Bukan salah untuk memulai, bukan salah untuk mencoba. Namun satu, sudahkah hati memilih dengan tepat?
***
"Lo tuh ya, dadakan banget! Belum siap-siap gue," ujar Bianca dengan penampilan acak-acakan, dan hanya merapihkan seadanya.
Hazel menarik pergelangan tangan Bianca. "Nggak usah udah cantik."
"Pret." Bianca menatapnya bete, membuat Hazel tertawa.
"Sana masuk," pinta Hazel mendorong tubuh Bianca memasuki mobilnya.
"Mau kemana?" tanya Bianca yang tengah memasang seat-beltnya
"Ada pokoknya." tanpa berlama-lama, Hazel segera melajukan mobilnya.
"Nggak suka ah rahasia-rahasiaan gini."
Hazel tersenyum, senyuman khasnya, tanpa menanggapi Bianca, membuatnya semakin bete.
Melihat kekesalan Bianca, Hazel berniat menggodanya. "Bi, lo masih punya utang ke gue, jangan lupa."
Bianca melotot, "serius? Apaan, Jel?"
Hazel menahan senyumnya, "dinner bareng."
Bianca mendecak sebal, "kapan janjian kayak gitu?!"
Hazel tertawa, beberapa detik kemudian, "Bi, janji jangan marah ke gue ya?" tanya Hazel dengan wajah seriusnya. Membuat Bianca parno sendiri.
"Apaan sih, Jel? Kasih alasan kenapa gue harus marah?"
"Pokoknya janji dulu jangan marah."
Bianca menghela napas, ia tahu ada yang tidak beres disini.
Harusnya Bianca tahu kemana dia akan di bawa pergi Hazel, hanya saja sedari tadi ia tidak memperhatikan jalanan, sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Iya, nggak marah. Ada apa?"
Tatapan Hazel melembut, "sebentar."
Hazel memarkirkan mobilnya tepat di depan butik 'hangus' milik Bianca, membuat Bianca mengernyit.
"Jel, lo nggak aneh-aneh kan?" Bianca menautkan kedua alisnya.
"Aneh-aneh pun lo janji nggak marah kan sayang." Hazel mengacak puncak kepala Bianca.
Bianca mendengus kesal dan kemudian turun dari mobil Hazel.
Bianca terus mengomel sampai Hazel membuka kunci butik Bianca dan mendorongnya masuk, "Hazel awas aja lo sampe- woahh."
Butik hangus Bianca sudah tidak lagi terlihat buluk seperti sebelumnya. Seluruh ruangannya bersih, hingga ke sudut-sudutnya. Tidak hanya itu, semua perlengkapan butiknya tersedia. Rak, meja, kain, manekin, dan perlengkapan desain yang notabene semuanya hangus terbakar, telah tersusun rapih.
Hazel nyengir, merangkul pundak Bianca, "gue nggak ngerti perlu apa aja, jadi cuma ini yang gue siapin."
Baru hendak melayangkan protesnya, Hazel membekap mulut Bianca dengan telapak tangannya. "Janji."
Bianca menyentak tangan Hazel. "Nggak-nggak. Nggak bener ini. Ngapain sih?"
Hazel mengarahkan tubuh Bianca ke hadapannya, meletakkan kedua tangannya di pundak Bianca.
"Bi, gue tau lo nggak akan terima bantuan apapun. Tapi ini nggak semata-mata gue kasih ke lo kok. Lo bisa ganti saat lo sukses nanti."
Ditariknya Bianca ke pelukannya, meletakkan dagunya di puncak kepala Bianca. "Jangan pikirin apapun sekarang, yang penting, lo harus bangkit lagi." Kalimatnya diutarakan dengan penuh penekanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY
Teen FictionKamu, seperti manekin yang hanya memperhatikan dari jauh. Aku, seperti alat potret yang berusaha mengabadikan kisah sendu. Kamu membawa serpihanku, dan aku membawa kepinganmu. Bertemu dalam sebuah kisah cinta rumit yang sulit dijelaskan apa dan baga...