Kaki yang gue biarkan diam seharian kemarin ternyata nggak mengubah apa-apa. Bengkaknya masih sama, dan nyerinya semakin luar biasa. Tetapi gengsi gue masih lebih dari ini.
Diakui atau nggak, gue adalah manusia kuno yang mengutamakan gengsi di atas segalanya. Gue tetap kukuh untuk nggak rongten dan berangkat ke sekolah dengan kaki terseok-seok.
Bahkan, gue menggantikan sepatu dengan sandal jepit karena kaki gue nggak bisa masuk ke dalam sepatu. Membuat gue menahan malu karena seharian ini teman-teman dan guru-guru nggak berhenti bertanya soal kaki gue.
"Kaki lo ngapa sih? Dimakan lele?" Dan manusia ajaib yang satu ini baru bertanya soal keadaan gue padahal tempat duduknya ada di belakang gue.
"Kesedot sapi!" jawab gue sebal.
"Ulu... malah ngambek, dia. Kamu minta aku notis ya?"
"Bagas gue tampol ya!"
Seharian ini mood gue benar-benar terjun bebas. Dari pagi, karena gue nggak bisa jalan kemana-mana, akhirnya Mas Gerald yang membuat masakan untuk gue yang artinya gue jadi luar biasa kesal karena itu artinnya gue butuh bantuannya. Lalu, ketika gue ingin berangkat sekolah dan meminta Lili untuk menjemput gue di rumah, dengan nyebelinnya dia berangkat sendiri ke rumah tanpa bawa kendaraan apa-apa, yang pada akhirnya, kita diantar Mas Gerald ke sekolah. Sampai gue yang nggak bisa jalan ke mana-mana tanpa tongkat sakti yang sukses membuat gue menyedot banyak perhatian.
"Lu balik sama siapa?" Nah! Itu dia. Gue udah berpesan sama Mas Gerald tadi pagi untuk nggak menjemput gue karena nanti gue bakalan ada PM tambahan dan nggak tahu balik jam berapa. Kali ini gue nggak bohong, meskipun alasan sebenarnya gue nggak mau dijemput adalah lain.
"Grab kali." Karena nggak mungkin gue balik pakai angkot. Palingan nanti Lili juga nemenin gue pakai Grab.
"Sok independen lo!"
"Jahatnya lambe," decak gue berlebihan.
"Lo mau ke ruang PM nggak?" Ya iyalah, Mas, pakai nanya lagi. Mungkin, kalau sedang nggak sakit, gue akan membalas se-sarkas itu, tetapi karena gue nggak mau kena laknat lagi, gue cuma mengangguk dan mengambil tongkat.
Yang lainnya masih betah di kelas, tetapi karena gue tahu diri jalan gue lama, gue bakalan berangkat lebih dulu dari mereka. Sambil mencangkleng tas, gue berangkat sendiri ke ruang PM yang syukur Alhamdulillah masih satu lantai sama kelas gue.
Dari depan, gue sadar kalau saat ini gue sedang ditertawakan Bagas karena cara jalan gue yang mirip pengantin sunat. Rasanya pengin gue bercandain balik aja deh tuh anak, tapi nggak mungkin bisa. Jalan aja gue susah, apalagi bercanda.
"Tinggal minta tolong sih Lang, susah banget." Tanpa aba-aba, dia mengambil tas gue yang kalau itu cukup berat, tangannya membantu gue buat berjalan.
Untuk pertama kalinya, gue melihat Bagas bukan lagi sebagai cowok kurang ajar yang sering manfaatin gue dan ngecengin gue. Kali ini, gue melihat dia sebagai sahabat yang siap membantu gue kala gue kesusahan.
05/04/2016
YOU ARE READING
Kekaburan Bayang-Bayang
Genç KurguKalau pemikiran kalian tentang SMA sesederhana: punya pacar, senioritas, pembodohan, perpeloncoan. Maka biarkan gue menceritakan banyak hal kalau dunia SMA... nggak 'sebersih' yang kita pikirkan.