"Lo emang temen paling laknat tau kagak lo?!" Rafin sudah harus merepet pagi-pagi ketika ia berpapasan dengan Angga di gerbang sekolah, sedangkan Angga, cowok itu hanya nyengir ga jelas, sambil merangkul sahabatnya.
"Lo tahu gak? Gara-gara tuh bronis lo abisin gue jadi ketir sendiri bego!" Rafin lalu menempeleng kepala Angga. Bagaimana Rafin ga kesal, setelah dengan tidak berdosanya Angga menghabiskan bronis bikinan mamanya, cowok itu langsung pergi pulang karna dapat telefon dari Sinta. Ngomong-ngomong tentang Sinta, sebenarnya Rafin juga mengkhawatirkan cewek itu, karna biar bagaimanapun, Sinta juga tetap sahabatnya.
"Yaelah Pin, dapet juga kan akhirnya tu bronis?" kata Angga sambil tertawa melihat wajah kesal sahabatnya itu.
Rafin memutar kedua bola matanya mendengar ucapan Angga, bersahabat sama Angga memang harus banyak-banyak istighfar.
Mereka pisah di koridor kelas, ketika Rafin memasuki ruangan kelas suasana begitu ricuh, ada yang ngerjain pr, ada yang menggibah, ada ngederin musik, beraneka ragam pokoknya!
Rafin duduk di bangkunya, ia melihat Azra yang duduk didepannya belum datang.
Tunggu dulu?!
Tadi Rafin barusan mikirin Azra?
Ia mengusap wajahnya, mikir apa sih gue?
"Woii!" Rafin mengelus dadanya mendengarkan teriakan itu, sumpah dia kaget setengah mati. Setelah mengontrol nafasnya ia melihat Azra sudah berada di hadapannya sambil cengar-cengir ga jelas.
"Apa?" kata Rafin datar, Azra duduk di bangkunya, lalu menghadap ke arah Rafin yang duduk dibelakangnya. Cewek itu memberikan sebuah paperbag, dengan masih mempertahankan senyumnya.
"Buseet, galak bangett sih ih, ini nih dari mama, katanya bronisnya enak. Mama juga nitip salam buat nyokap lo."
"Iya sama-sama." Ujar Rafin sambil menerima paperbag tersebut, dilihatnya sekilas isi dalamnya, ada kue pisang ternyata.
"Rafin?" ucap Azra serius, membuat Rafin mengangkat sebelah alisnya.
Azra mendekatkan sedikit wajahnya ke arah Rafin, lalu dengan suara sedikit berbisik ia berkata, "Resleting celana lo kebuka."
Rafin terlihat shock, lalu ia refleks melihat ke arah resletingnya, dan mendapatkan resletingnya tidak terbuka sama sekali. Lalu ia sudah melihat Azra yang tertawa terbahak-bahak sambil melihat wajah Rafin yang uda merah karna malu.
Sial gue dikerjain.
"Gak lucu!" kata Rafin kesal sambil mendorong kursi Azra, yang membuat cewek itu tertawa semakin keras. Mata Azra menyipit ketika tertawa, pipinya yang putih menjadi seperti merah jambu, dan pipinya yang chubby itu bergoyang karna saking bahagianya dia tertawa. Padahal menurut Rafin hal tadi sama sekali ga lucu.
Rafin terpaku beberapa saat melihat Azra.kok imut sih?!
•••••
"Jadi ibu bakalan umumin kelompoknya ya, kelompok pertama Andhira, Putri dan Seno. Kelompok kedua Septy, Rayna, dan Icha. Kelompok ketiga Ridho, Alan, dan Chika. Kelompok keempat Dion, Rafin dan Azra," Azra tidak mendengarkan kelanjutan pembagian kelompok yang diucapkan gurunya, ia sudah menggerutu duluan karna gak sekelompok dengan sahabat-sahabatnya.
"Masa gue cewek sendiri sih?" ucapnya sambil cemberut ke arah Rayna, Rayna tertawa kecil melihat wajah Azra yang lagi cemberut, lucu banget soalnya.
"Yaudah sih sabar aja, lagian Dion sama Rafin kan bisa diandelin. Daripada gue tuh harus sekelompok sama duo gesrek, pusing gue", melihat wajah Rayna yang ngenes membuat Azra tertawa kasian melihat sahabatnya itu.
Ia melihat Septy dan Icha yang lagi cekikian di bangku mereka yang persis di depan meja Rayna dan dirinya. Septy terlihat menunjukkan sesuatu di hapenya kepada Icha yang membuat cewek itu jadi tertawa.
" HAHAHAHAHAHAHAHAHA ANJIR LO SEP!!" Tanpa tedeng aling-aling Icha tertawa dengan suara yang sangat keras. Satu kelas jadi diam, hening. Septy langsung melongo melihat Icha, masalahnya dikelas sekarang ini ada guru mereka, memang gak killer tapi kalo marah lumayan juga bikin jantung deg-degan. Wajah Bu Hayati sudah melotot kearah Icha yang sangat ini masi tertawa belum sadar ia sudah jadi objek perhatian.
satu, dua, ti.....
"ANNISA AZZURA!", ...ga.
Tuhkan!
•••••
Dio menghela nafasnya lelah, penjualanan restoran mereka akhir-akhir ini menurun, entah apa penyebabnya. Belum lagi hubungan ia dan papanya yang semakin merenggang. Entah kenapa, Papanya masih merasa kalau pekerjaannya menjadi seorang koki tidak sesuai dengan citra seorang lelaki, pemikiran yang terlalu kolot menurutnya. Papanya selalu menuntut Dio dan kakak lelakinya untuk mengikuti jejak beliau, tanpa harus memikirkan anaknya sanggup atau enggak. Ga masalah buat kakaknya yang emang cerdas dan cita-citanya menjadi dokter.
Tapi ini berat bagi dirinya, karna ia selalu merasa tertekan saat dulu harus selalu mengikuti perkataan ayahnya.Bagi Dio, memasak adalah hidupnya. Dengan memasak dia bisa menyalurkan setiap rasa yang ada dalam hatinya.
Tapi barangkali, papanya tidak pernah merasakan hal itu.Disesapnya kopi hitam yang selalu menjadi kesukaannya ketika gelisah.
Karna biar seperti apapun juga kopi pahit selalu menjadi pelarian terbaik bagi Dio.Dio mengedarkan pandangannya menuju seantero kafe, seperti bermimpi rasanya untuk Dio bisa membuat semua ini, dari hasil jerih payahnya, dan yang pasti dukungan dari mamanya yang merupakan satu-satunya yang mendukung Dio.
Padahal dia sudah punya kafe sendiri sekarang, tapi kenapa papanya masih enggan untuk membuka mata bahwa pilihan inilah yang dipilih oleh Dio sejak awal. Mungkin memang, untuk yang kesekian kalinya Dio harus membuktikan kepada papanya bahwa dia mampu, bahwa dia bisa.
Sekarang yang tinggal Dio fikirkan adalah bagaimana cara membuat kafenya lebih menarik lagi dan semakin banyak pengunjungnya.
Btw, paid promote awkarin berapa ya?
•••••
Enjoyy!
Zahra

KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku (Enggak) Gendut
Teen Fiction"Kalau kau mencintai manusia karna fisik, bagaimana caranya kau mencintai Tuhan yang tidak berupa?" Azra menyumpah timeline oa yang baru saja terbaca olehnya. Kalau memang benar begitu, mengapa setiap cowok yang ia suka selalu mengeluhkan tentang fi...