Tiga

212 108 142
                                    

Saat pertemuan tidak lagi hanya sekedar awal perpisahan, namun juga awal kehilangan.

***

"Yaampun, Nay! Nggak balance ini. Ulang dari awal!" teriak Bianca tepat di telinga Naya.

Tidak bermaksud begitu, hanya saja posisi mereka sekarang sedang bersebelahan, tengkurap, dan menjadikan tangan sebagai tumpuan di lantai.

Sesuai janjinya, Bianca akan mengajarkan pembukuan ke Naya yang memang cukup dikuasainya. Terkadang Naya bingung, mereka sesama IPA tapi kenapa Bianca bisa paham akuntansi sedangkan Naya mat-fis-kim saja masih suka nyontek.

"Buset, iye nggak budeg gue, Bi," balas Naya sambil menepuk-nepuk telinganya.

Bianca merebahkan tubuhnya, lelah. Hampir dua jam mereka belajar, mengulang laporan setidaknya dua belas kali, dan selalu berakhir dengan Bianca yang mem-balance-kan laporannya.

"Susah, Bi. Ini gue juga nggak paham deh kenapa nggak balance, padahal gue nempatinnya udah bener," kata Naya sambil menunjuk-nunjuk kolom bertuliskan debit dan kredit bergantian.

"Belajar makanya. Baru awal semester juga."

"Hiks. Justru itu, baru awal semester masa udah dapet tugas aja."

Bianca mendengus kesal. "Lo minta ajar Hajel aja udah. Mati berdiri gue ntar ngajarin lo," ujar Bianca menyerah.

Tanaya mengerucutkan bibirnya sebelum menyadari, "eh iya! Itu orang kemana deh nggak dateng-dateng."

Bianca mengangkat bahu bingung, "nggak tau, nggak bilang apa-apa tuh ke gue."

Naya mengernyit, "masa dia nggak ngabarin lo? Tumben banget."

Bianca hanya mengangkat bahunya lagi. Iya, tumben nggak ngabarin.

Mereka berdua terdiam cukup lama hingga Naya memecah keheningan keduanya.

"Gimana rencana lo selanjutnya?" tanya Naya yang ikut membaringkan tubuhnya di samping Bianca. Persetan akuntansi.

"Hmm," Bianca hanya bergumam dan menutup matanya, cukup kaget mendengar pertanaan Naya.

Merasa dikacangi, "yuhuuuu, gue nggak lagi ngomong sama langit-langit kamar, loh."

Bianca berdecak, "nggak tau, Nay. Pusing mikirin hidup."

Tanaya mengarahkan tubuhnya ke samping, menghadap Bianca.

"Kenapa nggak minta bantuan Hazel aja sih, Bi? Sampai berbusa loh dia nawarin bantuan."

Bianca menghela napas, menghadapkan tubuhnya berhadapan dengan Naya dan mendorong jidatnya dengan telunjuknya.

"Sungkan. Bukan siapa-siapanya masa minta-minta."

"Bukan siapa-siapanya ya? Hm," ucap Naya mengejek.

Bianca terkekeh geli, "suer deh. Gue anggep dia nggak lebih dari teman, Nay."

Naya melirik curiga, "enggak atau belum tuh? Lagian kelamaan, Bi. Kenapa nggak lo terima aja sih? Jarang-jarang loh cowok mau digantungin se lama ini."

Bianca memanyunkan bibirnya, "yaudah sih. Masa salah gue, dianya tuh yang terlau setia nunggu."

"TUH! Lo sendiri yang bilang dia setia. Coba, kurang apa curut gue satu itu?"

Bianca menggaruk tengkuknya, "gue- hm, gimana ya, Nay. Gue susah yakinin diri sendiri. Lagian gue nggak mau jadi pacarnya cuma atas dasar perlu bantuan."

Kali ini, Tanaya yang menghela napas.

"Oke, gue ngerti gimana traumanya lo yang pas udah sayang-sayangnya terus mendadak ditinggal sama si brengsek itu-" Bianca meringis mendengar kalimat Naya.

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang