Yang kuceritakan ini hanyalah fraksi kecil dari serangkaian peristiwa. Cerita tentang orang-orang yang terlibat dengan peristiwa ini terbatas dari apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri dan informasi dari opsir-opsir atau sipir-sipir penjara yang bercerita kepada kami. Tapi yang kualami sendiri adalah cerita yang sebenarnya dan tidak ada yang kututup-tutupi, sedikitpun tidak.
Di penjara, aku bertemu dengan ratusan orang yang dianggap terkait dengan PKI. Kalau dihitung mungkin ada kurang lebih tiga ratus orang banyaknya. Itu semua terdiri dari orang-orang jompo, orang dewasa, keluarga, anak-anak muda, anak-anak kecil, bahkan bayi juga ada. Kami semua diberi nomor masing-masing dan ditempatkan bersama-sama di penjara Demak.
Penjara Demak seketika menjadi sangat penuh dengan dua golongan tahanan. Golongan pertama adalah orang–orang yang dipenjara karena berbuat kejahatan yaitu para pencuri, penipu, pemerkosa dan perampok. Golongan kedua yang tiba-tiba jumlahnya seketika mendominasi, adalah kami dengan status tahanan politik. Golongan penjahat pidana ditempatkan di penjara bagian depan, sedangkan kami ditempatkan di bagian paling belakang, persisnya di dalam gudang-gudang yang dulu dipakai untuk menyimpan barang-barang keperluan penjara. Ada tiga gudang yang dipakai sebagai tempat tidur kami. Setiap gedung diisi oleh seratus orang yang tidur bersebelahan satu dengan yang lain. Hari pertama di sana, kami tidur di tanah yang dingin tanpa selembar selimut pun. Hari-hari berikutnya, banyak anggota keluarga yang datang membawakan tikar, selimut, baju atau keperluan mandi. Saat itu aku tidak membawa apa-apa. Yang ada padaku hanyalah buku-buku sekolah dan baju seragam sekolah yang melekat di badan. Untuk keperluan mandi, baju dalam dan juga baju ganti, semua dikirimkan beberapa hari setelah aku dipenjara. Sedangkan untuk wc dan kamar mandi, kami harus berbagi dengan penghuni penjara bagian depan.
Secara tidak terduga, di tempat isolasi ini aku bertemu dengan banyak orang yang sudah kukenal sebelumnya. Mas Dodi ada di sana, Mbak Neni, bahk an murid kejawen Bapak yakni Paklik Darma dan Bulik Harti juga aku kutemui di sana. Beberapa teman yang kukenal dalam paduan suara juga ada di sana. Lucunya, kebanyakan orang di dalam tahanan ini tidak kukenal, tapi mereka semua mengenalku dan tahu siapa bapakku.
Tidak semua orang yang dipenjara waktu itu adalah anggota PKI. Banyak juga yang hanya sekedar simpatisan dan tidak bisa dikatakan terlibat. Contohnya anak murid kejawen Bapak yaitu Paklik Darma dan Bulik Harti. Mereka ini murid-murid Bapak dalam olah kebatinan. Mereka ditangkap karena kedekatan mereka dengan Bapak. Paklik Dharma dan Bulik Harti adalah orang-orang terpelajar lulusan salah satu Rechts Hogeschool (RHS) dari Semarang. Sering juga mereka ikut mendengarkan ceramah-ceramah Bapak di rumah-rumah anggota partai. Aku sering melihat mereka bertiga berdiskusi seru sekali sampai menjelang subuh. Waktu aku masih kecil, kadang-kadang aku terbangun tengah malam dan tidak bisa tidur lagi. Biasanya aku lalu mencari Bapak di kamar kerjanya. Di sana kudapati Bapak, Ibu, paklik dan bulik berdiskusi serius tentang sesuatu. Terkadang mereka tertawa terbahak-bahak di tengah-tengah perbincangan tersebut. Aku bersyukur bisa bertemu dengan kedua orang ini di penjara.
Paklik Dharma dan Bulik Harti lah yang selalu membantuku selama di penjara. Apa saja yang mereka miliki selalu mereka bagi denganku. Aku sudah bercerita kalau aku datang ke penjara ini dengan tidak membawa sesuatupun. Kalau bukan dari kebaikan hati kedua orang ini, aku pasti sudah jatuh sakit di penjara. Apa yang mereka makan, aku ikut makan, apa yang mereka minum aku juga ikut meminumnya. Semua dibagi tiga secara rata. Paklik Dharma dan Bulik Harti beruntung punya keluarga yang begitu mengasihi mereka. Setiap hari selalu saja ada makanan yang diantar untuk mereka.
Tidak setiap malam aku bisa tidur, seringkali aku cuma berbaring menatap langit-langit gudang penjara sambil memikirkan di mana Bapak. Kadang juga aku tidak bisa tidur karena suara bayi di ruangan kami yang kerap menangis di malam hari. Tangisan bayi kecil itu membuat hatiku pilu. Tangisan itu mewakili hati kami yang merana karena dipenjara dengan tuduhan yang tidak jelas. Tangisannya yang keras juga sering membawa pikiranku ke Bulik Tiek serta kelima saudara tiriku, "Apa gerangan yang terjadi dengan mereka? Apakah mereka baik-baik saja?... dan tahukan mereka dengan keberadaanku sekarang ini? Apa justru Bulik menjadi senang, karena anak yang menyusahkan ini tidak pulang ke rumah?" Pertanyaan-pertanyaan itu datang silih-berganti di otakku dan membuatku merasa semakin sesak.
Tetapi tidak selalu juga hatiku bersedih ketika berada di dalam penjara, karena teman-teman sering menghiburku. Justru di tempat ini aku mempunyai banyak teman baru. Selama ditahan, kami--tahanan politik tidak boleh keluar dan berbaur dengan narapidana lain. Untuk mengisi waktu, kami sering bermain atau bernyanyi bersama. Bermain kartu dengan berbagai macam permainan, seperti: solitaire, remi, cangkulan, bridge dan juga poker. Di sini ilmu bermain kartu di- beberkan dengan gratis oleh salah seorang jago kartu dari antara kami. Permainan ini lumayan menghibur juga kalau dimainkan bersama-sama. Di samping bermain kartu, kami juga sering bernyanyi bersama. Mas Dodi, artis penjara, sering menghibur kami dengan lagu-lagu yang merdu. Dengan alunan gitarnya yang merdu, kami kerapkali menyanyikan lagu-lagu perjuangan karangan Ismael Marzuki, misalnya Indonesia Pusaka atau Rayuan Pulau Kelapa. Kami juga mengalunkan tembang-tembang yang populer saat itu seperti Layu Sebelum Berkembang yang dinyanyikan Tetty Kadi, juga lagu-lagu yang dinyanyikan Ida Royani. Bernyanyi membuat hati kami sedikit terhibur, walaupun syair lagu-lagu yang dinyanyikan terkadang membuat air mata berlinangan. Tidak tahu mengapa dari semua lagu yang sering kami nyanyikan, ada satu lagu yang paling menyetuh hatiku. Di Wajahmu Kulihat Bulan, judul lagu itu yang dinyanyikan oleh Sam Saimun dengan suaranya yang merdu.
Seringkali lagu karya Mochtar Embut ini diputar di radio, namun baru sekarang lagu tersebut memiliki arti tertentu buatku. Tepatnya, setelah Mas Dodi menyanyikan lagu ini di penjara. Lirik lagu yang sendu ini dikombinasikan dengan suara berat-bervibrasi dari Mas Dodi menjerat dan menyihirku, membuat bulu kudukku merinding setiap kali mendengarnya. Setiap kata yang tertulis dalam lagu ini membuatku semakin menyadari betapa sepinya hidupku di dalam penjara ini, karena terpisah dari Bapak yang sangat kukasihi.
Di wajahmu kulihat bulan
bersembunyi di sudut kerlingan
Sadarkah tuan kau ditatap insan
Yang hauskan belaian
Di wajahmu kulihat bulan
Menerangi hati gelap rawan
Biarlah daku mencari naungan
Di wajah damai rupawanSerasa tiada jauh
Kau dan mudah dicapai tangan
Ingin hati menjangkauKiranya tinggi di awan
Di wajahmu kulihat bulan
Bersembunyi di balik senyuman
Jangan biarkan ku tiada berkawan
Hamba menanti kan tuanSyair lagu ini sesugguhnya menceritakan perasaan seorang kekasih yang sedang merindu. Walau demikian, emosi kami terwakili oleh kata-kata dalam lagu ini. Perasaan rindu teramat dalam yang terkandung dari syair lagu ini secara persis memaparkan perasaan kami saat itu. Di satu sisi, kami sangat rindu bertemu dengan kekasih-kekasih hati kami setelah begitu lama terpisah. Di sisi yang lain kami rindu menantikan kebebasan dan keadilan yang tidak jua datang.
Pada awal penahanan kami, suasana di penjara masih cair walaupun kebanyakan dari kami tidak mengerti alasan kami ditahan. Suasana di gudang ini penuh keramah-tamahan dan kebersamaan. Kami berkenalan satu sama lain dan saling bertukar cerita tentang latar belakang kami. Banyak juga dari kami yang melontarkan kritik serta ketidakmengertiaan akan situasi politik saat itu yang menyebabkan penangkapan terhadap kami.
Di sisi lain, untuk kebutuhan sehari-hari, kami harus bergantung pada keluarga yang mengirimkan makanan dan kebutuhan lainnya. Oleh karena itu kami sepakat bahwa apa yang kami miliki akan kami pakai dan kami nikmati bersama; entah itu makanan dan minuman yang diantar oleh keluarga dekat, selimut, perlengkapan mandi, bahkan buku-buku atau kertas untuk menulis jurnal atau surat kepada keluarga tercinta.
Namun kebersamaan ini tidak berlangsung lama. Tanpa kami sadari, pihak militer tidak menyukai kebersamaan ini. Dengan berbagai cara mereka mencoba memecah-belah dan mengadu domba kami. Lambat laun suasana di penjara berubah mencekam. Isu-isu yang menjatuhkan orang-orang tertentu mulai beredar; konflik–konflik kecil yang berakhir dengan perkelahian mulai muncul di antara kami. Sepertinya tutup mulut adalah lebih baik daripada mencoba mencari teman untuk bersekongkol. Pada saat-saat seperti itu, tidak ada seseorang pun yang bisa dipercaya karena kawan bisa berubah menjadi lawan.
Selanjutnya kami dipanggil dalam kelompok-kelompok untuk diperiksa di kantor pusat KODIM (Komando Distrik Militer) Demak. Dan sebagian besar dari kami kembali dengan penuh darah atau dalam keadaan shock, sehingga tidak mampu mengucapkan sepatah katapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Berstempel Merah
Historical FictionLalu mereka bertiga mendekatiku dan dari dekat memeriksa tubuhku yang telanjang, sementara tangan mereka mulai meraba-raba, mencari-cari di mana bekas stempel itu. Dengan kasar tangan-tangan itu menggerayangiku, sampai aku pun terjatuh. Mereka lalu...