"Mas, menurut lo, cewek itu sebenernya suka hal remeh semacam kejutan, nggak?" Jam sebelas malam, ketika gue selesai mengerjakan latihan try out, gue memilih untuk ke kamar Mas Gemma karena gue yakin dia belum tidur jam segini.
Emang nggak ada aturan jam malam di rumah, apalagi kalau nggak ada Ayah. Gue sendiri, nggak biasa langsung tidur setelah ngerjain soal. Entah, seperti soal selalu menggentayangi gue tiap gue memejamkan mata.
"Auk," jawabnya mengedikkan bahu sambil memegang diktat yang gue sendiri ngelihatnya udah kayak bentukan dosa. "Gue kan laki tulen."
Salah besar memang kalau gue bertanya hal seperti ini sama seorang Gemma. Dia pasti sudah kusut buat mikirin diktat-diktatnya yang setebal alaihim.
Dulu, gue pikir cuma mitos kalau anak kedokteran belajarnya semrawut. Tapi melihat Mas Gemma, gue seperti mendapat bukti nyata.
"Emang lu nggak pernah survey apa, temen lu kan banyak cewek tuh, siapa kek, Mbak Putri tuh mantan terakhir lu. You really-really have no clue, aren't you?" Gue memandangi rambut keritingnya yang sudah ubanan beberapa helai dari atas kasur karena sekarang ia cuma duduk di lantai.
Kasian Kakak gue yang satu itu. Ayah yang bahkan udah nyaris kepala lima aja masih bagus rambutnya. Ini dia, bayangin, baru dua puluh dua udah ubanan karena penelitian dan segala macamnya yang bahkan selalu menyita waktunya di hari libur.
Gue jadi takut kuliah.... Ya Allah.
"It's been a long time, Lang. gue gatak lu ye, gangguin gue." Mas Gemma mendelik. "Lagian gue punya adek cewek satu aja nggak ada yang deketin sama sekali, mana berani gue nanya-nanya sama temen-temen gue."
Sialan. Gue yakin dia barusan ngeh sama batin gue yang mengasihani uban-uban di kepalanya itu, makanya dia melumpuhkan gue dengan cara seperti ini.
Sangkalan terbaik gue kalau udah begini tuh, "Gue ini sedang mengembangkan diri gue supaya kayak Mbak Putri, atau seenggaknya kayak mantan-mantannya Mas Gerald; supaya ada yang perjuangin gue sama kayak lo perjuangin dia. Kalau gue cuma asal comot, temen gue yang ganteng juga banyak yang mau sama gue."
Nyatanya nggak begitu, temen cowok gue emang banyak yang ganteng, tapi kayaknya mereka sih nggak ada pikiran buat jadiin gue pacar karena bisa jadi mereka sudah menyamakan gue dengan spesies seperti mereka.
Gue nggak tomboy, sumpah, semua dari dalam diri gue adalah cewek tulen. Tapi karena....
Grr sialan, gue nggak menemukan alasan lain selain karena gue jelek dan banyak cowok yang ilfeel sama gue karena gue nggak ada jaim-jaimnya depan mereka.
"You doesn't tried to deserved to be loved."
"Apa, Mas?" Gue memintanya mengulang kalimat barusan. Gue bener-bener nggak ngerti apa yang dia maksud. Seiyanya gue pantas dicintai, apa iya gue harus mencoba? Maksud gue, iya sih, gue tau gue nggak se-worthit itu buat dicintai apa adanya. Tapi, gue nggak ingin menjadi siapa-siapa demi pantas dicintai. Rasanya kok kayak lagi ngemis.
"Sabtu temenin gue yuk, ke NET. Ada seminar kampus Turkey di auditoriumnya."
"Ngomong dulu nggak, yang tadi itu maksudnya apa." Gue menatapnya penuh kesungguhan.
"Kagak. Belom waktunya lu ngomong gituan." Gituan apa sih, kayak gue lagi ngebahas malam pertama aja, ya. "Pokoknya gue nggak mau tau, setelah zuhur, lo udah selesai PM kan tuh, temenin gue."
"Mas, gue udah ada janji sama anak OSIS, mau ikutan mereka baksos ke panti." Sebagai orang yang nggak pernah menjadi bagian dari OSIS, gue lumayan aktif kalau urusan-urusan sosial.
"Macem-macem aja lu, udah kelas dua belas. Belajar aja yang rajin."
Argggh. "Gion sama siapa?"
"Ayah pulang hari Sabtu."
09/01/'18
Sound: More than Words-Extreme
YOU ARE READING
Kekaburan Bayang-Bayang
Teen FictionKalau pemikiran kalian tentang SMA sesederhana: punya pacar, senioritas, pembodohan, perpeloncoan. Maka biarkan gue menceritakan banyak hal kalau dunia SMA... nggak 'sebersih' yang kita pikirkan.