pacific's #2

135 11 0
                                    

pacific's #2

•••

we're on this roller coaster ride, hold on, i'll stay here by your side

answer the phone, sugar ray

•••

"Makan, Val." Mungkin sudah seribu kali Ray menyuruhku untuk menghabiskan fish and chips yang terlihat enak banget itu. Bukan itu masalahnya. Tetapi, perutku memang tidak ingin menerima makanan itu. Andai saja Ray tau kalau aku mengidap penyakit anorexia. Andai saja dia tau.

Itulah sebabnya, aku tidak berani memasukkan satu sendok pun fish and chips itu ke dalam mulutku.

"Engga, Ray. Buat kamu aja." Sudah seribu kali juga aku menolaknya.

"Emang kenapa sih lo ga mau makan? Ini udah satu jam, Val. Satu sendok aja." Ray menatapku dengan tatapan yang sangat memelas. Aku jadi tidak tega. Tapi, aku memang tidak ingin makan.

"Mending sekarang kita ngerjain sejarah." Aku membuka resleting tas ransel yang kubawa, mengeluarkan buku sejarah dan laptop macbook-ku, dan menaruhnya di meja makan.

Tetapi, saat aku ingin menyalakan laptopku, Ray menahan pergelangan tanganku, membuatku membeku.

"Please. Makan. Gue ga mau lo sakit." Aku sangat terharu. Ini pertama kalinya ada seseorang yang peduli terhadapku. Aku bahkan baru mengobrol secara langsung dengan Ray hari ini. Padahal, jika di sekolah Ray terlihat menyebalkan, cuek, dan suka mempermainkan perempuan. Tetapi ternyata, sosok aslinya seperti ini. Sangat perhatian.

Mulai dari sekarang, aku tidak boleh menilai orang asal begitu saja.

"Yaudah. Di take-away aja, ya." Lalu, aku menyuruh salah satu pegawai di pacific's untuk membungkus fish and chips-ku.

"Jadi sekarang?"

"Kita ngerjain sejarah."

Ray menatapku dengan puppy eyes-nya, "mager..."

Aku memutar kedua bola mataku, kesal. "Ray, aku ada acara sekitar jam 4. Sementara sekarang udah jam 2. Kita cuma punya waktu 2 jam doang."

Tentu saja aku berbohong. Aku tidak ingin menghabiskan waktu lama-lama dengan cowok ini. Bukannya aku tidak menikmati waktu berdua bersamanya. Tetapi, aku takut aku akan mempermalukan diriku sendiri. Entah itu nanti aku tiba tiba berubah kikuk, atau apapun itu. Aku sebenarnya jarang sekali bergaul dengan teman teman di sekolahku. Yah, kalau mereka memang pantas disebut 'teman'.

"Bohong, ah. Ga pinter boong lo."

"Aku ga boong."

"Sumpah, ya, Val. Lo mau gue ngomong jujur ga?" Aku seketika menjadi gugup. Ray ingin berbicara apa? Apa dia ingin bilang kalau penampilanku jelek? Atau nafasku bau? Atau--

"Ini, ya fish and chips-nya yang mau dibawa pulang." Tiba-tiba, ada mbak-mbak yang mengantarkan fish & chipsku.

"Makasih, mbak." Gumamku.

"Gue berasa pacaran sama lo tau kalo lo ngomong pake aku-kamu, gitu."

Aku harus jawab apa?

Aku menggerakkan kakiku. Itu tipikal ku banget kalau aku sedang gugup.

"Kaki lo kenapa gerak-gerak sih?" Lagi-lagi, kenapa dia bisa tau kalau kaki ku gerak-gerak?

"Gatau." Aku membuka buku sejarahku. Entah itu halaman berapa aku tidak peduli. Yang terpenting aku bisa lolos dari situasi awkward ini.

"Eh, Val. Lo cantik tau hari ini. Beda banget sama di sekolah." Aku merasa pipiku menghangat. Pasti pipiku sudah berwarna merah sekarang. Aku hanya bisa berharap semoga Ray tidak melihat perubahan warna wajahku.

