Chapter 18

4.7K 429 8
                                    

Selama ini Devan merasa telah berpacaran dengan orang yang berbeda. Shirlen tak seperti Shirlen yang ia kenal sebelumnya. Shirlen yang ia kenal adalah sosok gadis yang sangat pemberani, cerewet, dan ceplas-ceplos. Tapi Shirlen yang sekarang malah terkesan kalem, pendiam, dan lemah lembut. Apa mungkin Shirlen punya kembaran? Devan selalu menampik pertanyaan itu. Karena menurutnya itu sangat mustahil. Dia sudah lama berpacaran dengan Shirlen. Tapi Shirlen tak pernah bercerita kalau dia punya saudara apalagi kembaran.

"Riska, lo kalau ngomong jangan suka ngaco deh!" tegur Devan. "Nggak mungkinlah Shirlen punya kembaran."

"Ris, kayaknya elo kebanyakan nonton sinetron," imbuh Sherly.

"Iya. Gue kayaknya kebanyakan nonton sinetron nih." Riska malah tertawa terbahak-bahak, mengingat ia sempat berpikir bahwa Shirlen punya kembaran dan bertukar tempat dengan kembarannya itu.

Setelah puas bercakap-cakap di kantin, Sherly, Devan, dan Riska kembali ke kelas masing-masing. Devan masih memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal seperti adanya kembaran Shirlen. Diam-diam, Devan memperhatikan Sherly dari kejauhan.

"Kalaupun Shirlen punya kembaran, pasti Shirlen dan kembarannya punya  perbedaan," pikir Devan.

"Devan, apa kamu bisa menjawab nilai x nomor lima?" tanya Bu Tutik.

Devan terkesiap, lamunannya seketika buyar. "Eh iya, Bu."

Devan maju ke depan kelas dan menjawab soal matematika dari Bu Tutik. Setelah Bu Tutik mengkoreksi jawaban Devan, terdengar bel pulang sekolah berdering nyaring. Dan Devan kembali tercenung.

"Oke anak-anak, sampai jumpa besok lusa. Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh," kata Bu Tutik setelah selesai mengemasi barang-barangnya.

"Waalaikum salam," sahut semua anak kelas IPA dengan riang.

Devan melihat sejenak keluar jendela. Hujan gerimis mulai bercucuran membasahi aspal yang tadinya panas. Setelah mengemasi buku dan alat tulisnya ke dalam tas, Devan berjalan menghampiri Sherly.

"Shirlen, ayo kita pulang bareng!" ajak Devan.

Sherly tersenyum lalu mengangguk. Ia mengemasi barang-barangnya dan berjalan keluar kelas bersama Devan. Sherly mendongak ke atas, menatap langit mendung dengan rintik hujan tipis yang biasa orang sebut gerimis.

"Yaaaa hujan," kata Sherly kecewa.

Devan melepaskan jaketnya lalu merentangkan jaket tersebut ke atas kepala Sherly. "Ayo kita ke parkiran sebelum deras!"

Sherly mengangguk dan berlarian bersama Devan menuju tempat parkir yang jaraknya lumayan jauh dari kelas mereka. Hujan tiba-tiba mendadak deras, membuat mereka semakin cepat berlari menuju tempat untuk berteduh.

"Nggak nyangka hujannya tambah deras tiba-tiba." Sherly mengusapi seragamnya yang sudah setengah basah.

Devan membersihkan embun-embun yang ada di rambut Sherly. Tangannya tercekat ketika ia tak sengaja menyingkap poni Sherly. Matanya memicing, memastikan ia melihat tahi lalat di gadis yang ia anggap sebagai Shirlen. Seingatnya, Shirlen tak memiliki tahi lalat di keningnya.

"Dev, kenapa? Kok bengong?" tanya Sherly.

"Enggak. Nggak apa-apa kok." Devan menggeleng berbohong. Kecurigaannya selama ini mungkin benar adanya. Shilen memiliki kembaran!

***

Sena berjalan beriringan dengan Shirlen. Sesekali ia mencuri pandang ke pacarnya itu. Sena gelagapan kembali menghadap ke depan setelah Shirlen memergokinya mencuri pandang.

"Ada apa sih? Kok ngeliatin terus?" tanya Shirlen ketus.

"Ngeliatin pacar sendiri itu boleh. Tapi kalau ngeliatin pacar orang lain, baru nggak boleh," jawab Sena santai.

"Ngomong-ngomong, aku masih penasaran kenapa kamu suka sama aku."

"Kan aku udah bilang, aku nggak butuh alasan buat suka sama kamu."

"Tapi aku butuh alasan, Sena. Iiiiih." Shirlen menggeram kesal.

"Ya udah aku jawab deh. Aku suka sama kamu tuh karena kamu baik."

"Baik dari mananya?"

"Yaaa baik. Gitu aja."

"Aku aja ngerasa kalau aku bukan cewek yang terlalu baik atau gimana-gimana."

Sena menggaruk rambutnya yang tak terasa gatal. "Aku bingung ngomong sama kamu. Lagian nggak ada orang baik ya mengaku-ngaku kalau dirinya baik. Ya kan?"

"Iya juga sih." Shirlen mengangguk mengiyakan.

"Ngomong-ngomong, kapan kamu akan kembali ke tempatmu?"

Shirlen mengedikkan bahu. "Nggak tau. Mungkin sampai Sherly mau memberikan tempatku dengan sendirinya. Aku takut dia nyoba bunuh diri lagi."

"Tuh kan. Kamu baik."

"Enggak kok. Aku nggak baik."

"Kalau kamu nggak baik, pasti kamu udah ngerebut hak kamu dari Sherly dan kembali menikmati hidupmu yang menyenangkan itu."

"Seharusnya kamu ikut lomba debat, Sena. Lidah kamu tuh lincah banget." Shirlen melipat tangan sembari mengerucutkan bibirnya.

Sena terkekeh lalu mengacak gemas rambut Shirlen. "Udah ah. Jangan cemberut gitu. Yuk nge-game!"

"Ayuk!" sahut Shirlen semangat.

My Secret Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang