ENAM

560 50 3
                                    

Aroma buku menyeruak ketika aku memasuki toko buku. Aroma khas yang selalu kuhirup ketika pertama kali membuka buku baru. Setidaknya cukup untuk menenangkan pikiran, dengan suasana hening-santai ala toko buku. Ditambah alunan lagu-lagu akustik dan klasik yang membuat rileks.

Lihat komik ah.

"Han, gue ke sana ya. Lo mau kemana?" Tanya Laila. Ia menunjuk ke arah buku psikologi. Ah, terlalu berat.

"Gue ke komik ya. Sapa tau ada yang plastiknya kebuka. Jadi bisa gue baca." Ucap gue sambil cengengesan. Laila cuma tersenyum dan kita segera pisah arah.

Beruntung area komik dekat dengan kaca samping. Dari situ aku bisa melihat keluar, ke arah hujan yang mulai lebat. Ke mobil-mobil yang berhenti di perempatan depan. Ke deretan pertokoan di seberang jalan. Ke cafe yang di dalamnya terlihat laki-laki dan perempuan duduk sambil menikmati kopi hangat dan berpegangan tangan.

Tunggu, aku kenal mereka.

Sangat jelas mereka masih berseragam batik khas sekolahku. Meskipun seragam si perempuan tertutupi jaket denim, tapi aku kenal tas yang di sandarkan di belakang kursinya.

Itu Grace dan Rey sedang berpegangan tangan di atas meja.

Mataku tidak bisa lepas dari genggaman mereka. Aku bisa melihat tatapan Rey pada Grace meskipun hujan mengaburkannya. Grace diam saja tangannya digenggam Rey padahal mereka baru kenal beberapa hari. Grace beberapa kali tersenyum ketika Rey berbicara. Aku bisa membayangkan ekspresi cantik Grace saat tersipu.

Aku teriak, tapi tak bersuara.
Aku memaki dengan mulutku, tapi tak ada suara yang keluar. Aku kesal, mencoba meninju angin, tapi aku dikatakan gila oleh anak kecil di belakangku.

Oke, gue emang gila.

Untuk kesekian kalinya aku melihat kearah mereka lagi. Kali ini, mereka sudah keluar dari cafe, memakai jas hujan couple, saling memakaikan helm lalu Rey menarik tangan Grace agar berpegangan padanya ketika sudah diatas motor. Lalu motor itu melaju kencang membelah hujan.

Membelah hatiku.

Untuk kesekian kalinya juga aku menghela napas dan menghembuskannya keras. Mataku mulai berembun. Lalu setetes air jatuh di pipi ku. Aku bahkan masih menatap kearah motor itu menghilang.

"Jihan, lo udah belom?" Laila tiba-tiba saja datang dan membalikkan badanku. Dia terkejut.
"Jihan? Lo nangis?" Tanyanya histeris. Otakku masih lambat, bahkan untuk mengusap air mataku yang sudah menetes.

"Ini?" Ucapku sambil menyapu air mata di pipiku. "Ini tadi kejatohan air dari atas. Bocor deh toko bukunya. Payah banget toko buku gede gini bocor, ckckck. Mana gue mendadak pilek begini."

Aku pura-pura bersin. "Gue kedinginan kayaknya."

Aku nyerocos saja sambil meninggalkan Laila yang masih menatapku tak percaya.

"Bang, toko bukunya bocor tuh. Yang deket jendela." Ucapku pada mas-mas penjaga toko buku agar Laila percaya kalo aku gak bohong. Mas tadi langsung kearah yang aku tunjuk dan terlihat celingukan. Tentu saja celingukan bingung. Sampai lantainya berubah jadi kristal juga gak bakal ketemu bocornya disebelah mana. Aku segera mengambil tasku di penitipan tas dan keluar duluan ketika Laila masih membayar bukunya.

*****

Update lagi, update terus, semoga pembacanya makin banyak.

Terima kasih masih bersama Pretty Ugly. Cerita tanpa pembaca mah apa atuh~

13012018

Pretty UglyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang