Dahi Shirlen berkerut, ia masih bingung dengan apa yang dibicarakan oleh Sherly. Ia pun mencoba menelpon balik saudari kembarnya itu. Berulang kali ia melakukan panggilan, namun Sherly tak kunjung mengangkat teleponnya.
"Halo, Sherly?"
Dan akhirnya Sherly mengangkat teleponnya setelah panggilan ke 13. Namun ia tak berkata apa-apa, mulutnya bungkam.
"Sherly, jawab gue dong! Jangan diem aja!"
"..."
"Sherly? Sherly? Lo denger gue kan?"
"..."
"Sherly, jangan diam aja! Jawab gue dong!"
Shirlen terus berusaha membuat Sherly bicara.
"Gue capek, Len," ucap Sherly kemudian, setelah lama berdiam diri melipat mulut.
"Maksud lo apa?"
"Gue capek hidup di dunia. Nggak ada yang sayang sama gue."
"Lo kok ngomong kayak gitu sih?"
"Gue mau mati aja."
Mata Shirlen mendelik kaget ketika mendengar saudarinya berkata seperti itu. "Jangan gila lo!"
"Mati. Gue mau mati."
"Ly, kita bisa bicarain ini baik-baik. Sekarang lo tenang dulu."
"Kalau lo nggak dateng ke sini dalam waktu 3 jam. Gue akan mati setelah 3 jam itu habis."
Tuuuuttt...
"Halo? Halo? Sherly?"
Sherly mematikan panggilannya. Ya! Shirlen sudah menghabiskan waktu satu jam untuk menghubungi Sherly. Sekarang waktunya menuju Bandung hanya tinggal 3 jam.
"Gimana nih? Gue harus mencari cara buat menghentikan tindakan Sherly. Dasar bocah idiot! Pasti dia pengen kita tukeran sekolah lagi," gumam Shirlen sambil menggigiti kuku jarinya.
Dua tahun lalu, awal mereka masuk SMA, Shirlen dan Sherly diam-diam pernah bertukar sekolah. Alasan Sherly sama. Karena ia ingin mati hingga membuat Shirlen kelabakan menemuinya waktu itu.
"Halo, Devan?" Kali ini Shirlen menghubungi Devan, berharap pacarnya itu dapat mengantarkannya ke stasiun.
"Halo, Shirlen? Ada apa?"
"Lo bisa nganterin aku ke stasiun?"
"Aduuuh, maaf banget. Sekarang aku ada di dalam kereta menuju ke Jogja. Aku mau ke rumah Budhe."
Shirlen menggeplak keningnya sendiri. Ia lupa kalau Devan sekarang menuju Jogja. Kalau dia naik taksi, pasti ia terkena macet. Kalau ia naik gojek, belum tentu si abang gojek bisa diajak ngebut. Itu semua karena tidak semua tukang gojek itu lelaki muda, banyak juga yang sudah lanjut usia.
"Aduh, gue telepon siapa nih?" Shirlen sedari tadi mondar-mandir kebingungan.
"Apa... gue harus telepon..." Satu nama yang membuat Shirlen bergidik ngeri. "Sena?"
Ratusan orang yang ia kenal di dunia ini? Lantas, mengapa ia harus menelpon Sena dan meminta bantuannya? Shirlen masih menimbang. Ia masih berpikir hal yang sama. Kalau dia naik taksi, sudah dapat dipastikan ia akan terjebak macet. Kalau naik gojek, belum tentu abang gojek mau disuruh ngebut karena tidak semua tukang ojek online itu adalah pria ganteng berdarah muda. Bapak-bapak lanjut usia juga banyak yang beralih profesi menjadi tukang ojek online.
"Halo Sena?" Akhirnya Shirlen memutuskan untuk menelpon Sena setelah berpikir keras, menimbang berulang kali apakah ia harus naik taksi, ojek online, atau meminta bantuan Sena.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Bad Boy
Teen FictionCover by : prlstuvwxyz "Gue mau jadi selingkuhan elo," ucap Sena dengan tatapan datarnya. Mata Shirlen terbelalak, mulutnya menganga, sedangkan otaknya masih berputar-putar, bertanya-tanya mengapakah bad boy yang tidak pernah sedikit pun berbicara d...