PROLOG

361 157 132
                                    

Gadis itu menatap lurus langit yang dipenuhi bintang. Dingin angin yang berhembus menusuk kulitnya tak dihiraukan. Sekuat tenaga ia menahan air yang menggenang di pelupuk matanya agar tidak luruh membasahi pipinya. Sekelebat kejadian kembali memenuhi pikirannya. Ia tertunduk sambil menggelengkan kepala berusaha menghilangkan segala gambaran yang tidak ingin dilihatnya.

Dengan mudah air matanya jatuh, menetes mengenai jarinya. Matanya tertuju pada benda yang melingkar indah di jari manisnya. Sambil tersenyum, ia terus memperhatikan benda dengan permata di tengahnya beserta ukiran nama yang tercetak sempurna. Ia menutup mata, mencoba mengingat kembali kenangan manis saat memperoleh benda itu.

Barang sedetik, kembali perih mendatanginya. Tidak sanggup menopang tubuhnya sendiri, ia luruh, bersamaan dengan air mata yang ikut merasakan dingin kulit wajahnya. Luka kecil yang baru tergores di hatinya semakin menembus ke dalam, membuka semua kenangan yang telah dikuburnya dalam-dalam.

Sesak. Dihirupnya oksigen sebanyak mungkin. Semakin dalam, semakin sesak. Ia memegang dadanya kuat dengan mulut bergetar, mencoba mengatur nafasnya yang semakin menderu.

Aku ingin bahagia.

***

Ia duduk di sebuah kursi taman, terus mencari keberadaan seseorang. Keberadaan gadisnya. Matanya menerawang pada langit yang telah gelap. Sesekali menutup matanya, merutuki kebodohannya, memaki dirinya sendiri.

Apa masih layak ia menyebutnya gadisnya? Setetes bening air luruh dari sudut matanya. Dihantamnya ujung kursi kuat-kuat dengan tangannya sendiri, mencoba menyakiti dirinya sebisa mungkin, sesakit mungkin, terus sampai darah mengucur deras membasahi tangannya.

Ini bahkan sama sekali tidak cukup untuk menebus semua. Karena ia tahu.

Aku menyakitinya.

***

040118

With love,

vanny

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang