selama di pesantren, tak ada kenyamanan yang diterima oleh Adit. Mulai dari bangun yang dipaksa, mandi mengantri, dan tidur kemalaman. Tapi ketidaknyamanan Adit sama sekali tak menganggunya. Adit tetaplah Adit. Ketidaknyamanan itu sudah seperti makanan sehari-hari untuknya. Bahkan, di Pesantren yang penuh dengan ketidaknyamanan ini dia mendapatkan salah satu keuntungan: tidak harus melihat ibunya dicumbu pria-pria hidung belang, tidak terpaksa melihat leher ibunya yang merah akibat di cupang, dan tidak perlu mendengar desahan-desahan ibunya. Yang dia dengar disini adalah suara yang melantunkan ayat-ayat alqur-an yang menenangkan.
Setidaknya, pendengaranku akan lebih sehat sekarang. Pikir Adit ketika menyadari bahwa sekarang ia tak dipaksa mendengar erangan-erangan ibu nya seperti dirumah biliknya, dimana suara akan menembus keruangan manapun dengan mudah.
**
hari ini hari ke-empatku di pesantren, masa hukumanku sudah tinggal setengahnya lagi. Tapi, aku merasa lebih betah disini. Dimana orang-orang sekitar menghargaiku tanpa peduli latar belakangku, dimana aku tak perlu melihat mama dicumbu pria-pria hidung belang, dimana telingaku tentram tak mendengar desahan demi desahan, erangan demi erangan Mama.
Hari ini ada pengajian dengan pemateri kepokan dari pemilik pesantren, memang pesantren ini adalah penerbit ustad-ustadzah muda. Bukan karena dia keponakan pemilik pesantren maka dia bebas mengisi pengajian.
"bro, pengajian hari ini di isi sama keponakan pemilik pesantren?" tanyaku pada Deni. Deni adalah orang yang tidur diatasku. Maksudku, tidur di atas kasurku. Karena di pesantren ini sudah memakai ranjang yang tingkat, jadi aku dibawah dan Deni diatas. Kita satu ranjang, namun bukan satu ranjang yang tidak tidak.
"laa, dit." Jawabnya. Laa berarti tidak dalam Bahasa Arab. Deni adalah temanku, yang menurutku terlalu lurus dan terlalu patuh pada aturan. Dia memaksakan diri berbicara Bahasa Arab didepan ku, padahal aku tidak mungkin melaporkannya pada siapapun.
"kamu pernah ketemu dia, bro?" tanyaku, aku penasaran.
"ga pernah sih, kamu pasti berpikir kalau Pengisi materi sekarang bisa ngisi materi karena keluarga pemilik pesantren kan?" kali ini deni bicara dengan Bahasa Indonesia, namun dengan nada yang serius.
"emang kamu enggak?" jawab Adit.
"begini ya, Dit. Di awal aku masuk ke pesantren ini, aku juga berpikir sama kaya kamu. Dulu bahkan cucu pertama dari pemilik pesantren. Tapi, kamu harus ketahui. Bahwa ternyata pesantren ini selalu melakukan hal demikian agar bisa jadi contoh pengelolaan santri yang baik. Jadi pesantren ini ingin menerbitkan ustadz-ustadzah muda. Dan mereka yang ngisi materi adalah mereka yang terbaik kok. Bukan karena kedekatan atau status mereka yang berkeluarga dengan pemilik pesantren. Bisa saja kamu suatu saat mengisi materi, dit." Deni menjelaskan, tak ingin ada kesalah pahaman antara aku dan pengisi materi.
Aku hanya membalas dengan anggukan.
pengisi materi itu ternyata masih muda, bahkan sebaya denganku. Dia bernama Dinda. Nama yang terlalu pasaran untuk gadis yang special dan istimewa. Kulit putih, hidung mancung, mata sayu dan nakal, lesung pipi, balutan kerudung lebar. Cantic luar dalam, pikirku.
Dia menguasai materi yang dia paparkan dengan baik, mengajar pula dengan cara yang tepat. Tidak membuatku ngantuk. Entah karena cara mengajarnya yang memang tepat atau karena wajahnya yang menghipnotisku. Senyumnya yang membuat lesung pipinya terlihat, begitu membiusku. Pada Dinda lah pertama kalinya aku mengagumi wanita sampai sejauh ini.
to be continued
kritik, dan saran sangat dibutuhkan.
jgn lupa vote.
makasih

KAMU SEDANG MEMBACA
Dinda
Teen Fictiontentang dua manusia, yang memutuskan berpasangan walau berasal dari latar belakang yang berbeda. Adit dengan orang tuanya yang bekerja sebagai seorang pelacur, Dinda sebagai Anak dari Kiyai dan keponakan dari pemilik pesantren. "orang baik akan berp...