Bagian I
Awal Cerita Nib
Aku lahir tahun 1949, di tengah-tengah revolusi nasional dan perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Belanda. Memang secara de facto, Indonesia sudah berani memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945, tetapi secara de jure, Kerajaan Belanda belum mau mengakui kedaulatan Indonesia sampai kemerdekaan Indonesia disahkan saat Konferesi Meja Bundar di Den Haag, tahun 1949.
Aku lahir di Jawa tengah, di kota kecil dekat Semarang yang bernama Demak. Nama bapakku Wahjoe Soejiwo, dan ibuku Maisaroh. Sedangkan namaku sendiri, Nib, kepanjangan dari Negara Indonesia Bersatu...dan ini adalah riwayat hidupku.
Mungkin engkau bertanya, "Orang macam apa di dunia ini yang memberi nama anaknya, Negara Indonesia Bersatu?" Siapa lagi kalau bukan Bapak, seorang Marxist dalam arti sesungguhnya, sejujurnya dan seidealisnya. Bapakku adalah wujud sejati implementasi Marxisme itu sendiri dari sudut pandang demokrasi. Aku yakin Tuan Marx, pasti akan tergila-gila dengan sosok dan kepribadian Bapak yang adalah persona utopia impian dari Karl Marx yang mungkin tidak akan pernah terlahir lagi di dunia ini.
Sebelum kaubaca bagian ini, aku mohon jangan mengadili dulu. Aku tahu, kau lahir setelah dunia memberi stempel Marxisme sebagai ideologi yang dihujat. Tetapi sesungguhnya ideologi Marxisme datang dari pemikiran yang sangat bijak. Ideologi ini bahkan terlalu sempurna sehingga tidak ada seorangpun di bumi ini yang bisa menjalankannya secara sempurna, termasuk Tuan Marx sendiri. Bukan pemikirannya yang salah, tapi kerap kali manusianyalah yang salah. Selama aku ikut Bapak, pengalaman panca inderaku mengatakan, bahwa semua itu baik adanya.
Hidup dan nasibku dipengaruhi dua hal, yakni: Sepak terjang Bapak di dunia politik, dan nama Nib yang ia berikan kepadaku. Karena dua hal ini aku telah menjadi saksi hidup dari peristiwa–peristiwa pahit dan berdarah dalam sejarah Indonesia. Engkau mungkin tidak akan langsung percaya atau bahkan menganggap ceritaku ini fiksi semata. Tapi kisah yang akan kuungkap bukanlah sekadar isapan jempol atau bualan belaka, ... ini adalah cerita hidupku.
Tentang Bapak
Wahjoe Soejiwo lahir di tengah keluarga besar. Ia anak bungsu, dari empat belas anak. Beliau tidak dibesarkan oleh ibu dan bapaknya, karena Eyang Putriku sudah cukup tua pada saat beliau melahirkan Bapak. Waktu Bapak masih kanak-kanak, satu-persatu Eyang Kakung dan Eyang Putri meninggal. Sehingga salah satu saudara tertuanya, Pakde Wahjoe Soemarno, mengambil alih dalam mengasuh dan membesarkan Bapak dari kecil.
Pada zamannya, Bapak termasuk orang yang berilmu tinggi. Beliau sangat aktif di kancah politik, juga di bidang pendidikan. Bapak pernah menjabat ketua KNI (Komite Negara Indonesia) Karesidenan Rembang pada zaman kedudukan Belanda. Beliau juga pernah menjabat sebagai Bupati Militer di Kudus pasca penjajahan Jepang. Dari cerita beliau sendiri, Bapak pernah belajar di Karl Marx Huis yang berlokasi di Madiun, kemudian beliau juga pernah mengajar di sana. Waktu aku lahir dan selama aku bersama Bapak, beliau bekerja sebagai Kepala Kantor Agraria di Demak.
Dalam pengertianku sebagai anak kecil, Bapak adalah sosok yang sangat dihormati oleh orang-orang di sekelilingnya. Bagaimana tidak, rumahku selalu dipenuhi oleh orang-orang yang datang dan pergi, entah itu untuk minta tolong atau sekadar minta nasihat. Orang-orang ini bahkan rela menunggu berjam-jam untuk bisa bertukar pikiran dengan Bapak.
Sebagai ambtenaar, Bapak pulang kerja sekitar jam dua sore, lalu beliau minum kopi, makan, merokok kemudian beristirahat. Bapak juga membuka biro konsultasi. Sekitar jam empat sore beliau masuk ke ruang praktiknya. Praktik di rumah buka dari jam empat sore, tapi biasanya sebelum jam empat, tamu-tamu sudah ramai duduk berjejer di ruang tamu menunggu giliran. Masalah-masalah mereka di antaranya: Kasus dengan pengadilan, sengketa tanah, perceraian suami-istri, minta sumbangan, ada juga yang datang hanya untuk sekadar mengeluarkan uneg-uneg atau bertukar pikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Berstempel Merah
Historical FictionLalu mereka bertiga mendekatiku dan dari dekat memeriksa tubuhku yang telanjang, sementara tangan mereka mulai meraba-raba, mencari-cari di mana bekas stempel itu. Dengan kasar tangan-tangan itu menggerayangiku, sampai aku pun terjatuh. Mereka lalu...