Gue terkejut begitu Bagas masuk kelas dalam keadaan kerah leher yang udah lecek. Semestinya sih, nggak usah ya. raja tawuran seperti dia harusnya bisa dimaklumi kalau tiba-tiba keadaannya kacau.
"Woi," panggil Bagas setelah duduk di sebelah gue. "PR Kimia dong Lang."
Gue berhasil mengabaikan kekacauannya dengan memberinya buku tulis yang ia minta. Sudah seperti makanan sehari-hari kalau Bagas selalu mengandalkan gue kalau itu tugas.
Setelahnya, gue membuka kotak bekal dan memakannya sebelum pelajaran dimulai.
"Emang lo nggak pernah sarapan, Lang?" Anak sekelas—atau sesekolah—nggak ada yang tahu kalau sesungguhnya gue udah ditinggal lama sama Ibu.
Ya... habis, gimana. Mereka juga nggak nanya. Paling kalau pada main ke rumah juga cuma nanya, "Kok rumah lo sepi Lang?" Dan gue menjawab sesantai, "Lagi pada di luar." Jadi, mungkin, Bagas bertanya begitu karena mengira Ibu masih ada.
"Sarapan lah." Sarapan sudah menjadi kebiasaan gue dari kecil. Meskipun Ibu udah nggak ada, dan Mbak Nah cuma datang saat semua orang rumah sedang melakukan aktivitas rutin, gue tetap membuat sarapan sendiri—dan untuk saudara-saudara gue tentunya.
"Rakus lo, makan lagi."
"Namanya laperrr. Gue kan lapernya pagi doang. Kalo udah siang mending gue pake buat tidur." Hal yang membuat gue selalu jatuuh cinta sama kelas adalah, ruangannya yang mendukung muridnya untuk tidur. Kenapa ya, kalau di kelas itu, gue emang selalu ngantuk.
"Ihh, gimana sih, lo. Nggak boleh tau, makan telur sama ikan!" Gue kira, Bagas bakalan bercanda dengan ngomong, "Soalnya, nanti telur gue bakalan kurang satu." Seperti candaan slengean yang suka dia lontarkan, tapi ternyata enggak. Bagas seserius itu ngomongnya. "Ini kan makanan darat sama laut!"
"Yee... emang telur nggak ada di laut?" Gue nggak mengucapkannya dengan sok polos atau tertawa terbahak-bahak. Gue lagi repot pindahin barang-barang dari tas ke atas meja buat cari kertas instrument yang udah gue isi tadi malam.
"Apa ji—?" gue buru-buru memotong seblum dia melotarkan kalimat kurang ajarnya.
"Ya Allah Bagas. Omongan dongg. Lu sekolah dua belas tahun buat apa?" tanya gue sok-sok dramatis. Padahal mestinya gue nggak perlu kaget. Hell, yah, gue temenan sama banyak orang. Dan sifat mereka selalu bisa gue terima dengan mudah.
Dari yang alim ulama sampai sebengal Bagas dan Budi. Udah nggak aneh lagi.
"Buat ngecengin Citra."
Gue nggak menanggapi ucapannya barusan. Rasanya, meskipun dia ngomong begitu kayak bercanda, tapi menurut gue itu beneran.
Bagas ini, kerjaannya... gue bingung ya Tuhan... kerjaannya dia tiap sekolah ngapain. Kayak anak cowok SMA lainnya aja kali yaa.... Yang kalau ada guru PPL baru yang cantik, langsung lenjehnyaa nggak ketolong lagi. Kalau ada anak kelas lain yang sekiranya dia famous dan itu cantik, dia bakalan caper atau malah bikin ceweknya jiper. Yahh... meskipun seyogyanya ada event sekolah pasti nih anak yang disuruh maju duluan.
"Lang, bantuin gue buat puisi dong." Tanpa ragu sama sekali dia minta gue buat puisi.
"Lo kira gue pujangga?!" Gue jadi jengkel sendiri dimintain kayak begitu. Kenapa sih, Bagas itu sering melakukan hal-hal nggak berguna seperti ini.
Seiyanya, seiyanya gue adalah perempuan yang dikecengin Bagas, maka, gue memilih Bagas yang passionate dan suka menghargai waktu.
Like, seriously, gue memang nggak pernah sedemikian dipuja cowok. Satu-satunya panutan gue sejak dulu dalam urusan percintaan adalah Mas Gerald—sosok yang udah nggak pernah lagi gue lihat semenjak dia kabur dari rumah—dia nggak pintar, tapi dia selalu berusaha seimbang dengan perempuannya.
Ceweknya juga bukan cewek biasa. Meskipun nggak cantik, seenggaknya, punya pengaruh di sekolah atau lingkungan rumah. Cantik sih nggak, tapi bikin yang kenal sama si cewek ini nggak bisa ngalihin pandangan kalau udah kenal.
Atau... memang sebetulnya cewek memang suka dengan hal-hal remeh semacam puisi ya?
Seumur-umur, gue nggak pernah merasa dibegitu istimewakan menjadi cewek. Gue hanya pemeran pembantu atau cameo bahkan di kehidupan gue sendiri.Gue terkejut begitu Bagas masuk kelas dalam keadaan kerah leher yang udah lecek. Semestinya sih, nggak usah ya. raja tawuran seperti dia harusnya bisa dimaklumi kalau tiba-tiba keadaannya kacau.
07/01/17
Sound: Poison-Rita Ora
YOU ARE READING
Kekaburan Bayang-Bayang
Ficção AdolescenteKalau pemikiran kalian tentang SMA sesederhana: punya pacar, senioritas, pembodohan, perpeloncoan. Maka biarkan gue menceritakan banyak hal kalau dunia SMA... nggak 'sebersih' yang kita pikirkan.