"Makasih." Jawabku simpel.

"Ya ampun, lo polos banget, ya?" Katanya tertawa kecil, memperlihatkan lesung pipi di salah satu bagian pipinya. Aku baru sadar dia memiliki lesung pipi, walaupun hanya di salah satu pipinya saja.

"Polos kenapa?"

"Ya, polos. Biasanya tuh kalo cewek dibilang cantik, pasti bakal kayak salting salting gaje gitu. Tapi lo? Dengan polosnya bilang makasih. Kocak lo, in a good way." Aku hanya terenyah mendengar penjelasan singkatnya barusan. Asal dia tau, di dalam hatiku, aku tidak bisa berhenti berteriak karena sifatnya yang perhatian itu.

"Perasaan kamu doang kali."

Tiba - tiba hp-ku menyanyikan lagu stay with me-nya you me at six, yang artinya ada telepon masuk.

Disitu tertuliskan Mama.

Aku memberi kode ke Ray untuk tunggu sebentar, ia hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu, aku mengklik tombol answer.

"Halo, Ma?"

Terdengar suara krasak krusuk di seberang sana, "Val, mama pulang telat, ya. Mungkin seminggu lagi."

Aku menggigit bibir bagian bawahku, mencoba menahan air mata yang hendak keluar.

"Tapi mama bilangnya--"

"Iya, sayang mama ada urus--aah!"

Aku sempat mendengar suara desahan. Dengan emosi, aku langsung mengakhiri panggilan tersebut, tidak ingin mendengar lebih lama lagi. Aku tau, pasti mama sedang berhubungan 'itu' dengan rekan kerja yang bernama ashton-ashton itu aku tak tau.

Bila kau ingin memanggil mama-ku dengan sebutan bitch, aku tidak akan marah. Karena memang itulah kenyataannya. Sebut aku anak yang durhaka, tetapi untuk apa aku menjadi anak yang baik kalau mama sama sekali tidak peduli denganku?

"Ray, aku ke toilet dulu, ya."

Aku sedikit berlari menuju kamar mandi. Setelah yakin aku sudah mengunci pintu dengan benar, aku duduk di toilet di dalamnya. Tidak, aku tidak ingin buang air kecil.

Aku...

Aku sedih.

Aku benci hidupku.

Aku benci Mama.

Perlahan, air mata turun membasahi pipiku, semakin lama semakin banyak. Aku menangis sesenggukan, berusaha menahan agar aku tetap menangis dalam diam dan tidak menimbulkan suara.

Kenapa sih mama harus berperilaku seperti itu? Kenapa sih mama harus melakukan 'itu' dengan berbagai macam lelaki? Gimana perasaan mendiang papa kalau papa tau tentang ini?

Sekitar 5 menit aku berada di kamar mandi, aku keluar dari sana. Tidak lupa mencuci muka agar Ray tidak tau kalau aku habis menangis.

"Abis nangis, ya?" Tanyanya, tepat setelah aku duduk.

"Engga, kok." Jawabku, lalu menunduk.

"Kenapa?"

"Aku ga abis nangis.."

"Ih, tadi kan gue cuma nanya 'kenapa?'"

Ya ampun, kalau Ray makin bertanya-tanya seperti ini, aku takut tangisku nanti keluar lagi.

Dan ternyata iya. Air mataku perlahan keluar, membasahi wajahku. Ray yang awalnya tidak sadar kalau aku menangis seketika kaget melihatku dengan kondisi seperti ini.

"Mau balik?" Aku mengangguk lesu.

Setelah itu, Ray pergi meninggalkanku, entah kemana.

Sepersekian menit kemudian, dia kembali. "Yuk balik. Tadi gue habis bayar."

Aku membereskan laptop dan buku sejarah yang tadi kutaruh di atas meja, dan memasukkannya ke tasku.

Setelah sampai di mobil, Ray mengatakan sesuatu, yang membuatku sangat terharu.

"My shoulder is available if you need one." Bisiknya, tepat di telingaku, sembari menepuk bahunya dan tersenyum sangat manis.

--

may 26th

Favourite AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang