LIMA

567 54 2
                                    

Aku benci statistik. Aku benci menghitung. Apalagi menghitung berapa banyak tukang PHP yang sudah merusak hidupku, berapa mean dan mediannya.

Mengapa statistik selalu menanyakan tentang hubungan dan perbandingan? Bagaimana hubungan antara kenaikan harga bahan bakar minyak dengan tingkat pendapatan tukang becak, bagaimana hubungan antara banyaknya Pekerjaan Rumah (PR) dengan peningkatan kecerdasan siswa, bagaimana hubungan antara aku dengan semua ini?

Kepalaku tidak kuat lagi menopang beban hidupnya, jadi kubiarkan meja membantu meringankan.

"Jihan?" Sebuah suara membangunkanku. Aku mendongak dan mendapati si pesek sedang memandangiku dari balik kacamatanya.

Aku mengatur dudukku sementara si pesek meletakkan bukunya dan duduk di sampingku. "Lo kok sendirian? Mana Laila?"

"Bisa nggak, fokus sama yang di depan mata aja? Gak perlu nyariin yang nggak ada." Terpaksa, aku harus menatap lagi tugas statistikku.

Cowok berkacamata yang biasa kusebut pesek bernama asli Juno. Aku sering menggodanya karena dia sangat pendiam dan misterius. Dia tidak banyak bicara sekalipun downloadannya yang berukuran 800MB tak sengaja ku cancel padahal sudah 99%.

Sama seperti sekarang. Ia memilih beralih dan tidak mencercaku lagi dengan pertanyaan tidak penting. Tidak seperti Dilan kemarin.

Aku memandang tugas statistikku jenuh. Berkali-kali aku mengubah posisiku agar lebih nyaman, tetapi nihil.

"Butuh bantuan?" tawar Juno. Dia melirik bukuku sekilas. "Statistik kan?"

Aku mengangguk. Dia beralih dari bukunya.

"Oh, korelasi..." Dia mulai mengajariku perlahan. Perlahan pula otakku mendapat pencerahan. Tak berapa lama kemudian, aku sudah bisa mengerjakan soalku lagi.

"Gue tau, lo ada masalah."

Singkat, padat, dan mengejutkan. Aku tidak tau harus merespon seperti apa. Aku menghentikan aktivitasku. Begitu juga dengan dia.

"Gue emang pendiem, tapi bukan berarti gue gak peduli sekitar gue. Gue melihat, menganalisis dan menyimpulkan."

Aku tidak menoleh sama sekali ke arah Juno. Tatapanku masih lekat pada bukuku, tapi tidak dengan pikiranku.

"Ngomong apa sih lo, No." Aku mencoba bersikap biasa saja.

"Gue gak akan memaksa lo untuk cerita. Tapi gue akan senang jika lo mau cerita dengan terbuka ke gue. Setidaknya, dengan begitu gue tau kalo lo nganggep gue sebagai temen."

Juno kembali fokus pada bukunya, meninggalkanku dengan segala perasaan yang bercampur. Aku tetap diam dan rumit dengan pikiranku sendiri.

Belum usai aku menenangkan pikiran dan perasaanku, Juno sudah angkat bicara lagi.

"Ntar lo pulang sendiri gak? Pulang bareng yuk." Ajak Juno.

"Gue udah janji sama Laila mau nganterin dia ke toko buku hari ini, No. Sorry," jawabku. Juno cuma mengangguk dan fokus ke bukunya lagi.

Juno dan aku tinggal di komplek yang sama. Rumahnya jarak 4 rumah dan bersebrangan dari rumahku. Rumahnya diujung pertigaan, sementara rumahku berada hampir di ujung gang.

Aku baru mengetahuinya ketika pertama kali satu kelas di kelas sebelas. Waktu itu aku berpikir Juno adalah penguntit. Saat aku berbalik dan mengomelinya karena ketahuan banget mengikutiku, dia dengan datarnya menjawab, 'Ngapain gue ngikutin elo? Lagian ini rumah gue.'
Aku tak percaya begitu saja sampai akhirnya dia membuka pintu rumahnya dan disambut oleh pemilik rumah. Sejak hari itu, aku selalu malu jika berpapasan dengan Juno.

Tapi entah bagaimana takdir membawa kami hingga kami akrab dengan sendirinya hingga sekarang.

"Kalo gitu, ntar malem aja gue ke rumah lo. Katanya lo mau ngajarin gue ngedit foto."

Aku menoleh kearahnya.

"Biar mancungan ye?" tanyaku sedikit menggoda. Tanpa banyak bicara, Juno langsung menyentil dahiku keras.

"Aw!" Aku mengusap-usap dahiku.

"Mentang-mentang mancung." Dia kembali fokus ke bukunya, sementara aku masih kesakitan. Aku terkekeh sesaat. Juno masih saja datar.

"Makanya kalo punya hidung itu dipupuk, dipelihara, biar mancung. Sini gue pencetin biar mancung."

Belum sampai aku meraih hidungnya, Juno sudah mencekal tanganku.

"Daripada elo. Punya otak gak pernah dipupuk sama belajar. Korelasi gampang kaya gini aja pusing." Bukannya aku yang menarik hidung Juno, justru Juno yang menarik hidungku sangat keras.

"Junoo!" Teriakku tanpa sadar.

"Ssshhtttt!! Kalo pacaran jangan di perpus. Di luar sono. Bikin berisik aja." ketus seseorang di dekat meja kami. Aku beranikan mengitarkan pandangan ke sekeliling. Hampir semua orang melihat ke arah kami. Termasuk penjaga perpus di ujung sana yang mengintip dari balik komputernya.

Suara gue keras banget ya?

Segera kupasang muka merasa bersalah dan kembali fokus ke bukuku. Aku melirik sekilas ke arah Juno. Dia senyum geli.

Awas aja Juno, tunggu pembalasanku.

*****

Belom bosen kan? Semoga gak bosen baca ceritanya.

Makasih vote dan komennya. Sangat membantu untuk meningkatkan mood gue buat nulis.

11012018

Pretty UglyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang