Pagi-pagi, sambil menenteng tas berisikan paket-paket seberat dosa, gue sudah dikejutkan dengan penampakan Budi yang tiduran tengkurap di atas bangku kelas yang berjejer tiga.
Iseng, gue senggol kepalanya dengan dengkul supaya Budi sadar, lalu duduk di singgasana gue.
"Lo tuhhhh.... Agghhh Gilang, nggak tau ya, uhh, sakit." Budi benar-benar merengek seperti anak kecil. Gue kasihan sendiri ngeliihatnya. Dia nggak pernah begini sebelumnya. "Duuhh, si Ocit udah bangun aja lagi pagi-pagi, ya Allah...."
Serta-merta, gue langsung melotot dan terbahak-bahak nggak ketulungan. Tas Citra—teman sebangku gue—sudah nangkring di tempatnnya, tapi orangnya nggak ada. Kalau dia ada, pasti dia udah ketawa sampai guling-guling ngelihat kelakuan Budi.
Gimana ya, seandainya, cowok ganteng di kelas, tiduran tengkurap kayak yang tadi gue lihat dengan alasan begitu tuh... mantep. Hehehe.
"Ngilu nggak Bud?"
"Nanyak, lagi!!" Busehhh, ekspresif banget si Budi tuh kalau udah kesel. "Astaghfirullah. Turun ya, Cit. Sakit ini."
Bagas yang baru datang langsung melongo dan kayaknya langsung kepo sama celana Budi. Dia cuma ketawa, kayak gue lalu mengulurkan tangan buat high five sama gue.
Gue lagi mengeluarkan kotak makan untuk sarapan kedua ketika Bagas memilih duduk di sebelah gue. Dia kayaknya setakut itu sama yang begini-beginian.
"Bud, lu tuh, suka ngerasa bersalah nggak sih kalau ngomongin beginian sama gue?" tanya gue sambil menyuapi nasi ke dalam mulut.
"Ya nggaklah, gila. Kayak lu alim aja, sampe gue ngerasa bersalah," ucap Budi apa adanya. Kayaknya, alasan kenapa gue nggak pernah suka sama teman-teman cowok adalah: gue udah sehafal itu sama kebiasaan jelek mereka, dan gue nggak pernah merasa keki atau pun jiper.
Gue udah sampai ke tahap: tahu mereka berapa kali dalam sehari buang poop atau saat mereka minta PR gue di hari libur ke rumah dalam keadaan dua hari nggak mandi.
Lagipula, jadian sama temen tuh... nggak pernah terlintas sedikit pun dalam kepala gue untuk menjadikan salah satu dari mereka lebih dari teman. Pasti crowded banget deh seiyanya gue jadian dan terjadi apa-apa dalam hubungan itu.
Kayak... gue emang nggak pernah melarikan masalah gue ke mereka, namun, gue tetap butuh support saat gue jatuh. Kalau gue jatuh karena mereka, gue bakal dapet support dari siapa? Gue nggak bisa mellow-mellow gitu.
"Kok lo makan sambil megangin minyak angin sih, Lang?" Bagas yang masih betah duduk di tempat Citra, bertanya ketika gue mangambil minyak angin yang ada di kotak pensil.
"Karena... gue pengen."
"Kayak nini-nini lo!" Nggak cuma sekali gue dapat cemoohan begini dari temen-temen gue.
Minyak angin tuh... something aja buat gue. Gue selalu jatuh cinta sama aromanya setelah gue jatuh cinta sama wangi lavender. Gue bukan pecinta wangi vanilla. Vanilla emang wangi, tapi aromanya tuh nggak cukup nenangin buat gue. Mungkin aneh kali ya, kalau menurut orang-orang. Ya udah... toh, gue juga nggak ngerasa terganggu banget.
"Citra juga suka loh, sama wangi beginian," beritahu gue. Gue udah hafal apa aja yang temen-temen gue suka dan nggak meskipun kita nggak deket-deket amat. Lagipula, Citra baru aja duduk, jadi enak buat dijadiin candaan karena dia nggak tahu apa-apa.
"Uh..." Bagas menolehkan kepalanya ke singgasana Citra, karena dia baru aja diusir dari sana, yang baru membenahi roknya ingin duduk. "Citraa... lo suka minyak angin?"
Citra sempat bingung beberapa saat karena pertanyaan random itu. "Iya. Lo mau ngatain gue nini-nini kayak Gilang?"
"Oh, nggak dong lu mah." Gue geleng-geleng kepala karena gue rasa sebentar lagi Bagas akan mengeluarkan jurus menjijikannya. "Lo mau gue bikinin buket minyak angin nggak? lo minta berapa? Nanti gue kasih."
Serta-merta, gue mencubiti Bagas sampai puas. Kurang ajar banget sih ini anak. Hhh... ya Allah. Citra cuma ketawa-ketawa sambil ngelihat gue karena tahu gue lagi sebel parah sama Bagas. Citra nggak berniat buat mengejek.
Semua orang tau, Citra cantik dan sering dapat perlakuan beda dari cowok-cowok. Tapi dia nggak sombong dan humble parah. Kadang dia sering godain-godain cowok dengan niat bercanda. Dan yang digoda juga bukan cowok ganteng, melainkan cupu dan alim.
"Liat ya, lu Gas. Nantinya gue bakal punya suami general manager atau arsi sekalian, yang gantengnya serupa kayak Adipati Dolken!"
"Sakit, Nini!" Gue akhirnya berhenti menyiksanya. "Iya, tapi titisannya si Jaja noh! Yang udah SMA belom sunat!"
Kali ini gue menggebuknya dengan sarung yang ada di meja Budi.
27/01/'18
YOU ARE READING
Kekaburan Bayang-Bayang
Novela JuvenilKalau pemikiran kalian tentang SMA sesederhana: punya pacar, senioritas, pembodohan, perpeloncoan. Maka biarkan gue menceritakan banyak hal kalau dunia SMA... nggak 'sebersih' yang kita pikirkan.