CHAPTER 10

4.2K 265 4
                                    

Sosok mayat itu tergantung persis didepan gerbang pintu masuk pasar malam. Talinya terikat pada besi yang menjadi penyangga papan ucapan selamat datang.

Mengenakan kebaya dengan bawahan kain batik samping yang terlihat masih baru. Rambut putihnya terikat karet. Namun kontras dengan tampilannya yang rapi, wajahnya justru tidak menampilkan demikian. Matanya melotot sempurna, lidahnya terjulur keluar dengan wajah tampak membiru dan dihiasi urat-urat kecil.

Begitulah penggambaran bapak tentang sosok mayat yang mati pagi tadi.

Tegal sari kembali berduka hari itu, penduduknya kembali berpulang ke alam baka. Pukulan sangat keras yang harus kami terima, karena belum genap sebulan sudah dua orang mati dengan cara mengenaskan.

Apakah kampung ini telah dikutuk, begitulah anggapan para tetua desa yang masih percaya dengan hal-hal mistis. Apakah warga kampung ini sedang dilanda depresi, begitulah yang ustad Ridwan ucapkan sebagai orang kota yang lebih terpelajar.

Saya yang hampir setiap hari menyantap buku-buku diperpustakaan sekolahpun lebih setuju dengan ucapan ustad Ridwan. Tapi tidak bisa seutuhnya percaya, mau tidak mau masa kecil saya yang banyak dipengaruhi hal-hal mistis, kadang meruntuhkan logika yang coba saya bangun.

Luka warga yang belum sembuh benar dengan ketakutan-ketakutan yang mereka terima, kini luka itu semakin lebar. Banyak warga yang mulai gelisah, hidupnya kembali tak tenang ketika menjelang malam.

Tapi malam itu selepas upacara penguburan, keadaan kampung benar-benar sepi. Tidak ada suara samar-samar musik dangdut lagi dari pasar malam. Selepas acara tahlilan, warga tak berani lagi keluar rumah.

Sunyi sepi, yang terdengar hanya suara jangkrik diatas pepohonan, sesekali terdengar suara riuh dari dahan pohon yang saling bergesekan karena tertiup angin kencang. Kemudian saya menutup jendela kamar, sehingga suara-suara tersebut tak lagi terdengar.

........................................................................................

Saya baru tahu perihal pasar malam yang tiba-tiba datang itu ternyata ulah pak Lurah. bapak menceritakannya kepada ibu, dan diam-diam saya mendengarkannya dari kamar sambil ngemil keripik singkong.

Melihat warganya yang semakin gelisah dengan hal-hal aneh yang selama ini, menjadi beban tersendiri untuk pak Lurah. dia tak mau warganya hidup terus-menerus dalam ketakutan. Dengan misi yang mulai untuk membahagiakan kembali warganya, pak Lurah datang ke kantor kecamatan. Disana ia mempunyai seorang kenalan yang dimintai tolong untuk mencarikan kontak pemilik atau pemimpin pasar malam yang biasanya hampir tiga bulan atau enam bulan sekali selalu hadir dialun-alun kecamatan.

Walaupun setelah bertemu dengan sang pemilik pak Lurah memiliki kesulitan dalam hal bekerja sama. Mengingat Tegal sari hanya sebuah kampung terpencil yang jauh dari keramaian, menurut sang pemilik uang yang dihasilkan tidak akan sebanding dengan modal yang ia keluarkan.

Pertemuan itu bejalan alot, yang akhirnya membuahkan hasil yang tidak mengenakan untuk pak Lurah. karena biaya akomodasi atau lebih tepatnya uang bensin semuanya ditanggung oleh pak Lurah. walaupun pak Lurah ini bukan orang kaya, tapi tabungannya cukup untuk melakukan hal tersebut.

Maka hadirlah pasar malam yang membuat warga desa termasuk saya kaget waktu itu, karena tidak seperti biasanya kampung kami kedatangan rombongan pasar malam. Walaupun rencana tersebut gagal, karena kemeriahan hanya berjalan beberapa hari saja. setelah itu warga kembali mengurung diri setiap malam.

................................................................

Setelah garis polisi kembali dicopot, pasar malam kembali beroperasi. Mau tidak mau sang pemilik harus tetap membukanya demi mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk menggerakan wahana-wahananya.
Tapi tetap saja, walaupun musik diputar keras-keras, warga lokal tidak ada yang datang. kecuali mungkin beberapa warga dari kampung luar yang masih penasaran. Sedangkan warga tegal Sari lebih memilih berdiam diri dirumah.

Malam itu saya datang ke pasar malam menemani bapak untuk mencari hiburan, terlalu suntuk berdiam diri terus dirumah. Sekalian mau bertemu dengan pak Lurah katanya.

"Nah persis tergantung disini ." ucap bapak sambil tangannya menunjuk sebuah besi yang menjadi pennyangga papan ucapan selamat datang.

Walaupun saya tidak bisa melihat secara langsung kejadiannya, tapi saya bisa membayangkannya. Ingatan saya seperti kembali saat melihat mayat teh Ratmi yang tergantung dipohon rambutan.

Dari kejauhan tampak pak Lurah sedang duduk diwarung bubur kacang ijo. Kami berdua segera menghampirinya. Tidak ada orang lain disana, kecuali pak Lurah dan sang pemilik pasar malam yang sedang tampak berbincang-bincang.

"Ini untuk pertama kalinya saya mengalami hal mengerikan seperti ini, ada orang gantung diri ditempat usaha saya, memang gila ini.. gila" ucap sang pemilik.

Pak lurah tidak merespon ucapan sang pemilik, dia hanya menatapnya sambil menghisap roko kreteknya dalam-dalam yang kemudian ia hembuskan perlahan-lahan.

"Ini juga untuk pertama kalinya didesa kami pak, maksudnya gantung diri dipasar malam ini yang kedua setelah sebelumnya ada yang gantung diri juga, persis didepan gerbang perkebunan kakao itu. Tapi untuk kasus gantung diri ini pertama kali" Jawab bapak sambil menunjuk kearah perkebunan.

Pak Lurah masih diam, sambil menatap bapak.

"Pak Lurah sudah menceritakannya kalau kejadian itu, tapi saya tidak mengira kejadian ini akan terjadi berturur-turut. Apakah akan ada lagi selanjutnya ? "

Kini bukan Cuma pak Lurah yang diam tapi bapak juga. mungkin mereka tak tahu harus menjawab apa.
"Sebenarnya ada apa dengan orang-orang yang mati itu ?"

"Polisi sedang menyelidiknya, tapi belum ada hasilnya." Jawab bapak

"begini pak Lurah, bagaimana dengan tindak lanjut isu api terbang itu ?" Tanya bapak

"Wah, apa lagi itu ? " Tanya sang pemilik karena kaget mendengar ucapan bapak.

Pak Lurah tidak menjawab pertanyaan kedua pria didepannya ini, dia masih terlihat asik menikmati roko kreteknya.

"Begini pak, kemarin itu ada orang yang melihat bola api terbang diatas kampung, terus menghilang dan masuk ke rumah warga." Bapak menjelaskan.

"Pantesan ada orang gantung diri."

Pak lurah terperanjat dari tempat duduknya, dia segera duduk tegap. Seperti tertarik dengan ucapan sang pemilik wahana. Begitu juga bapak yang kaget mendengarnya.

"Maksudnya ?" Tanya pak Lurah.

"Kebetulan saya ini berasal dari jawa pak Lurah, dulu bapak saya suka bercerita, kalau dikampung ada benda aneh mirip bola api terbang dan menghampiri rumah warga, sudah dipastikan orang yang tinggal dirumah itu akan mati gantung diri keesokan harinya."

"Semacam Santet ?" Pak Lurah semakin penasaran.

"Saya tak tahu, tapi itu semacan cerita lama orang-orang dulu. Bapak saya yang cerita."
"Mungkin kah ini semacam guna-guna ?"

"Saya sudah sangat lupa cerita itu, tapi katanya bola api itu semacam tanda. Kutukan, penyampai pesan kematian. Tapi tidak ada yang tahu sebenarnya apa bola api itu."

"Apa ada cara untuk mencegahnya ?" Tanya Pak Lurah.

"Orang yang mati gantung diri gara-gara bola api, menurut bapak Saya. dia tidak boleh dimandikan atau dikafani, harus langsung dikubur begitu saja, layaknya bangkai tikus. Karena kalau tidak energi negatifnya akan menular ke orang lain, dan bunuh diri akan terjadi lagi." Jawab sang Pemilik.

Bapak dan Pak Lurah saling berpandangan, mereka tampak kebingungan. Apakah cerita yang diucapkan sang Pemilik pasar malam ini hanya mitos belaka atau benar-benar sebuah fakta, tidak ada yang tahu.

"Bukankah bapak bilang orang yang sebelumnya gantung diri itu juga kerabatnya ?" Tanya sang pemilik.

"Ibu mertuanya lebih tepatnya."

Sang Pemilik mengangguk-ngangguk, lalu dia mengambil sebatang rokok kretek dan menyalakannya.

"Tapi sebelum kematian Ratmi tidak ada seorangpun yang melihat bola api seperti ini." Bapak menimpali.

"Tidak ada orang yang melihat bukan berarti bola api itu tidak ada bukan ?"

Pak Lurah semakin bingung, begitu juga bapak. Kami berempat termasuk saya yang sedari tadi menyimak pembicaraan ini langsung terdiam tanpa kata-kata. Ditengah keramaian suara alunan musik dangdut dan gemerlapnya lampu yang kelap-kelip dari berbagai wahana, diwarung bubur kacang ijo ini seperti ada kesunyian yang dalam, ada kengerian dalam hati yang tidak bisa kita ungkapkan.

Entah berapa lama kami terdiam, hanya sibuk menikmati roko kretek masing-masing. Saya memperhatikan ketiga wajah pria dewasa yang sedang gelisah ini. Si pemilik mungkin gelisah dengan nasib pasar malamnya yang tak kunjung untung, pak Lurah gelisah dengan nasib warganya. Sedangkan bapak mungkin gelisah akan ketakutan-ketakutan lainnya yang mungkin sedang menunggu diesok hari dan seterusnya.

Sementara saya, tiba-tiba ingin melihat kearah gerbang masuk pasar malam entah kenapa, diantara lalu lalangnya orang-orang yang berjalan dan suara teriakan-teriakan pedagang, mata saya hanya terfokus pada papan selamat datang. samar-samar saya seperti melihat sesosok tubuh tua mengenakan kebaya tergantung disana, matanya yang melotot menatap kearah saya dengan senyum yang sangat misterius.

Ya, nenek Isur tersenyum kepada saya, lalu bayangan itu kembali hilang.

Gantung DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang