Malam itu teh Dewi bercerita kepada warga, dengan suara yang terbata-bata dan bibir yang bergetar karena dia tidak bisa berhenti menangis. susah sekali kami memahaminya, karena suaranya kadang terdengar kadang tidak karena tersamar suara tangisan. Tapi akan saya ceritakan dengan lebih sederhana agar lebih mudah dipahami.
Malam itu teh Dewi baru pulang manggung dari tempat yang jauh, dia diantar bosnya naik mobil. Tapi karena mobil tidak bisa masuk gang kecil maka dia turun dipinggir jalan. dengan membawa koper kecil berisi pakaian bekas manggungnya dia berjalan menyusuri jalanan kampung, jarak rumahnya masih jauh. Bosnya memberikan tawaran untuk menemaninya, tapi teh Dewi menolanya.
Keadaan kampung sepi, tidak ada jadwal ronda. Mungkin saja para warga sudah terlelap dalam tidurnya, kecapean setelah seharian bekerja diperkebunan maupun diladang.
Ketika berjalan melewati salah satu pelataran rumah warga, teh Dewi melihat dua orang sedang berjalan kearahnya. Dia tidak melihatnya dengan jelas, hanya samar-samar saja. namun ketika teh Dewi hendak berteriak menyapa, kedua sosok itu tiba-tiba berbelok arah tampaknya mereka sadar bahwa teh Dewi sedang memperhatikan.
Didorong oleh rasa penasaran, teh Dewi dengan segera berlari kecil bermaksud mengintip kedua orang tadi. Dilihatnya sosok laki-laki sedang berjalan, sosok didepannya dia tidak bisa melihat dengan jelas. Rupanya rasa penasaran telah mengalahkan rasa takut, teh Dewi mencoba mengikuti diam-diam dua sosok mencurigakan itu dari belakang. Teh Dewi pikir mereka pencuri, namun dia tidak berani untuk berteriak karena dia belum bisa memastikan.
Tidak terasa sambil menjingjing koper, teh Dewi mengikuti mereka cukup jauh. Saat melewati rumah bang Usman, barulah teh Dewi melihat dengan jelas. Sosok yang berjalan paling depan itu adalah seorang perempuan, yah dia sangat mengenalnya. Itu teh Ratmi, tapi dia tak mengenal siapa sosok lelaki yang mengikutinya dari belakang.
Kemudian mereka duduk ditempat gelap, persis didepan perkebunan kakao. Diam-diam teh Dewi masuk kedalam semak-semak,sambil mengintip mereka berdua, teh Dewi mencoba memperhatikan wajah si lelaki karena dia belum penah melihat sebelumnya.
Teh Ratmi dengan lelaki misterius itu tampak sedang berbincang, namun sayang teh Dewi tidak bisa mendengarnya. Teh Dewi pikir ini bakal menjadi gosip yang hangat, teh Ratmi sedang berduaan ditempat gelap dengan yang bukan suaminya. Entah berapa lama dia memperhatikan, sampai teh Dewi melihat si lelaki misterius itu terlihat marah, dia menampar wajah teh Ratmi.
Kejadian itu membuat teh Dewi semakin kaget. Teh Ratmi tampak melawan, namun apa daya tubuh lelaki itu lebih kuat, dengan segera tangannya mendekap mulut teh Ratmi yang hendak berteriak.
Melihat kejadian yang mengerikan didepan matanya teh Dewi bereaksi hendak keluar dari persembunyian, namun tiba-tiba rasa khawatir menahannya. dia takut kalau itu Cuma kesalah pahaman saja.
Teh Ratmi berontak, tampak tangannya sedang berusahan mencakar-cakar wajah si lelaki. Dekapan tangan si lelaki kini beralih ke daerah leher. Tidak ada suara teriakan dari mulut teh Ratmi yang terbuka, karena lehernya terjepit kedua tangan sangat kuat sekali.
Kali ini Teh Dewi tidak bisa berdiam diri lagi. Tubuhnya seperti otomatis bergerak sendiri melihat orang yang dikenalnya sedang dalam keadaan yang sekarat. Teh Dewi berlari kearah si lelaki kemudian menendang kepalanya, namun sayang tendangannya tidak begitu kuat. Alih-alih si lelaki itu ambruk, bogem mentah malah meluncur kewajah teh Dewi sebagai balasan hingga akhirnya dia tidak sadarkan diri.
................................................................................
Ketika terbangun, tangannya sudah diikat. Wajah pria itu kini dengan jelas berada didepan matanya sedang mengamati dengan seksama. Teh Dewi hendak beteriak sampa akhirnya dia tersadar bahwa mulutnya sudah tersumpal kain.
"Saya kenal kamu siapa, saya tahu rumah kamu dimana, biduan dangdut yang menjadi primadona kampung Tegal Sari. Semua orang tahu itu." Ucap si lelaki.
"Tapi kamu tidak mengenal sayakan ? sebelum sempat kamu lapor pada warga mengenai saya. mungkin kamu sudah lebih dulu mati, atau mungkin keluargamu terlebih dulu. Matamu yang indah itu sepertinya bagus untuk dijadikan gantungan kunci. Boleh saya mencongkelnya yang sebelah kiri ?" ancam si lelaki kepada teh Dewi.
Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi wajahnya. Kali ini teh Dewi tidak bisa lagi mengendalikan tubuhnya. Dalam tekanan psikologis seperti itu kadang membuat orang linglung. Dia melihat tubuh teh Ratmi yang sudah ambruk disampingnya. Dia takut kalau selanjutnya dia akan ambruk juga.
"Saya akan melepaskan kamu, pulang dan tidurlah."
Masih dalam keadaan ketakutan teh Dewi mengangguk-ngangguk dengan cepat. Air matanya tidak bisa dibendung lagi, kini dia menangis ketakutan. Si lelaki itu terus menatap matanya dengan ekpresi penuh ancaman. walaupun tidak berbicara tapi dari sorot matanya teh Dewi yakin bahwa orang ini memang berbahaya.
"Kamu tahukan apa yang besok harus kamu lakukan ?"
Teh Dewi mengangguk dengan cepat lagi.
"Hapus air matanya, dan berjalan dengan tenang sampai kerumah. Bisa ?"
Ikatan teh Dewi dilepas, sumpalannya dibuka. Teh Dewi mencoba bersikap tenang, tapi tubuhnya tak bisa dibohongi dia masih tetap gemetar. Setelah meraih kopernya, dia mencoba berjalan dengan tenang, meninggalkan si lelaki dan tubuh teh Ratmi yang tergeletak ditanah, entah dia tidak sadarkan diri atau sudah mati.
......................................................
Keesokan harinya teh Dewi mendengar kabar bahwa teh Ratmi ditemukan gantung diri. Dia teringat kembali pada peristiwa semalam, namun mulutnya seperti terkunci rapat. Ingin sekali dia memberitahu semua orang, namun ketika melihat raut wajah ibunya yang sudah tua didepannya ia kembali teringat pada ancaman si lelaki.
Setiap hari ia tidak bisa tidur dengan nyenyak,perasaan bersalah itu selalu menghantui. Hingga akhirnya dia diterror untuk pertama kalinya oleh arwah teh Ratmi ketika pulang manggung dimalam hari. Setelah terror itu wajah teh Ratmi selalu terbayang didepan matanya, dia tak bisa menahan lagi, itu semua membuatnya hampir gila. Hingga ia memutuskan untuk meberitahukan kepada bang Ratmo.
Teh Dewi sudah membulatkan tekad, siang itu dia pergi kerumah bang Ratmo untuk memberitahukan semuanya. Walaupun sepanjang jalan dia merasa tidak tenang, setelah kejadian malam itu dia selalu merasa dirinya terus diawasi, entah benar atau Cuma perasaan ketakutannya saja.
Diketuknya pintu rumah bang Ratmo beberapa kali.
"Sebentar." suara wanita terdengar dari dalam.
Nenek isur keluar, dengan wajah ramahnya dia mempersilahkan teh Dewi masuk. tanpa basa-basi lagi kemudian teh Dewi mengunci pintu rumah, dia tidak peduli dengan nenek isur yang mulai curiga melihat tingkahnya.
"Akan saya beritahu semuanya." Bisik teh Dewi.
Dengan tubuh gemetar dan keringat mulai keluar, teh Dewi duduk. Dia terus menengok kearah jendela, dirinya mulai tampak tidak tenang. Mengucapkan kalimat berkali-kali tanpa sadar.
"Memberitahu apa ?"
"Ratmi,, Ratmi..semuanya."
Ketika nama menantunya disebutkan raut wajah nenek Isur berubah. Dengan menghembuskan nafas yang berat matanya tertutup seperti mengingat sesuatu.
"Saya sudah tahu."
Ucapan nenek Isur membuat teh Dewi kaget.
"Kenapa..kenapa.. kenapa tidak lapor" ucap teh Dewi tergagap-gagap. Bibirnya masih gemetar, kepalanya tak berhenti menengok ke arah kaca jendela.
'Nenek takut, kalau lapor hanya akan membuat Ratmo semakin sedih saja."
"Nenek sudah curiga kalau dia selalu pergi ke pengajian itu, padahal disini tidak ada satupun wanita yang pergi kesana. Ratmi selalu ijin pada suami untuk pergi mengaji, siapa yang tidak bahagia ketika mendengar istrinya mendadak rajin begitu. Tapi nenek tetap curiga." Lanjut nenek Isur.
"Berminggu-minggu dia terus pergi kekampung sebelah, kecurigaaan Nenek semakin tidak bisa ditahan lagi. Dia selalu bersolek sebelum berangkat, tentu tidak ada yang salah ketika seorang wanita bersolek. Tapi itu bukan diri Ratmi yang sebenarnya. Nenek pernah mengajukan diri untuk ikut ke pengajiannya, namun dia melarang dengan dalih takut nenek kecapean. Maka hari itu nenek memutuskan untuk mengikutinya diam-diam."
Teh Dewi masih setia mendengarkan, tapi wajahnya tetap tampak cemas. Sesekali kepalanya tetap waspada melirik kearah luar.
"Hingga akhirnya nenek tahu, diam-diam sepulang mengaji dia selalu diantar seorang lelaki. Namun anehnya mereka bukan lewat jalan besar, tapi lewat jalan perkebunan. Sore hari tentu saja sepi karena orang-orang sudah pulang kerumahnya. Dan itu bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali, pernah sekali ketika nenek tak tahan lagi dengan kelakukan mereka karena hampir saja melakukan hubungan suami istri, nenek melabraknya. Si lelaki itu minta maaf, dan Ratmi hanya bisa menangis. karena saya sangat menyangi Ratmo, kejadian ini saya simpan sebagai rahasia dengan catatan Ratmi tidak akan mengulanginya lagi."
"Kemduian nenek melarang Ratmi untuk pergi mengaji lagi, namun hal itu malah membuat Ratmo menjadi curiga. Akhirnya saya mengijinkannya, sambil diam-diam nenek tetap mengikutinya. Tapi kali ini nenek tidak pernah melihat Ratmi berjalan dengan lelaki itu lagi, apakah mereka sudah benar-benar berubah atau mencari tempat persembunyian baru, nenek tidak tahu."
"Hingga sore itu sebelum Ratmi gantung diri, Ratmi berbicara kepada nenek. Selama ini dia masih tetap berhubungan dengan lelaki itu. Tapi katanya malam itu dia berjanji akan mengakhiri semuanya. Dia meminta maaf dan sangat menyesal, dia sangat mencintai Ratmo dan berjanji tidak akan pernah lagi menghianatinya, selama ini dia khilaf. Dia meminta bantuan nenek untuk berbohong kepada Ratmo bahwa dirinya akan menginap barang sehari dirumah teman barunya dikampung sebelah, alasannya malam itu ada pengajian."
