4. Mengharap kejelasan

97 9 21
                                    

Suasana hangat kekeluargaan begitu terasa di sebuah ruang makan. Terlihat mereka sedang makan bersama. Entah sejak kapan tidak terjalin keakraban seperti ini.

Di atas meja telah tertata rapi makanan yang telah dimasak oleh Gya dan Alfa. Gya terlihat begitu senang karena menu kali ini dia yang memasak. Meskipun hanya sebatas capcay dan nugget. Tapi ini adalah pertama kalinya Gya memasak makanan selain telur dan mi instan.

“Masakanmu dan Alfa enak, Sayang.” Perempuan paruh baya itu sedang memuji anaknya. Bukan hanya karena anaknya sudah bisa memasak. Tapi, karena masakan anaknya cukup enak. Padahal selama ini anaknya itu tidak pernah mau memasak. Selalu saja ada alasan yang ia buat bila diminta untuk memasak.

Gya dan Alfa yang duduk bersebelahan saling memandang mendengar pujian itu. Senyum terpancar di wajah mereka berdua.

“Iya, dong. Gya gituloh.” Gya memalingkan wajahnya yang sempat menatap Alfa dan langsung menjawab pujian dari ibunya.

“Siapa dulu dong ayahnya?” Pria paruh baya itu ikut bersuara memuji anaknya. Meskipun kalimat yang ia lontarkan juga memuji dirinya sendiri.

Ibu Gya menatap suaminya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dengan melihat suaminya yang sedang membanggakan dirinya.

“Anak dan Ayah sama saja,” ujar ibu Gya dan mulai mengalihkan pandangannya ke makanan.

“Ih, ibu sirik aja. Bener ‘kan Gya memang jago dalam segala hal.” Gya kembali bersuara dengan bangga.

Alfa tersenyum, ia hanya menjadi pendengar setia keluarga kecil ini bercengkrama. Sebetulnya, Alfa sudah terlalu lapar, hingga ia tidak ikut bicara.

“Termasuk jago ngambek.” Mendengar penuturan anaknya, Ayah Gya langsung menyahut dengan suara berbisik. Namun, meski sudah berusaha untuk berbisik, ucapan itu didengar seisi orang yang berada di ruangan itu.

Alfa yang mendengar ucapan ayah Gya, langsung tertawa. Berbeda dengan tawa Alfa yang sebelumnya, kali ini bukan tawa yang biasa. Tapi tawa yang menggelegar.

Gya yang mendengar kekasihnya tertawa langsung memanyunkan bibirnya dan menatap tajam ke arah Alfa. Namun, ternyata itu semua tidak membuat Alfa berhenti tertawa, tawa Alfa semakin keras. Hingga Gya menghadiahi sebuah pukulan tepat di punggung Alfa. Tidak keras, tapi itu cukup untuk membuat Alfa berusaha menghentikan tawanya.

“Maaf, maaf, Sayang. Aku sedang mengingat saat-saat kamu lagi ngambek. Itu lucu, hingga membuatku tertawa.” Alfa berterus terang dengan apa yang ia pikirkan.

“Sudah-sudah. Bicaranya dilanjut nanti lagi. Kita habiskan makanannya dulu, baru setelah itu kita berbicara sepuasnya.” Perempuan paruh baya itu akhirnya memberikan saran yang langsung disetujui dengan anggukan oleh yang lain. Kalau tidak begitu, acara makan mereka tidak akan kunjung selesai, dan makanan akan menjadi dingin.

Kini, hanya ada suara dentingan antara sendok yang beradu dengan piring. Semua sedang menikmati makanan. Apalagi Gya dan Alfa. Bahkan, mereka sampai nambah. Entah karena masakannya yang enak, atau karena mereka yang kelaparan setelah memasak. Tapi yang pasti mereka sangat senang. Meski masakan Gya tidak seenak masakan ibunya , tapi ini adalah awal untuk Gya mulai belajar memasak.

Setengah jam berlalu, akhirnya makan siang sudah selesai. Gya dan Alfa membantu ibu membereskan piring kotor bekas makan siang agar cepat selesai.

Setelah semua selesai, semua orang berkumpul ke ruang keluarga. Sebelum makan siang tadi, Gya dan Alfa sudah mengatakan kalau Gya ingin mengatakan sesuatu yang penting.

Suasana hening tercipta. Entah mereka sedang bergelut dengan pikiran masing-masing atau mungkin mereka canggung untuk memulai percakapan.

“Kalian mau bicara apa? Kita sudah diam tanpa bicara selama sepuluh menit lebih, loh.” Akhirnya, Apri, yang tak lain adalah ayah Gya memulai pembicaraan.

Seribu Rindu Lebur Jadi DebuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang