Aku tidak pernah menyadari, semua yang terjadi rupanya sudah ditakdirkan sebelumnya.
***
"Perlu gue akui lo cukup ahli bikin gue berhenti bernapas, Yan."
Ardian mendesis, "nggak usah lebay juga."
Saat ini mereka sedang berada di cafe dekat kampus mereka. Membicarakan perihal maksud ucapan Ardian tadi malam.
"Kenapa tiba-tiba?" tanya salah satu temannya.
"Gue butuh duit."
"Jadi lo pingin usaha sendiri gitu? Yakin, Yan?" tanya temannya yang lain.
"Yakin. Kalau kalian mau bantuin gue," kata Ardian nyengir lebar.
"Dasar."
"Unfaedah."
"Jahat amat, yaawla."
Kedua temannya menghela napas.
"Lagian, gue harus kerja. Gue juga masih semester lima, keburu di usir duluan baru lulus," ujar Ardian.
Kedua temannya nyengir tanpa dosa.
"Mentang-mentang mau lulus ya lu dua," ujarnya lagi dan kemudian menyesap kopi yang tadi dipesannya.
Mereka tertawa. Seandainya Ardian tidak pindah jurusan, dia pasti juga sama nyengirnya dengan kedua temannya.
Gio dan Arsen, teman seperjuangan Ardian, yang sebentar lagi lulus. Mereka memang bukan mahasiswa jurusan fotografi. Tapi jangan salah, mereka sama jagonya dengan Ardian.
Sudah sama-sama hobi sejak SMA.
"Nggak join studio besar lagi aja kayak dulu?" tanya Gio, teman pertama yang dihubunginya tadi malam.
"Sekarang susah, Yo. Fotografer udah banyak, mereka juga akan utamain yang fresh graduate dibanding mantan mahasiswa fotografi," jawab Arsen sengaja menyinggung Ardian, membuat Ardian menepuk kepalanya.
"Iye, maap!" kata Arsen sambil mengusap-usap kepalanya.
"Yodah, gimana maunya? Gue setuju aja sih," kata Gio akhirnya.
"Kita bikin tim sendiri, Yo. Kita bertiga. Bagi tugas gitu," jelas Ardian.
"Bagi tugas gimana maksudnya?" tanya Arsen.
"Ya you know kan Sen, gue nggak mau ngefoto model."
"Astaga, Yan! Lo masih trauma?" tanya Gio dengan ekspresi kaget lebaynya.
"Nggak trauma. Cuma keinget aja."
"Gubluk. Trauma itu namanya," balas Arsen.
"Jangan-jangan belum move on ya lo?" tanya Gio lagi.
Ardian meringis.
"Buset, Yan. Si jalang masa nggak bisa lo lupain?" sindir Arsen.
"Sumpah, Yan. Kalau gue jadi lo, udah gue siapin namanya di batu nisan," ucap Gio.
"Eh gila kejam pisan," balas Arsen.
Ardian menggaruk belakang kepalanya. "Teman, itu nggak penting. Ini gimana usaha kita?" tanyanya mengalihkan topik pembicaraan.
Setidaknya ia ingin pertemuan pertama membuahkan hasil. Karena kata orang, rapat pertama kemungkinan besar tidak akan menghasilkan apa-apa.
Ketiga orang tersebut tampak berpikir.
"Sekarang jaman media sosial kan. Kita bikin account bisnis lewat sana aja. Contoh, instagram. Lo lihat sendiri kan adik lo sukses berkecimpuh di dunia perinstagraman," usul Gio.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY
Teen FictionKamu, seperti manekin yang hanya memperhatikan dari jauh. Aku, seperti alat potret yang berusaha mengabadikan kisah sendu. Kamu membawa serpihanku, dan aku membawa kepinganmu. Bertemu dalam sebuah kisah cinta rumit yang sulit dijelaskan apa dan baga...