“Cintaku untukmu, hanya diriku yang tahu”
Rifki tersenyum, “Hai”
Keola membeku, masih belum yakin dengan apa yang dilihatnya sekarang. Pria yang sangat ingin ia temui sekarang berdiri di hadapannya bahkan datang ke kelasnya.
“Siapa dia? Kenapa Rifki menemuinya?”
Suara itu membuat Keola menoleh, ia memperhatikan sekitarnya. Beberapa mahasiswi yang lewat berbisik, bahkan ada yang terang-terangan menatap tidak suka. Ia menunduk berusaha untuk tidak peduli.
“Maaf kalau membuatmu merasa nggak nyaman”
Keola mengelengkan kepala, “Bu-bukan begitu. Tapi....” Ia menegakkan kepalanya, bola matanya berlahan bergerak ke atas.
Mata indah itu sedang menatapnya. Nafas Keola tersekat, oksigen di sekitarnya seakan menipis. Ia akan terbunuh jika terus seperti ini.
Mungkin karena sudah terlalu lelah menunggu, mulut Keola mengeluarkan kata di luar kendalinya, “Aku malu”
Pupil mata Keola membesar, tangannya dengan cepat menutup mulut. Bukan itu yang ingin ia katakan. Sedangkan Rifki, pria itu mendongakkan kepalanya, melihat kesembarangan arah kemudian menunduk sambil mengusap tengkuknya ia tersenyum malu-malu.
“Minggir! Aku mau lewat, jangan berdiri di depan pintu!” bentak seorang mahasiswi kemudian menyenggol bahu Keola sebelum masuk ke dalam kelas.
Keola menatap mahasiswi itu tajam ingin berkata-kata kasar. Tapi sekarang masih ada Rifki, jadi ia harus menjaga sikapnya. Keola menarik nafas panjang dan menghembuskannya.
‘Sabar... sabar,’ batin Keola berusaha menahan dirinya.
“Bukankah itu mahasiswa yang bersama Keola kemarin siang?” tanya Willian sambil menunjuk ke arah Rifki.
“Ckckck, sepertinya harapanmu sangat kecil”
Hamdan menggelengkan kepalanya sambil menepuk-nepuk pundak Alvis.
“Berhentilah mengatakan hal seperti itu! Kamu membuatnya jadi pesimis”
Wiliam menepis tangan Hamdan kemudian merangkul bahu Alvis, “Tenang saja! Sebelum janur kuning melengkung masih milik bersama, setelah melengkungpun kamu masih bisa menunggu jandanya” bisik Wiliam.
Mulut Alvis masih tertutup rapat, matanya terus menatap ke arah Keola. Segaris senyuman membelah bibirnya, ia tersenyum miring. Mulutnya terbuka, tiga buah kata terucap, “Dia bukan Eldya”
Hamdan dan Wiliam saling bertatapan dengan wajah bingung. Hamdan mengangkat bahunya, memberi isyarat bahwa ia tidak mengeti maksud ucapan Alvis begitu juga dengan Wiliam.
__***__
Keola menyesap jus apelnya sambil sesekali melirik ke arah Rifki yang duduk di hadapannya. Ia gugup, sama seperti saat pertama kali mereka bertemu dulu. Walaupun sekarang statusnya sudah berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Isn't Over
Teen Fiction"Kau mengakhiri semua ketika aku sudah benar-benar mencintaimu Taukah kau mengobati luka tak semudah itu? Melupakan, aku butuh tak sedikit waktu Menjalin hubungan jarak jauh itu bukanlah sebuah musibah, tapi kenapa kau menjadikan itu sebagai alasan...