"Tanpa rasa curiga Ratmo mengijinkan, mungkin dia khawatir juga kalau istrinya pulang malam-malam dari kampung sebelah. sebelumnya Ratmo menawarkan diri untuk mengantarnya atau menjemputnya, tapi Ratmi menolak. Saya sudah curiga bahwa Ratmi memang akan mengakhiri hidupnya. Mungkin dia menyesal telah menghianati suaminya. Sore hari dia meminta maaf kepada nenek dengan menangis tersedu-sedu mungkin itu semacam pesan perpisahan. Tapi nenek tidak pernah membicarakan ini kepada Ratmo, nenek takut dia terpukul dua kali. Jadi nenek minta kepada kamu kalau tahu perselingkuhan Ratmi jangan pernah memberitahu siapapun, nenek mohon."
Teh Dewi merasa kaget dengan penjelasan nenek Isur, sebuah rahasia telah didengarnya. Tapi bukan itu yang hendak ia beritahukan kepada nenek Isur.
"Nenek merasa bersalah karena telah memarahi Ratmi. seharusnya waktu itu nenek tegur dia baik-baik. mungkin dia merasa tidak nyaman setiap hari harus selalu melihat tatapan nenek yang penuh rasa curiga. Kini nenek menyesal, nenek merasa bahwa nenek sekarang seperti seorang pembunuh. Membunuh orang secara tidak langsung. Rasanya nenek pengen mati saja karena penyesalan ini." Nenek Isur tak bisa lagi menahan air matanya.
"Bukan, bukan begitu nek..bukan." Teh Dewi menyanggah.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dipintu masuk. teh Dewi langsung merasa dirinya terancam. Nenek isur langsung menghapus air matanya. Dan langsung berjalan untuk membuka pintu. Diluar tampak bu Lastri, seperti biasanya setiap minggu dia menanggih uang kreditan.
Teh Dewi merasa takut, apakah tadi bu Lastri dengar, apakah dia sudah berdiri lama disana. Teh Dewi pamitan, dan dengan terburu-buru dia berjalan pulang. Dia merasa gelisah, selalu merasa sedang diawasi.
Sesampainya dirumah, dia semakin paranoid. Takut kalau-kalau lelaki itu mengikutinya dari belakang. Takut kalau lelaki itu sebenarnya tadi mendengarkan percakapan nenek Isur dengan dirinya. Ketakutan-ketakutan yang tidak bisa lagi dia tahan, membuat niat untuk pergi dari rumah muncul begitu saja. maka teh Dewi segera memasukan beberapa pakaian kedalam kopernya.
.................................................................
Berhari-hari teh Dewi mengurung diri disebuah kamar hotel melati. Dia tidak berani keluar, namun dia juga gelisah karena telah meninggalkan ibunya seorang diri dirumah. Tapi baginya ini lebih baik, setidaknya dia belum membeberkan rahasianya. Dia sudah tidak tahan lagi tinggal dikampung Tegal Sari, selalu diterror Ratmi.
Sampai akhirnya teh Dewi ditemukan Polisi dan dibawa pulang kembali. Dia semakin paranoid karena melihat lelaki itu diantara kerumunan warga yang datang kerumahnya untuk menjenguk. Dia semakin gila saja, apalagi setiap malam, bayang-bayang wajah Ratmi selalu muncul dikaca jendela kamarnya.
"Maafkan saya..maaf. seharusnya saya memberitahukan semuanya, tapi saya takut." Ucap teh Dewi sambil menangis tersedu-sedu mengakhiri ucapannya.
......................................................................................
Warga Tegal Sari kembali beraktivitas seperti biasa, seolah-lah mereka melupakan begitu saja kejadian dilapangan desa tempo hari. Tapi saya yakin dalam ingatan mereka akan selalu membekas, sosok Ratmi yang telah mati itu menjelma didepan mata. Mungkin kelak mereka akan menceritakannya pada anak cucu, walaupun anak cucunya mungkin menganggap bahwa cerita tersebut hanya sebuah mitos belaka. Tapi bagi warga yang melihat malam itu, itu sebuah kejadian nyata yang akan selalu membekas dikepala.
Bang Ratmo pun sudah bebas, perlahan-lahan dia mulai menata hidupnya kembali. Walaupun dia harus menerima kenyataan pahit bahwa istrinya dibunuh dan ibunya mati gantung diri, tapi saya yakin dia lelaki kuat dan bisa melewati semuanya. Para tetangga akhirnya banyak yang bersimpati, ikut membantu memulihkan jiwa rapuhnya agar tegar kembali.
Namun ada satu peristiwa yang warga lewatkan, bola api itu masih tetap menjadi pertanyaan. Apakah itu memang benar-benar sebuah benda atau makhluk yang mendorong manusia untuk melakukan gantung diri. Ataukah itu Cuma sebagai pertanda alam akan terjadinya musibah, tidak ada yang tahu. Memang kita sebaiknya tak usah serba tahu, biarlah alam tetap menyimpan misterinya.
Malam itu sepulang ngaji saya ikut nimbrung di pos ronda bersama bapak dan pak lurah juga warga lainnya. kini rasa takut sudah mulai hilang secara perlahan. Warga kembali ke kehidupan normalnya.
"Saya sudah curiga waktu dia datang kerumah, kalau ga salah ya diam saja. saya sudah merasa aneh, kok ada orang mau mengeluarkan uang untuk membersihkan nama baiknya. Mengingat dia itu bukan pejabat ataupun artis." Ucap pak Lurah.
"Kok, mereka bisa selingkuh gitu, memang kenal dimana ?"
"Ya mungkin karena sering bertemu. Si Ratmi itukan lumayan cantik."
"Mungkin saja lelaki itu tukang kibul, asal-usul dari kotanya juga ga jelas."
"Tapi saya masih ga nyangka, saya cukup kenal setelah dia sering datang kerumah pak lurah. orangnya ramah juga nampaknya baik banget." Kata bapak.
"Yaelah kang, dijaman yang udah gila seperti ini semua bisa terjadi. Liat aja berita tiap hari."
"Orang pintar ya mungkin gitu, memposisikan diri seolah-olah korban padahal dia pelaku. Kita ini Cuma orang-orang dusun. Jadi kalau ada orang baik dikit, atau pintar dikit kita langsung kagum." Kata pak Lurah.
Obrolan masih tetap berlanjut, kali ini membahas persiapan musim panen padi yang akan segera tiba. Rencana acara sukuran kampung pun sempat diusulkan salah satu warga. Namun mata saya sudah tidak kuat lagi, mengingat ini sudah hampir jam Sembilan malam. Saya pamit pada bapak untuk pulang duluan.
Diperjalanan pulang dengan mata setengah mengantuk, dari kejauhan samar-samar terlihat sebuah cahaya. Semakin lama cahaya itu semakin mendekat, dan ketika benda misterius itu lewat diatas kepala, saya bisa memastikan bahwa itu adalah bola api yang memiliki ekor. Apakah benda itu yang dilihat bang Burhan dan bu Lastri. Karena penasaran saya mengikutinya, rasa kantuk saya hilang seketika.
Bola api itu kini diam diatas rumah warga, saya setengah berjongkok mengintip dibalik pohon mangga. Kemudian bola api itu seperti tenggelam kebawah rumah, lenyap begitu saja. tidak ada ledakan ataupun api yang berkobar, di dalam rumah itu tampak tenang-tenang saja tidak ada kegaduhan. Saya baru tersadar ketika melihat rumah itu dengan seksama. bukankah itu rumah teh Dewi.
~TAMAT~

KAMU SEDANG MEMBACA
Gantung Diri
HororPenduduk Desa Tegal sari merasa resah karena selalu diterror dengan makhluk halus berwujud perempuan yang selalu menghantui setiap malam