“Yang tadi itu siapa, Lang?”
Pertanyaan Ari membuat gue mencondongkan badan ke depan. Kayaknya dia emang bener-bener clueless soal keluarga gue—hal yang aneh karena dulu dia sering main ke tempat gue.
“Abang.” Setelahnya Ari langsung oleng karena gue menyebut kata ‘abang’. “Abang sulung gue, Ri.”
Kayaknya… kayaknya nih ya, dulu waktu gue masih deket sama dia, Ibu masih ada, dan Mas Gerald masih di Indonesia. Kenapa dia lupa ya? Ari emang nggak tau secara langsung pas Ibu nggak ada. Dan sejak itu, gue juga menjauhinya.
Sebenernya, bukan gue berniat begitu, tapi saat itu dia emang mau SMA yang artinya nggak akan sesekolah lagi. Gue terlalu malas untuk tetap mengontak sama dia. Which means, please deh, ada saatnya yang ketemu bakalan pergi.
“Oh? Duh, gue lupa,” Ari menggaruk kepalanya.
“Lo nggak kuliah, Ri?” Kampusnya di UI, nggak jauh juga dari sini, tapi kenapa dia nggak kelihatan sibuk?
“Kuliah, kan nanti jam lapan.”
Dalam hati, gue bingung kenapa si Ari ini effort banget sampai ngorbanin waktu siap-siap ke kampusnya. Padahal, kalau gue jadi dia, mending di rumah dan tidur.
“Gue inget banget sih, Ri, waktu lo paskib, lo paling males kalau disuruh ngapa-ngapain. Sampe pernah disuruh ngambil guard di ruangan aja lo bilang, ‘Ntar dulu kek, Pak, mager,’ aneh ya lo, mendadak rajin sekarang,” kata gue seraya mengekeh. Waktu itu kita mau lomba dan guard ketinggalan di ruangan. Terus si Ari, yang disuruh, justru memejamkan mata sambil jongkok.
Zaman dulu, dia selalu dipanggil tukang molor, sampai waktu itu, gue—yang lagi ada di sebelahnya dia—digeret dan dia balik suruh gue. Membuat Pak Hayan—selaku Pembina—mencak-mencak nggak keruan.
“Uh… Pak Hayan tuh emang sengaja banget ngerjain gue karena gue pas itu emang ngantuk parah,” sangkalnya nggak mau kalah.
“Nggak, Ri. Lo suka ngelak gitu yaaaaa.”
“Udah berapa lama ya, Lang, lo nggak ngomong semanis itu ke gue?” Gue mendengar pertanyaan Ari itu dengan sangat jelas. Tapi gue nggak menjawab sama sekali pertanyaannya. Kenapa suka tiba-tiba sih Ri?
Kayaknya juga gue baru sadar kalau barusan itu… gue merengek? Harusnya gue nggak merasa asing. Ari udah menjadi teman dekat gue sejak gue baru MOS dan ingin daftar jadi anak Paskibra.
Gue banyak bertanya ini-itu ke dia ketika gue baru masuk ke organisasi itu. Dari gue masih manggil dia ‘Kak’, sampai dia meminta gue memanggil namanya ‘Rakha’—padahal setiap orang memanggilnya Ari. tapi sekarang gue sudah kembali asing sama dia. Jadi sedikit canggung kalau panggil Rakha lagi.
“Lo satu sekolah sama Leonita, Lang?” Mendadak, pertanyaannya itu membuat gue nggak fokus. Waktu terakhir gue bertanya sama dia apakah Leonita masih ada hubungannya sama dia, dia hanya diam, lalu menggeleng.
“Iya,” jawab gue singkat. “Lo mau sekalian gue salamin nggak?”
Nita adalah teman SMP gue yang juga menjadi pacar—mantannya—Ari, kebetulan, gue sampai saat ini, masih satu sekolah sama dia.
Kita dulu sedeket itu. Tapi karena ya… kita beda jurusan, entah kenapa semuanya nggak sama lagi. Bahkan gue nggak dia kasih tau soal asmaranya dia. Gue nggak berharap kalau gue harus tahu detail hidupnya Leonita kok, cuma bukannya kalau sahabat itu suka saling berbagi kisah?
Iya ‘kan? Gue juga begitu kalau sama Lili soalnya.
“Nggak usah.” Kemudian, kami sampai di sekolah dengan gue membawa jawaban Ari yang menurut gue, penuh ketergantungan.
Gue kenapa sih, Ri?
16/02/18
YOU ARE READING
Kekaburan Bayang-Bayang
Teen FictionKalau pemikiran kalian tentang SMA sesederhana: punya pacar, senioritas, pembodohan, perpeloncoan. Maka biarkan gue menceritakan banyak hal kalau dunia SMA... nggak 'sebersih' yang kita pikirkan.