap dan pulang hari ini. Tapi mengapa Lastri yang bisa sampai lebih dulu di rumah?

Tangan kecik yang tetap kurus itu ditarik paksa, diseret memasuki kamar mandi rumah yang tidak terlalu besar. Lastri mendiamkan anak itu di depannya. Mengambil air dingin di dalam bak mandi dan mengguyurkannya ke badan Abi.

"Dasar anak nakal!" air dingin menyentuh ubunnya.

"Sudah dibilang jangan pulang larut lagi tapi kamu malah pulang keesokan paginya lagi!" guyuran air membasahi sekujur tubuh Abi.

"Membangkang perintah orang tua!"

Byar

Lastri terus menyiramkan air dingin itu tanpa henti. Dia juga mengucapkan segala kekesalan yang awalnya berasal dari rasa khawatir berlebih. Dan Abi hanya mampu meminta ampun dan maaf pada ibunya. Dia menggigil, kedinginan, suhu air dan pagi di Kota Batu membuat dinginnya air seperti bongkahan es batu.

"A-ampun, B-bu. A-abi m-minta m-maaf."

"Kamu bikin ibu khawatir!"

Guyuran demi guyuran, sepuluh menit berlalu. Tidak ada niatan dari kekesalan Lastri untuk padam, hingga akhirnya Abi yang sudah tidak kuat lagi menahan dinginnya air terjatuh di lantai kamar mandi.

Kepalanya menghantam lantai kamar mandi, dengan tubuh lemas dan pucat. Badannya menggigil, gemetar merasakan dingin. Lastri yang melihat anaknya rubuh kaget, dia tak sempat menahan tubuh Abi sampai kepala anak itu membentur lantai.

"Abi!"

Kesalahan yang terulang, kebodohan yang dilakukan, amarah yang lebih dikedepankan daripada rasa kasih sayang yang hilang akibat rasa kesal. Lastri mengulang, melakukan dan menuai hasil dari itu semua.

Tubuh anaknya yang tergeletak tak berdaya menohoknya hingga saraf di tangan dan dadanya berdenyut nyeri.

"TOLONG! MAK, IRMA! TOLONG ABI!" teriaknya dari dalam kamar mandi, berharap ada seseorang yang mendengarnya di luar sana.

Satu orang yang datang dan iru adalah Irma, anak bungsunya. "Kakak!"

Disusul oleh Romlah yang berjalan kesulitan ke arah kamar mandi, "Astagfirullah, Lastri! Kamu apakan Abi sampai begini?"

Perempuan itu hanya mampu menangis, "Panggilkan warga, Irma. Minta tolong, tolong selamatkan Abi!"

Anak gadis itu menganggku mengerti, dia berlari keluar rumah dan berteriak meminta tolong warga sekitar. Tidak lama kemudian, beberapa pria datang. Bertanya ada apa namun langsung menggendong Abi begitu melihat anak itu sudah lemas karena kedinginan.

Abi dilarikan ke rumah sakit terdekat. Tubuhnya mengalami kedinginan yang hebat sampai harus diopname beberapa waktu. Anak itu juga belum sadar dari tidurnya. Entahlah, bahkan dokter tak menjamin dia bisa sadar atau tidak. Itu bergantung Abi, bergantung sampai di mana usahanya untuk bangun dan membuka mata.

Ibunya yang mendengar penjelasan dari dokter shock. Lastri yang sudah mengalir air matanya, terpaku. Duduk menatap tak percaya, kesalahannya membuat nyawa putranya itu terancam. Saat ini, hanya penyesalan yang tertinggal. Hanga ketakutan akan kehilangan Abi yang hadir.

Maafkan ibu. Maafkan ibu, Nak.

***

Mata hitam anak itu menatap kosong ke langit biru lewat jendela kamar rumah sakit. Pikirannya kosong, hatinya hampa. Tidak ada yang bisa dia pikirkan kecuali satu.

"Aku ingin mati."

Seorang wanita memasuki kamar rawat anak laki-lakinya. Dia dibantu yayasan Ibu Siti dan beberapa tetangganya untuk membayar biaya kamar rumah sakit. Dua hari akhirnya anak itu sadar kembali. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari Abi.

Dia hanya menatap langit tiap harinya, tidak berbicara. Bahkan terlihat tidak memiliki semangat untuk hidup.

"Abi, makan dulu ya. Ibu belikan bubur." Ucap Lastri.

Namun tidak ada respon dari Abi. Tidak ada sama sekali niatan untuk menoleh pada ibunya. Keadaan anaknya membuat dia semakin merasa bersalah. Merasa kecewa terhadap diri sendiri. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apa yang harus Lastri perbuat agar Abinya yang dulu kembali lagi?

Bekas luka lebam di tangannya juga menyedarkan wanita itu, seolah berbkcara dalam diam. Seberapa kejam sudah anak itu menerima penderitaan.

Abiandra: Hujan dan Kenangan di Masa Lalu [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang