Ketika kamu berubah, aku akan menerimamu.
Sherly duduk di kantin bersama Riska dan Devan. Dia merasa sangat bahagia mempunyai sahabat yang apa adanya menerima dirinya bahkan ia kini mempunyai pacar meskipun pada kenyataannya Devan adalah pacar saudara kembarnya tapi ia sudah sedikit merasa nyaman dengan Devan.
Sruuuuur
Seorang gadis berkaca mata tak sengaja menumpahkan segelas jus dan mengenai baju Sherly. Devan pun bergegas dari tempatnya dan mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya kemudian membersihkan baju Sherly.
"Eh kalau jalan lihat-lihat dong!" bentak Riska menghardik gadis berkaca mata itu.
"Maaf, Kak. Saya nggak sengaja," ucap si gadis berkaca mata.
"Mata tuh taruh kepala jangan ditaruh dengkul!" omel Riska begitu emosi, membuat gadis berkacamata itu menunduk ketakutan.
"Udahlah, Ris," cegah Sherly. "Gue nggak apa-apa kok."
Salah satu alis Devan terangkat. Dia kenal betul siapa Shirlen. Baginya, Shirlen memang gadis yang baik. Tapi Shirlen juga gadis yang sedikit brutal, keahliannya adalah berdebat. Apabila ia merasa sedikit terintimidasi, ia akan marah tanpa basa-basi.
***
Sore yang hangat bersama Sherly dan Devan di jalanan komplek. Devan menggenggam tangan Sherly dengan sangat erat. Entah mengapa, sifat pacarnya yang sekarang membuatnya semakin cinta.
"Shirlen, aku makin cinta sama kamu tau nggak?" ungkap Devan dengan pipi memerah.
"O ya?"
"Kamu sekarang makin lembut, semangat belajar, suka mengalah, nggak pemarah lagi, dan lebih penurut. Aku suka perubahanmu."
"Iya. Aku berubah demi kamu, Van. Aku nggak pengen kamu pergi dari aku."
"Walaupun Shirlen yang dulu lebih seru, tapi aku suka Shirlen yang sekarang. Kamu sekarang lebih keibuan."
Mata Sherly melebar sejenak mendengar pengakuan Devan. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia pun menelan ludah, salah tingkah rupanya.
***
Shirlen berjalan lemas menyusuri jalanan. Pikirannya tercampur aduk. Ia ingin marah, melampiaskan semua masalahnya. Tapi ia tak tahu harus berbicara pada siapa karena jika ada orang yang tahu bahwa ia bertukar tempat dengan Sherly, masalahnya akan semakin besar. Ia tak tahu ayahnya akan berbuat apa pada dirinya dan juga Shirlen.
"Ngelamun aja? Entar kesambet lho," ujar Sena yang tiba-tiba berada di samping Shirlen. Langkahnya panjang, mudah saja baginya untuk menyamai langkah kaki Shirlen.
Kepala Shirlen terangkat lalu menoleh ke samping, ke arah Sena. Mood nya semakin buruk ketika melihat cowok dengan seragam yang dipakai sekennya.
"Lo buat mood gue semakin ancur tau nggak?" ujar Shirlen judes. Ia kembali menatap ke arah depan.
"Aku tau cara ngilangin mood buruk," ujar Sena lagi, membuat bola mata Shirlen memutar malas.
"Eh sejak kapan elo ngomong aku kamu aku kamu? Jijik. Najis."
"Harus dijadiin kebiasaan dong."
"Najis."
"Lucu aja kalau manggilnya aku kamu-an."
"Najis."
"Mulai sekarang, kamu nggak boleh ngomong gue elo kalau ngomong sama aku."
"Ogah!"
"Oh jadi kamu nggak mau nurutin aku?" ucap Sena dengan nada penekanan, seolah kalimatnya mengandung sebuah ancaman.
"OGAH AH!"
"Aku akan kembali ke Jakarta dan Devan akan-"
"Oke oke," potong Shirlen cepat.
"Nah gitu dong," ucap Sena sambil tertawa, memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"Sialan nih cowok, gue doain kesamber petir lo," gumam Shirlen berkomat-kamit lirih.
"Apa kamu bilang?"
"Enggak." Shirlen menggeleng spontan. "Enggak ngomong apa-apa kok."
"Eh kamu suka nge-game nggak? Maen PS yuk!" ajak Sena sambil menggenggam erat pergelangan tangan Shirlen dan mengajaknya berlari menuju rental PS.
Sesampainya di rental PS, Sena mengambil salah satu bilik yang berada paling pojok, alasannya karena dia tidak ingin terganggu dengan suara kendaraan yang nantinya akan menghalangi suara PS.
"Gue nggak bisa maen PS," ungkap Shirlen bohong.
"Ehem!" tegur Sena dengan mata mendelik, ia mengkoreksi sebuah kesalahan dari kalimat Shirlen.
"A... aku..." ujar Shirlen enggan. Rasanya jijik sekali mengucapkan aku kamu ke Sena. "Aku nggak bisa maen PS."
"Udahlah. Nanti aku ajarin maennya."
Mereka pun masuk ke dalam bilik dan menyalakan PS dan segera memainkan permainan.
"Jadi caranya maennya itu-" kata Sena belum rampung.
"Udah. Nggak usah dijelasin. Gue-" Shirlen terhenti. "Aku bisa kok."
"Katanya tadi nggak bisa. Sekarang bilangnya bisa. Gimana sih?"
"Kok sewot?"
"Udah ah. Aku nggak mau bertengkar."
Tak terasa Sena dan Shirlen memainkan PS selama satu jam lebih. Mereka terlihat sangat antusias menikmati permainan.
"Aku nggak nyangka kamu jago juga," kata Sena sambil fokus ke layar, sementara jemarinya sudah hafal betul dengan tombol-tombol yang harus ia pencet.
"Ya iyalah."
"Bikin makin cinta aja."
"Najis!" sangkal Shirlen cepat.
"Emangnya kamu sering main PS sama Devan ya?"
"Jarang sih. Dia sering ngajak belajar. Lagian Devan kalah melulu. Nggak seru."
"Oooh. Sepertinya kamu suka banget nge-game."
"Yups."
"Besok kita nge-game lagi ya?" ajak Sena.
"Kok gue-" Shirlen terhenti. "Kok aku terdengar kayak budak kamu sih? Kamu suka nyuruh-nyuruh seenaknya."
"O ya?" tanya Sena dengan santainya.
"Tuh kalah kan?" ujar Shirlen sambil meletakkan sticknya.
"Hari ini kita seri. Tiga sama."
"Oke. Besok kita main lagi. Yang kalah harus traktir sampai kenyang."
"Oke. Siapa takut!"
Setelah puas main PS, Sena mengantar Shirlen pulang ke rumah. Hari ini, Sena merasa satu langkah lebih dekat dengan Shirlen dan hal itu mungkin akan membuatnya tidak bisa tidur nanti malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Bad Boy
Teen FictionCover by : prlstuvwxyz "Gue mau jadi selingkuhan elo," ucap Sena dengan tatapan datarnya. Mata Shirlen terbelalak, mulutnya menganga, sedangkan otaknya masih berputar-putar, bertanya-tanya mengapakah bad boy yang tidak pernah sedikit pun berbicara d...