Axel.
Bendera kuning masih bertengger di gerbang rumahmu. Ketika itu aku baru saja sampai setelah melancong ke luar kota. Kulihat tubuhmu terbaring kaku, sudah terbungkus kafan, sedang dishalatkan.
Aku sungguh menderita. Kau benar-benar membuatku menangis terisak. Sebagai sahabat, mengapa tak pernah sekali pun kau berbagi duka denganku? Mengapa kau selalu saja mendahulukan kepentinganku? Di saat kau sakit, kau bahkan tak pernah mengatakannya padaku?!
Rasanya aku ingin marah padamu. Tak bisa menerima kenyataan. Ingin kuteriakan rasa kecewaku. Penyesalanku. Tapi, apalah gunanya semua itu? Kau sudah berpulang dan aku tak mampu mengubah takdir. Entah mengapa, aku merasa begitu jahat. Kehilanganmu adalah cambuk terbesar bagiku.
Desemberku berduka lagi. Nisan dengan ukiran namamu tertanam di seonggok tanah merah bertaburkan bunga rampai. Dan di samping nisanmu, telah kusimpan kado ulang tahun yang sedari dulu kau minta dariku.
Empat belas desember. Bertepatan dengan hari lahirmu ke dunia. Kini, kau pun pergi di hari yang sama.
Selamat jalan sahabat terbaikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Desember [Complete]
PoesíaMake it December to remember! (Tulisan random di bulan Desember)