Bagian 5

1.2K 27 0
                                    

Hari berlalu begitu cepat, tak terasa H-1 acara pentas seni penyambutan Maba di kampus kami. Jangan tanya bagaimana aku bisa tertidur, karena nyatanya aku hanya tidur 3 jam semenjak acara ini diadakan. Tapi yang sangat melegakan adalah dana yang kami kumpulkan melebihi target. Dengan memeras otak, kami menganjurkan ke Direktur Utama sisa dari hasil penjualan jasa yang kami lakukan, akan kami sumbangkan untuk panti asuhan terdekat. Setidaknya lebih bermanfaat.

"Na hari ini hari terakhir coba deh lu cek bagian penghibur acara, gue denger dari Bian salah satu anggotanya berhalangan hadir besok."

Gerakanku terhenti yang sibuk merapihkan pernak-pernik pementasan. Kemudian menolehkan kepalaku. Kenapa Dian jika membicarakan hal penting selalu mendadak seperti ini?

"Dian! Kebiasan deh,"

"Enggak kok Na, bukan salah gue. Gue udah tegor Bian tapi ... Bian pun juga dapet informasinya mendadak Na-," Dian menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri. Matanya memicingkan seseorang memastikan pembicaraan kali ini sangat rahasia, lalu berjongkok di sampingku. "Gue denger-denger, mereka udah infoin ke Ka Ita dari pagi. Infonya gak masuk ke tim bagian pengisi acara." Lanjutnya dengan berbisik di telingaku.

Alis ku bertaut. Kak Ita? Kenapa para senior di kampus ku selalu seperti ini. Pengacau. Perusak acara.

Meletakan barang yang ku pegang dengan kasar dan berlari menghampiri Bian.

Ah itu dia!

"Bi... Gue deng-" Bian mengacungkan tangannya, mengintruksi ku untuk berhenti bicara,"iya. Maaf gue lalai, tapi udah aman kok kondisinya. Cuma gue rubah formasi pentasnya aja bantu mereka,"potong Bian.

Aku membuang napas lega. Mengusap dadaku yang terasa sesak seperti kehilangan oksigen. Hei ayolah! Coba bayangkan jadi posisiku. Aku sama sekali tidak berpengalaman dalam bidang ini. Semasa putih abu-abu ku pun hanya dikenal sebagai Raina yang pendiam. Raina yang biasa saja. Raina yang sedikit berbicara. Raina yang ...

Dingin.

Hanya orang-orang yang tidak mengenal ku dengan betul mendeskripsikan ku seperti itu. Tapi aku tidak memungkiri bahwa aku memang pendiam, selebihnya salah. Aku hanya ramah dengan orang menyapa diriku saja. Ah, sudahlah! Aku ya aku.

"Syukurlah... Gue gak habis pikir itu senior maunya apa si?"erangku kesal.

Bian tersenyum seraya mengusap puncak kepalaku. "Sabar Na. Btw lo lucu juga ya kalo marah. Ekspresi lo nambah satu hahaha" ledeknya.

Aku mencebikan lidah ku, di saat seperti ini bahkan Bian selalu membuatku tersenyum. Tolonglah Bian... Aku hanya ingin membenahkan masa depanku.

"Yaudah balik kerja lagi ya Bi... Kalo ada apa-apa langsung konfirmasi ke Dian."

Bian menganggukan kepala sambil tersenyum lembut. Aku pun pamit pada Bian. Berusaha menetralkan emosiku. Si pengacau. Si pengadu.

Argh!

"Raina..." Panggil Bian lagi.

Langkahku terhenti dan membalikan tubuhku, "Apa?!"ketusku.

Bian menunjukan deretan giginya yang rapih dan "Gue suka lo manggil gue Bi , berasa dapet panggilan sayang dari cewek dingin hahaha" ledeknya.

Aku mencebikan lidah lagi. Bian. Astaga orang itu! Kenapa tidak henti-hentinya membuatku tersenyum. Sekelibat aku mengingat Dean. Ponselku bahkan tidak dipenuhi dengan notif darinya semenjak hari itu. Hari dimana Intan datang ke rumahku.

Tersenyum miris, kembali mengerjakan bagian tugasku.

*******

"Hah..." Erangku menjatuhkan tubuhku di atas kasur.

RainaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang