Gue dan Ari hanya mengajar satu jam karena kita beralasan mau mengelilingi gedung itu. Pak Hayan cuma menatap kita penuh arti yang dijawab Ari dengan gelengan kepala.
Sampai akhirnya kita sampai di kantin yang kala itu nggak ada satu pun penduduknya—kecuali Pakde yang jual bakmi dan es.
"Lo pernah ngerasa nggak sih Ri, ketika lo lewat suatu tempat, lo kangen sama kenangan tempat itu. Tapi pas lo kangen, nggak ada obatnya karena semua udah berubah," mulai gue dengan random. Giginya Ari asik memotong es krim batangan.
"Hhh... kebiasaan banget deh, kalau jalan sama cewek ke tempat-tempat yang ada historinya selalu inget kenangan." Gue terkekeh kecil. Ada benarnya omongannya.
"Fantasi perempuan sih, Ri. Maklum."
"Kayaknya gue nggak punya perasaan sedalem itu deh. Karena menurut gue ya... udah biasa aja." Gue juga selalu mikir gitu kok sebenarnya. Tapi yang namanya tempat itu nggak bisa bohong, mereka punya magis yang bikin kita kadang jadi de javu atau keinget sesuatu.
"Gue inget aja... dulu, waktu pertama masuk SMP, gue segitu bangganya karena gue bosen enam tahun pakai baju merah putiih mulu. Terus, dianter sekolah Ibu pakai motor matik, dengan powernya, dia boncengin gue sama Gion yang juga baru masuk SD karena Ayah belum bisa pulang," lama kelamaan suara gue mengecil ketika gue dengan lancarnya ngomong, "Nggak nyangka aja, pas kenaikan kelas, gue nggak ada yang antar karena dia nggak ada, Mas Gerald nganter Gion dan Mas Gemma berangkat sendiri karena dia naik angkot. Uhh..."
Ari hanya tersenyum mendengar cerita gue yang gue jelaskan dengan berantakan itu. Hidungnya mengembuskan napas dengan berat, lalu tangannya bergerak di atas kepala gue tanpa mengucap apa-apa.
"Lo mau makan es krim lagi nggak, punya lo udah habis tuh." Tapi gue nggak bisa dengan cepat menangkap apa maksudnya, karena begitu gue melongo akan pertanyaannya, dia memasukkan es krimnya ke dalam mulut gue.
"ARI!" Lalu dia tertawa puas melihat kebloonan gue. Dengan jengkel, gue sikut rusuknya supaya berhenti tertawa. Tapi karena dia nggak kunjung berhenti, akhirnya gue justru ikut-ikutan tertawa menyadari kebloonan kita bersama.
"Panggil gue Rakha lagi sih, Lang."
26/03/'18
YOU ARE READING
Kekaburan Bayang-Bayang
Teen FictionKalau pemikiran kalian tentang SMA sesederhana: punya pacar, senioritas, pembodohan, perpeloncoan. Maka biarkan gue menceritakan banyak hal kalau dunia SMA... nggak 'sebersih' yang kita pikirkan.