Ibu pernah bercerita tentang kisah kelahiranku. Katanya waktu Ibu hamil, Bapak bermimpi mendapat ayam jantan yang berkokok sangat lantang. Menurut Ibu, Bapak sangat gembira, karena menyangka akan mendapat bayi laki-laki,namun ternyata yang lahir adalah aku...bayi perempuan prematur, yang cuma sebesar botol bir kecil. Ini jauh sekali dari mimpi Bapak tentang ayam jantan.
Walaupun lahir prematur dan hanya sebesar botol bir, aku tumbuh menjadi anak yang kuat dan berperilaku kelaki-lakian. Aku tidak pernah bisa diam, harus selalu melakukan sesuatu. Kegiatan yang paling aku suka adalah memanjat pohon lalu memetik buahnya. Ibu bercerita, setelah bisa berlari, aku tidak pernah mau jalan lagi, tapi selalu berlari kemana-mana. Karena itu Bapak punya panggilan sayang buatku, pedet. Dalam bahasa Jawa, Pedet adalah nama anak sapi yang biasanya tidak bisa diam, sama seperti aku.
Sebelum aku lahir, ibuku beberapa kali mengalami miskram. Anak pertama yang lahir dari pernikahan dengan bapak namanya Sri Rosati, tapi sayang ia meninggal setelah berusia satu tahun. Sesudah itu Ibu mengandung empat kali dan semuanya berakhir dengan miskram. Hingga akhirnya lahirlah aku.
Masa kecilku di Demak, berlimpah dengan hadiah dari tamu-tamu yang mengunjungi Bapak setiap sore. Aku selalu dimanja, dan menjadi pusat limpahan kasih sayang dari mereka. Apa saja yang kuinginkan, mereka akan memberikan untukku. Gitar, biola, sepatu, baju baru, boneka cantik dan buku-buku, semua aku dapatkan dari mereka.
Pendidikan sangat penting buat keluargaku. Bapak bersedia membayar berapapun juga kalau itu untuk pendidikan; tapi kalau untuk membeli baju atau mainan baru, beliau tidak akan segera mengiyakan. Beliau sendiri menjadi contoh yang baik untukku, karena beliau sendiri tidak pernah berhenti membaca buku dan selalu belajar berbagai disiplin ilmu. Bapak berjanji, kalau aku rajin belajar, aku akan disekolahkan ke Belanda setelah tamat SMA.
Aku dulu sekolah di SMA Negeri Demak, pada zaman Belanda namanya Hogere Burgerschool atau HBS. Waktu masih sekolah di Demak, aku senang mengikuti kegiatan-kegiatan luar sekolah. Salah satu kegiatan yang paling aku gemari adalah menyanyi. Aku bergabung dalam paduan suara di Demak yang lumayan bergengsi, karena anggotanya hanya priyayi atau dari kalangan menengah ke atas. Crescendo nama paduan suara ini. Kami bertemu secara rutin untuk sekedar latihan vokal atau latihan yang lebih serius ketika akan mengikuti lomba di kota lain. Kalau kami sedang persiapan untuk lomba, ada saja perhatian dari para wartawan, mereka ingin tahu apa yang sedang kami persiapkan. Wajah kami sering bisa ditemui di majalah atau koran minggu itu. Lagu-lagu yang kami nyanyikan biasanya bertema perjuangan atau lagu-lagu nasional Indonesia antara lain ciptaan: Mochtar Embut, Cornel Simanjuntak, E.L. Pohan, atau N. Simanungkalit. Tapi kami juga menyanyikan lagu-lagu terkenal dari komposer asing seperti Tennessee Waltz, Moon River dari Patti Page, maupun lagu-lagu dari musisi terkenal seperti Elle Fitzgelard atau Sinatra. Kami biasa latihan sampai larut malam, bahkan terkadang harus menginap di rumah salah satu anggota paduan suara, kalau jadwal tampil semakin dekat.
Dalam paduan suara ini, aku menemukan cintaku yang pertama, namanya Mas Dodi. Perempuan mana yang tidak akan kepincut? Mas Dodi ganteng dan pintar bergaul. Untuk urusan musik, ia sangat berbakat. Dia jago main gitar, piano, biola dan juga bernyanyi. Ia adalah pemimpin paduan suara kami. Aku diam-diam jatuh cinta padanya, tapi tidak pernah kuceritakan pada siapapun. Bagaimana tidak, waktu itu aku cuma anak bawang, anggota-anggota lainnya jauh lebih senior. Aku malu dan takut diledek, kalau mereka sampai tahu perasaanku pada sang dirijen. Mas Dodi selamanya jadi cinta pertamaku. Belakangan aku semakin mengenal dia setelah kami dimasukkan ke penjara sebagai tahanan politik berkaitan dengan PKI di Demak. Pria berkharisma dan penuh semangat itu akhirnya patah bagai busur yang bengkok, setelah mengalami siksaan fisik dan mental di penjara.
Kegiatan di paduan suara juga merupakan pelarianku dari kesumpekan di rumah. Latihan-latihan vokal yang intensif itu tidak terasa berat bagiku, karena paling tidak aku bisa terus bertemu Mas Dodi dan pulangnya kami bisa ngobrol santai bersama. Pertemanan kami ini sangat menghibur hatiku.
Aku sangat menyayangkan keputusan Bapak untuk menikah lagi dalam waktu yang singkat setelah Ibu sedo. Ya, aku tidak mengerti mengapa Bapak harus menikah secepat itu, apalagi Bapak menikahi Bulik Tiek, adik kandung Ibu. Bulik Tiek memang baik kepadaku, tapi tetap saja di mataku ia sangat tidak pantas untuk mendampingi Bapak. Secara kualitas, Bulik Tiek tidak sepadan dengan Ibuku. Bulik Tiek berasal dari kampung dan tidak sepintar Ibu. Ibuku seorang guru, sedangkan bulik tidak pernah menginjak bangku sekolah. Ibu seorang perempuan yang berwibawa, sedang untuk bicara saja Bulik Tiek suka gagap. Dia tidak secekatan Ibu, bahkan untuk urusan memasak, ia hanya bisa memasak makanan-makanan desa. Menu andalannya adalah tempe tumpang, dan aku paling tidak suka masakan dari tempe yang sudah bosok itu! "Tempe tumpang itu masakan wong ndeso!" kataku kerap kali kepadanya. Kalau aku tahu ibu tiriku akan membuat masakan itu, aku ora sudi makan di rumah dan aku akan mengajak Bapak makan di luar.
Perjodohan Bapak dengan adik Ibu memang sudah ditentukan oleh Pakde Kirjo dan Bude Ning, kakak tertua dari Ibu dan Bulik Tiek. Menurut mereka tidak baik kalau Bapak terlalu lama sendirian. Di samping itu, perjodohan ini juga menguntungkan bagi mereka, karena akhirnya Bulik Tiek mendapat jodoh yang selama ini mereka tunggu-tunggu namun tak kunjung datang. Aku pernah bertanya pada Bapak, apakah dia sudah tidak sayang lagi kepada Ibu sehingga Bapak menikah lagi? Lalu jawab Bapak, "Tentu saja aku tetap sangat sayang Ibumu.", "Apakah Bapak mencintai Bulik Tiek seperti cinta Bapak kepada Ibu?" pertanyaanku selanjutnya yang segera dijawab Bapak,"Tidak". Lalu ia tersenyum sambil mengelus-elus kepalaku.
Kalau rasa sayang itu bisa diukur dari berapa banyak anak yang lahir dalam perkawinan, tentu saja aku tidak percaya omongan Bapak itu. Urusan orangtua memang rumit. Meskipun Bapak bilang rasa sayang itu tidak ada, bukan berarti mereka berhenti untuk mempunyai anak. Buktinya dalam waktu lima tahun pernikahan mereka, bayi-bayi kecil itu terlahir. Tidak cuma satu, tapi lima! ... rumah menjadi penuh dan sumpek! "Semua itu tanpa rasa sayang? Mana mungkin?" Hm...aku menarik napas panjang...lagi-lagi aku tidak mengerti.
Setelah kelahiran saudara-saudaraku sebapak tapi lain ibu ini, Bulik Tiek semakin sibuk dengan anak-anaknya. Dan aku semakin merasa sendiri, karena Bapak jadi semakin sibuk dan lebih jarang lagi di rumah karena selalu saja ada pertemuan ini dan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Berstempel Merah
Historical FictionLalu mereka bertiga mendekatiku dan dari dekat memeriksa tubuhku yang telanjang, sementara tangan mereka mulai meraba-raba, mencari-cari di mana bekas stempel itu. Dengan kasar tangan-tangan itu menggerayangiku, sampai aku pun terjatuh. Mereka lalu...