Seperti biasa, gue pulang bersama Liliana setelah gue menunggunya di depan gerbang sekolahnya.
"Gion ngapa nggak ke rumah dah, Lang?" tanyanya begitu kita berdua sudah berjalan beriringan. Tadi pagi gue memang mengiriminya pesan singkat kalau Gion nggak akan ke rumahnya, tapi Liliana nggak balas sama sekali.
Gue dan dia memiliki perjanjian tidak tertulis yang menyatakan kalau kita nggak akan terlalu sering memberi kabar satu sama lain kalau nggak mendesak banget. Seandainya kita bertanya atau meminta izin satu sama lain, dan kita setuju, kita nggak perlu membalas pesan itu.
Nggak ngerti kenapa. Alasan mendasarnya sih, kalau pengin rame, ya ramein sekitar, bukan ramein hape. Kalau kangen, ya tinggal ketemu, bukan ngebaca lewat teks pesan.
"Karena Ayah pulang," jawab gue apa adanya. Nggak membumbuinya dengan nada senang atau sedih. Gue bilang, gue udah sebiasa itu sama Ayah. Kayaknya, kalau suatu hari Ayah pulang dan bawa istri, gue cuma iya-iya aja.
"Uh... pengen ketemu Om. Gimana dia sekarang?" Gue emang nggak bilang apa-apa ke Liliana soal kepulangan Ayah. Waktu hari Sabtu pulang dari seminar, gue memang sempat ke rumahnya membawa oleh-oleh dari Ayah, tapi gue nggak bilang itu dari Ayah.
Dia nggak nanya soalnya.
"Ya... makin tua, Li. Tapi ubannya masih banyakan Mas Gemma sih." Liliana lantas tertawa sampai memegangi perutnya kalau gue sudah membahas uban Mas Gemma—hal yang nggak pernah gue bahas di depan orangnya langsung.
"Kenapa uban mulu sih, Lang. kasian." Kasian-kasian juga lo ketawa, Li.
"Sumpah sih, Li, seandainya gue cuma punya pilihan kerja jadi guru, maka gue memilih jadi guru BK deh. Sampai sekarang guru BK gue masih pada fresh, beda aja kalo dibanding sama guru Fisika atau Kimia deh." Emang iya kok, perbedaan mereka tuh, mencolok banget. Sampai sekarang gue masih nggak ngerti sama guru-guru pelajaran berat, kenapa mereka memilih untuk memperdalam ilmu itu dibanding menjadi guru BK yang jam terbangnya super-duper dikit.
Jadi guru BK tuh... udah pasti berhadapan sama orang banyak dan setiap dari mereka pasti punya beban hidup atau cerita yang sesungguhnya nggak kelihatan sama sekali. Gue bukannya suka melihat orang memiliki masalah dalam hidup mereka, tapi dari situ gue belajar kalau setiap orang punya masalah yang kadarnya sama. Cuma gimana mereka ngadepinnya aja.
"Untung... nggak semua orang punya pikiran serupa sama lo, Lang, bayangin kalo di dunia ini nggak ada Fisika atau Kimia... nggak ada jembatan yang bakal hubungin antar kota, Lang, nggak ada bensin buat lo jalan, Lang." omongan Liliana emang cuma kayak orang bercanda, seakan menjelaskan kalau semua orang kayak gue, hidup nggak akan jalan. Tapi gue juga bisa menangkap konklusi dari yang dia ucapkan.
"Lo mau mampir ke rumah gue nggak?" tanya gue mengingat ucapannya tadi. "Ketemu Ayah."
"Ishh, iya do—" ucapan Liliana benar-benar terpotong ketika sebuah mobil menghadang langkah kami.
Gue udah mau minggir aja rasanya karena udara Jakarta sesumpek itu di jam tiga sore, dan gue terlalu ogah meladeni orang iseng sebelum akhirnya, Liliana menahan lengan gue karena dia melihat siapa yang menghadang kami.
"Kak Ari?"
"Bareng gue yuk?"
03/02/'18
YOU ARE READING
Kekaburan Bayang-Bayang
Teen FictionKalau pemikiran kalian tentang SMA sesederhana: punya pacar, senioritas, pembodohan, perpeloncoan. Maka biarkan gue menceritakan banyak hal kalau dunia SMA... nggak 'sebersih' yang kita pikirkan.