Hari ini hari aku lepas dari masa hukumanku. Aku bisa kembali menghirup udara bebas yang sebenarnya lebih bau dari pada udara-udara pesantren yang menyejukkan, aku juga sudah bisa lepas dari hukuman wajib bangun subuh, dan yang lebih penting, aku sudah bisa pulang ke tempat terindah dalam hidupku, yaitu rumahku.
Aku sudah tak sabar untuk melihat senyuman yang selalu ada dirumah, senyuman cantik ibuku. Tak sabar pula, menyantap masakan buat dia. Ya tuhan, semoga aku pulang dan ibu ku dalam keadaan sehat. selama di pondok, aku memang tenang tidak melihat ibuku dijamah pria lain. Tapi, aku juga rindu akan ibu. Sungguh. Satu-satunya wanita yang ku harap selalu sehat. Di masa hukuman ku juga, aku tidak bisa berbuat membantu ibu dan sebagainya, makanya aku selalu berdoa agar dia sehat.
**
"assalamualaikum, ibu." sambil berlari memeluknya aku berbicara setengah teriak. Walaupun aku sudah tergolong remaja. Dimana teman-teman seumuranku sudah enggan memeluk ibunya, aku masih terus ingin memeluknya.
"wa... wa... wa'alaikum salam, nak." Ibu ku membalas pelukku. Ya ibuku adalah seorang pelacur, jauh dari agama, bahkan menjawab salam pun masih terbata-bata. Tapi, masa bodo, aku tetap menyayangi ibuku.
Kupeluk ibuku, melepaskan segala rindu. Bagiku, tempat ternyaman untuk bercerita adalah pelukan ibu. Karena disanalah, aku merasa tenang dan seolah sudah menceritakan segalanya, tanpa perlu berkata. Kutanamkan pelukan ku dipundaknya, ku pererat pelukan ku. Sungguh, aku rindu, dan lelah... campur lapar. Pikirku
Ibukku, mendorong pundakku, menjauhkanku dari tubuhnya. Beliau menatapku, memberiku senyuman. Senyuman cantik yang selalu ia tunjukan padaku apapun yang aku lakukan. "sudah makan, nak? Pasti lapar deh anak ibu."
Tuh kan, tanpa aku perlu berkata. Asal dipelukannya, dia akan tau bahwa perutku sudah terasa melilit dan berteriak meminta jatah. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan dari perempuan itu, perempuan yang paling berharga dalam hidupku. Perempuan yang aku berjanji akan menjaganya sampai mati, Ibuku.
"yaudah ibu masak dulu, ya. Kamu mandi sana. Cucian nya simpen di ember dalem wc. Nanti ibu yang nyuci." Katanya seraya beranjak meninggalkanku menuju dapur.
**
sendok demi sendok, suap demi suap masakan ibu ku makan. Tak pernah bosan walaupun hanya telor dan tahu. Masakan ibuku memang selalu yang terbaik. Bukan hanya menurutku, tapi banyak juga langganannya (pria yang sering menjamah ibu) juga minta dibuatkan makanan. Nilai lebih pelacur yang mulai dimakan usia, pikir ku dalam hati.
Malam ini, seperti malam-malam biasanya. Suasana yang sangat aku benci aku rasakan kembali, kulihat ibu ku membawa masuk seorang pria. Menurutku, umur pria itu sekitar 47. 10 tahun lebih tua dari Ibu. Dia mengenakan kemeja dengan gaya maskulin. Ku lihat ibu dan pria itu duduk diruang tengah. Dan aku mengintip lewat sela-sela bilik, yang kali ini kurasa bermanfaat.
"ini rumah ku, aku lebih suka melakukannya di Rumah. Karena aku merasa lebih privat." Kata ibuku.
"aa begitu, kalau untukku. Dimanapun itu, asal dengan kamu, Indahku." Kata pria itu. Langsung mencium bibir ibu ku dengan mesra. Tidak ada penolakan sama sekali dari ibu, justru ia mengalungkan tangannya di leher pria itu. Dan pria itu pun, menggendong ibu dan menuju ke kamar yang sudah ibu tunjuk. Ku dengar nafas mereka berdua semakin memburu, tak jarang erangan dan desahan ibu pun ku dengar. Diakhiri jeritan mereka bersama. Dan hening seketika.
Dalam hening, pikiranku melayang, menerobos batas-batas kewajaran. Hingga akhirnya terbesit dipikiranku, bahwa akan lebih damai jika berada di pondok. Tidak perlu mendengar dan melihat pekerjaan ibu yang menggores hatiku. Ditambah, dinda. Oh, Dinda apa kabarmu. Ketahuilah, ditengah malam ini, malam pertama aku kembali ke rumah setelah berada di pondok. aku memikirkanmu, merindukan senyummu Semoga kamupun begitu. Ketahuilah, Dinda. Baru satu malam, aku sudah ingin banyak bercerita padamu. Selamat malam, Dinda.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dinda
Ficção Adolescentetentang dua manusia, yang memutuskan berpasangan walau berasal dari latar belakang yang berbeda. Adit dengan orang tuanya yang bekerja sebagai seorang pelacur, Dinda sebagai Anak dari Kiyai dan keponakan dari pemilik pesantren. "orang baik akan berp...