TIGA

610 66 9
                                    

Seharusnya aku berakhir di kelas mengajari si kacamata bagaimana caranya mengedit foto. Seharusnya setelah pergi dari kantin itu, pikiran dan perasaanku bisa lebih tenang. Seharusnya aku tidak bertemu dengan lelaki yang pop-icenya terciprat ke bajuku. Seharusnya lagi, aku tidak menuruti permintaan lelaki itu untuk pergi bersamanya ke basecamp pecinta alam.

Ah, bodoh!

"Sorry ya, gue gak liat lo jalan di depan gue tadi," ucap Rey sambil menyodorkan sembarang sapu tangan yang ada di ruang itu. Aku tidak membalas ucapannya. Aku memilih menyibukkan diri mengusap noda coklat di baju putihku. Tapi percuma saja, noda coklat tidak akan hilang semudah itu.

"Oya, lo kemarin abis dari toilet kok gak balik ke meja lagi? Kenapa? Gue nungguin lo tau."

Mampus! Dia bahas makan malam kemarin.

"Eh—iya. Perut gue mendadak mules, dan lo tau sendiri gue gak suka boker di toilet umum. Jadinya gue pulang deh. Hehehe"

Aku menggaruk hidungku yang sama sekali tidak gatal sambil tersenyum canggung. Yah, bohong adalah pilihan yang buruk sebenarnya. Tapi mau gimana lagi.

"Biasanya juga boker di semak-semak lo, pake bilang gak suka toilet umum, elaah"

Apa? Boker di semak-semak?

"Yeee itu kan beda, Rey. Itu terpaksa. Mana ada toilet di hutan, di gunung. Ini kan beda. Cafe sama rumah gue gak jauh. Ya mending gue pulang lah," bela ku untuk diriku sendiri. Sialan banget si Rey pake banding-bandingin pas keadaan lagi jelajah. Mengungkit-ungkit aib ku ketika naik gunung beberapa kali kemarin.

Aku dan Rey satu ekskul, ekskul pecinta alam (PA). Kami, anak PA, sering mengadakan jelajah, berkemah di hutan, naik gunung, turun gunung, lewati lembah, udah mirip ninja hatori deh pokoknya. Dan diantara anggota PA, yang paling sering boker adalah aku. Selalu seperti itu. Sampai-sampai aku terkenal sebagai ratu boker di kalangan PA.

Jujur saja, aku sedih pada diriku sendiri karena hal memalukan itu. Tapi masa bodoh lah. Sering boker tidak akan menghalangi hobiku yang suka petualangan. Lagipula itu pertanda jika sistem pencernaanku sempurna. Yosh!

Pembelaan yang bagus, Jihan.

"Iya deh, iya. Dasar ratu boker," balas Rey sambil mengacak-acak rambutku.

STOOPPP, JANGAN BIKIN GUE BAPER LAGI!

Di tengah kebaperan yang mulai melanda, aku teringat soal ID Line Grace.

"Rey, lo kok udah tahu ID Line Grace? Padahal kan belum gue kasih kemaren." Tanyaku to-the-point. Rey yang tadinya santai minum dari botol plastik, jadi hampir menyemburkan air yang belum ia telan.

"Lo udah tau gue chat sama Grace?"

"Ya tau lah. Grace kan gak pernah nyembunyiin apapun dari gue."

Aku bohong. Faktanya Grace menyembunyikan tentang tembakan Kenzo. Atau mungkin masih banyak juga tembakan dari yang lain.

"Dia bilang apa aja tentang gue? Dia nunjukin chat gue ke elo? Lo baca isi chatnya?" Entah si Rey sadar atau tidak, dia terlalu antusias dengan hal itu sampai-sampai mukanya terlalu dekat ke arahku. Buru-buru aku tangkupkan tanganku ke wajahnya dan mendorongnya sejauh mungkin. Sebelum Rey sadar jika apa yang dia lakukan itu membuat pipiku memanas.

"Biasa aja, monyet! Muka lo gak perlu deket-deket juga. Yang tertib dong!" Rey cuma senyum-senyum gak berdosa. "Dia gak bilang apa-apa. Dia cuma tanya, lo itu beneran temen gue apa enggak. Dia pikir gue kasih ID Linenya ke elo. Tapi kan gue gak pernah ngasih ID Line Grace ke elo. Belum sih. Trus darimana lo dapet ID Line itu?"

Rey menggaruk rambutnya yang sepertinya ketombean. Ia menghindari kontak mata denganku. Ia terlihat berpikir. Seperti menimbang-nimbang sesuatu.

"Sebenernya, gue udah lama punya kontak Line Grace."

"Eh?"

"Waktu itu gue dapet dari temennya kakak sahabat gue. Gue tahu Grace juga udah lama. Waktu itu gue ketemu dia di cafe, dia hadir di ultah temennya kakak sahabat gue dan kebetulan gue diajak sama sahabat gue itu. Dan selama ini gue gak pernah berani chat dia duluan. Denger-denger dia itu cewek yang selektif, cuma bales chat dari orang yang dia kenal. Nah, gue? Kenal aja enggak. Tapi semua berubah sejak gue gak sengaja buka instagram lo. Banyak foto Grace sama lo di sana. Dari situ gue mikir, lo pasti deket sama Grace. Dan semakin menguat setelah gue lihat isi galery foto lo kemarin."

Aku semakin tidak mengerti kemana arah pembicaraannya.

"Trus? Setelah lo tau gue deket sama Grace, lo deketin gue gitu? Jadi selama ini lo udah tau Grace tapi kenapa kemarin lo sok-sok an nanyain siapa yang pake baju putih gitu ke gue? Apa-apaan coba maksud lo?"

Aku menatapnya tajam. Dia agak kaget dengan responku. Jujur saja, ini sudah mulai menyebalkan. Ini sudah membuatku seperti orang bodoh. Orang terbodoh di dunia. Dengan segala kebaperanku terhadap perlakuan dia, mengetahui fakta ini membuatku merasa seperti dimanfaatkan. Bukankah seolah-olah dia mendekatiku supaya bisa lebih dekat dengan Grace?

"Gue...g-gue..." Rey terus saja bilang gua-gue-gua-gue gak jelas. Aku tahu dia tak akan bisa menjawab pertanyaanku. Tentu saja tidak bisa karena semuanya sudah jelas. Apa lagi yang harus diperjelas. Dan itu semakin membuatku benci.

Seperti kebanyakan lelaki di luar sana yang maunya sekali mendayung dua tiga cewek tergebet, begitulah Rey di mataku saat ini. Terlebih, Rey gak bisa kasih penjelasan yang masuk akal. Dan itu semakin meyakinkanku bahwa dia sengaja melakukan hal ini. Menyembunyikan segalanya di belakangku dan mengambil manfaat dariku.

Segera saja aku meninggalkannya tanpa mengucapkan apapun atau bahkan mendengar penjelasannya. Aku masih bisa mendengarnya memanggil-manggil namaku, tapi aku segera berlari menjauh.

*****

Jihan yang sabar ya. Cowok mah kadang gitu.

Terima kasih buat kalian yang baca cerita ini. Apalagi yang kasih vote dan komen-komen yang bikin hati gue tumbuh bunga.
Baca cerita gue yang lain juga boleh :)
Cek aja di work ku ya.

09012018

Pretty UglyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang