Gue mempersilakan tempat duduk gue yang masih kosong begitu Leonita sudah datang membawa buburnya dan gue menawarkan tempat untuknya.Seperti yang biasanya gue lakukan sebelum masuk kelas, gue sarapan buat yang kedua kalinya. Dan karena sekarang hari Rabu, yang artinya masuk sedikit siang, gue memilih untuk makan lebih lama di kantin.
Nggak dinyana aja ketemu Nita lagi sendirian, nggak mikir lama, gue ajak gabung buat makan bareng gue dan Citra.
Leonita adalah teman SMP gue yang saat ini menjadi kawan satu sekolah sama gue. Dia anak Bahasa—yang katanya, kurang tenar buat anak-anak angkatan. Mungkin sebab kita makin renggang juga adalah itu.
Kita pernah sedekat itu dahulu. Dulu, gue masih gampang menjadikan seseorang sebagai sahabat, dan Leonita adalah salah satunya. Tapi gue sadar, nggak selamanya kita bisa terus dekat. Mau nggak mau, waktu bakalan mengubah semuanya, nggak terkecuali sahabat.
Mungkin itu alasan kenapa Peterpan menyanyikan lagu ‘Tak Ada yang Abadi’. Kita nggak bisa salahin siapa-siapa. Semuanya bakalan berubah kita sadari atau nggak.
“Bagi satenya dong, Nitaaaaa,” bilang Budi yang sedari tadi menjadi parasit di antara kami, makanya nggak gue anggep. Hmm. Gue yakin banget si Nita bakalan diterkam sama serigala satu ini. Leonita cantik—mungkin nggak ada satu pun orang yang berani nyangkal—dan sudah pasti Budi tahu kalau dia dekat sama gue. Maka dia sama sekali nggak segan buat nge-lobby Nita. Nita sih senyum-senyum aja. Nggak enak nolak.
“Cabut sono lu, Di. Ada bisnis gue sama nih anak,” usir gue sambil mendorong-dorong perutnya yang ada di belakang kepala gue. Sumpah banget nih anak, makan sambil berdiri. “Di, ini nempel loh. Sono-sono.”
“Apa nya sih, Lang?” Semua orang di sana masih belum peka.
“Ini nempel bego, di punggung gue.”
Gue tebak sih, mukanya Budi merah karena gue kerjain gitu. Citra udah ngakak aja, si Nita juga cuma senyum-senyum. “Oh… satenya, Lang. bilang kek.”
“Sok improvisasi lo! belom ajaa gue sleding!” ledek gue sambil tertawa-tawa. Dia sendiri, sudah melayangkan tangan seolah pengin ninju gue.
Nita makin terbahak mendengar lawakan gue yang lagi khas zaman sekarang. “Gue inget memenya Kak Seto dah.”
Citra secara refleks menepuk bahu Nita. “Gila! Iya lagi! Mana… Nit, parah banget tulisannya di meme itu. Kurang ajar deh yang buat.”
“Temen-temen lo mana, Nit?” tanya gue setelah tawa kami mereda. Gue emang agak jarang ngelihat Leonita jalan sendirian. Dia anaknya lebih supel dari gue, jadi kayak nggak mungkin aja dia nggak bareng temennya apalagi ini ke kantin dan buat sarapan.
Gue bukannya stereotip. Tapi begitu kenyataannya. Mereka biasanya bergerombol gitu. Mau weekend apa weekdays yang pasti nyaris selalu kumpul. Malah kadang ada yang nggak makan karena teman-temannya nggak ke kantin. Saking takutnya dikasihanin karena sendirian.
Gue juga begitu anyway.
“Nanti pada nyusul. Ini masih di ruang padus.”
Gue mengangguk mengerti. Rasanya, gue kangen ngobrol banyak sama nih anak, tapi kok gue nggak tahu ya… apa yang mau diobrolin. Ruang lingkup kita sekarang beda. Iya atau nggak, itu membuat gue jadi susah menemukan topik yang seenggaknya buat gue dan dia cocok buat diobrolin.
Tapi, begitu Citra bangun dan mengembalikan mangkuk, gue menolaknya ketika ia ngajak gue balik ke kelas. I’ve told you I miss her.
“Lo berangkat sama Ari, tadi pagi Lang?”
Serta-merta, gue melongo setelah selesai menyodot teh yang gue pesan. Random amat pertanyaannya dah. “Iya,” jawab gue dengan suara bingung. “Kok lo tau?”
“Gue ngeliat.”
“Kok nggak manggil?” Bener deh, gue nanya begitu bukan buat mengintimidasinya. Gue cuma bingung, kalau iya Nita beneran melakukan apa yang gue tanyakan itu. Karena kalau iya, sudah berapa kali dia ngelakuin begitu—ngeliat gue tapi nggak sapa?
Gue sering ngelihat dia dan gue selalu sapa dia, karena gue nggak pengin ada orang yang tahu kita nggak saling kenal padahal nyatanya kita pernah sedeket itu dulu.
Nita diam. Mungkin dia agak bingung mau jawab apa. sebenarnya, dia nggak sapa pun nggak apa-apa. Bisa jadi waktu itu dia lagi kerepotan bayar abang ojek? Bisa jadi waktu itu dia lagi salim sama bapaknya dan nggak sempat sapa kita.
“Dia nitip salam buat lo.”Refleks, dia yang lagi menggigit sate, terdiam dan dengan gaya nggak banget, melongo karena pertanyaan gue. “Udah putus sih.”
“Ya emang ngapa? Tinggal jawab waalaikum salam aja. Effortless banget sih.” Sebel sendiri gue jadinya. Tadi dia duluan lohh yang mincing buat ngomongin Ari. Tau-tau aja dia bilang udah putus. Gue nggak kaget sama sekali emang, tapi caranya ngomong itu seakan-akan gue nggak butuh tahu tentang kehidupannya, dan gue nggak perlu kaget kalau sewaktu-waktu ada yang berubah dari dia.
“Ya udah Lang, bilang aja gue udah jawab begitu.”
Gue hanya bisa geleng-geleng kepala. Nggak tega mau marah, karena yaa… kalau dipikir-pikir, nggak ada dasarnya juga gue marah. It’s happened anyway. Gue sudah merelakan semua kejadian yang ada di lingkaran hidup gue. Tentang apa pun itu. Anything all that shit.
Keluarga gue, teman-teman gue, semua juara-juara kelas.
Dan gue rasa, nggak cocok aja kalau seketika gue marah lagi sama keadaan hanya karena seorang Leonita.
“Kalian ketemu dimana?” tanyanya yang sepertinya enggan melanjutkan topik tadi. Dan gue jawab apa yang beneran terjadi beberapa hari lalu. Semuanya kecuali tentang Ayah dan Mas Gerald yang tiba-tiba kembali—karena gue rasa Nita nggak perlu dengar hal ini secepat itu. Atau sama sekali.
Mungkin, bagi sebagian orang, kedatangan seorang Ayah dan Kakak adalah hal biasa—atau malah istimewa hingga mereka dengan mudah mengumbar-umbar. Tapi buat gue, ini adalah keadaan genting. Kadangkala, gue memang ingin cerita kalau hidup gue terusik dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba itu.
Maksudnya… gue sudah terbiasa mengurus diri gue sendiri dan dua saudara gue yang lainnya, rasanya asing kalau gue nggak lagi mengurus hal tersebut sendirian. Tapi kok rasanya aneh. Sebelumnya, gue nggak punya tempat buat gue jadikan sebagai tempat cerita—selain Lili tentunya. Apalagi, gue merasa gue selalu terlihat baik-baik aja di depan orang banyak.
Sumpah sih, ini bukan kepedean, tapi emang gue jarang nunjukin siapa diri gue sebenarnya kalau ketemu sama orang yang belum bisa gue percaya. Yah… gimana, di depan mereka, gue nggak bisa nggak bahagia. Beda aja kalau sama Lilia tau Mas Gemma. Gue justru lebih suka memperlihatkan gue yang sesungguhnya ke mereka.
Mungkin… ini juga adalah karma yang gue dapat dari Leonita.
Gue nggak pernah membolehkan siapa pun masuk ke hidup gue, dan Nita melakukan hal yang sama ke gue. Is it enough fair?
“Acara seminar.”
Tiba-tiba, Nita ngomong, “Kita nggak direstuin, Lang. Makanya…,” Nita nggak melanjutkan kalimatnya dan gue menghargai itu. Entah dasarnya apa. Maksudnya, please deh. Nita se-perfect itu kalau dijadiin menantu. Gila aja kali ya… “It’s too much chaostic, bokap kita saling kenal dan nggak jelas masalahnya apa, tapi masing-masing dari mereka suruh kita buat menghentikan semuanya.”
“So why don’t you both no struggle?”
Nita malah tertawa. Jenis tawa yang emang selalu asik didengarnya meskipun gue tahu ada rasa kecewa dalam tawa itu. “Perjuangin apa sih, Lang? kita ini cuma dua bocah yang saling suka di cinta monyet. Our relationship isn’t our priority. Jadi... ya udah."
Gue lantas memperlihatkan muka dengan ekspresi ‘sumpeh lo?’ yang gue punya. Ini Nita ‘kan? Nita temen gue SMP yang dulu kelas tujuh jadian sama Ari si kakak kelas itu! Yang dulu waktu dengar teori gue tentang cinta monyet selalu ketawa ngakak dan ngatain gue hopeless.
Kenapa dia mendadak dewasa gini ya? Sumpah…. Udah berapa laama kita nggak ngobrol padahal kita sesekolah sampai gue nggak ngenalin dia gini ya?
“Gue balik ya, Lang. udah bel!”
01/03/'18
YOU ARE READING
Kekaburan Bayang-Bayang
Teen FictionKalau pemikiran kalian tentang SMA sesederhana: punya pacar, senioritas, pembodohan, perpeloncoan. Maka biarkan gue menceritakan banyak hal kalau dunia SMA... nggak 'sebersih' yang kita pikirkan.