SEBELAS

645 51 9
                                    

Sejak kejadian di restoran cepat saji kemarin, jarak antara aku dan Dilan mulai terasa. Itu bagus. Karena kini Dilan sudah berani mendekati Riri tanpa harus mendekatiku dulu. Dengan begitu, aku jadi bisa lebih menikmati kesendirianku.

Aku tersenyum kecil melihat perkembangan Dilan. Mungkin seharusnya gue kayak gini. Jangan terlalu deket sama lawan jenis, biar gak kebaperan atau apapun itu yang membawa fitnah.

Aku melihat Jihan's Angel dan Dilan asyik mengobrol. Sekarang jam kosong. Daripada aku semakin larut dalam perasaan tak berguna, lebih baik aku menghabiskan waktu di perpus, membaca tutorial photoshop. Aku harus mempertahankan gelarku sebagai master photoshop. Aku gak mau kalah dari Juno.

Suasana di luar kelas sepi. Ya karena yang lainnya sedang dalam jam pelajaran. Semuanya tenang, semuanya tentram. Pikiranku mulai sedikit tenang, menikmati langkahku menuju perpustakaan. Lalu tiba-tiba seseorang menepuk pundak kiriku. Aku menoleh ke kiri tapi tak ada orang. Begitu aku menoleh ke kanan, kaleng minuman dingin mencium pipiku.

"Anjrit dingin!" Aku memegangi pipiku.

Di sebelahku, siluman raja kera tertawa terpingkal-pingkal.

"Dilan! Lo apaan sih!" Aku masih sibuk mengusap-usap pipiku yang kedinginan dan basah. Sialan emang Dilan. Seneng banget jahilin orang.

"Muka lo aneh, sumpah." ucap Dilan masih tertawa. Dilan sialan! Ingin ku lempari dia dengan suriken dan melemparnya ke dalam gunung berapi.

Daripada aku mengomel gak jelas, kutinggalkan saja kera jahil itu. Bukannya pergi, Dilan malah mengekor padaku.

"Lo mau kemana?" tanyanya.

"Perpus." singkatku.

"Wah, sama dong." balas Dilan antusias.

Aku berhenti. Kupandangi Dilan dengan tatapan 'seriously?'
Dilan? Ke perpus? Bisa langsung bersin-bersin. Dia kan alergi aroma perpus.

"Lo kan alergi debu perpus." kataku datar.

"Tenang." Dilan mengeluarkan masker dari dalam sakunya lalu memakainya. "Gue udah gak alergi. Yok!"

Seharusnya aku yang meninggalkan Dilan dan pergi ke perpus duluan. Tapi sekarang coba lihat. Dilan yang sok-sokan itu pergi menuju perpus dan meninggalkanku di belakang.

Tuh anak sehat kan?

***

Aku mencoba setenang mungkin karena diriku yang sebenarnya sudah ingin perang sejak tadi. Bagaimana tidak. Dilan itu ganggu banget. Baca buku gak bisa diem. Mulutnya itu sambil komen gak jelas. Belum lagi dia gak bisa duduk tenang. Ambeien kali ya.

"Hah? Phobia sama matahari? Nih orang mau jadi vampir kali ya. Masa iya dia gak mau keluar rumah? Gak mau sekolah? Gak mau kencan? Gak mau beli cilok kang asep di perempatan situ? Etapi enak juga sih gak usah sekolah hahaha."

Lama-lama aku juga bisa murka.

"Bisa diem gak?" Aku memberinya tatapan membunuh tapi dia malah cengengesan.

"Gak bisa," ucapnya sambil tertawa. "Abisnya lo serius mulu dari tadi. Gue mau ambil perhatian lo susah amat."

"Perhatian gue? emang penting?"

"Penting. Soalnya gue mau curhat penting sama lo," tegas Dilan.

Dilan? Curhat? Ini menarik.

"Curhat apaan?" tanyaku.

Bukannya segera menjawab pertanyaanku, jelmaan raja kera itu justru senyum-senyum gak jelas.

"Iihh..apaan sih? Lo mau curhat kalo lo mengidap penyakit kejiwaan? Itu sih gue udah tau dari dulu."

Sekarang ganti aku yang senyum-senyum sementara si Dilan dongkol.

"Yeee bukan! Tapi gue mau curhat kalo gue..." Dia senyum-senyum lagi. "Kalo gue...." Dilan cekikikan.

"Buruan ih apaan. Gue guyur lo pake debu perpus kalo lo gak segera ngomong," ucapku sebal.

"Kalo gue mau nembak Riri." Dilan mengatakannya setengah berbisik malu- malu.

Mata ini melotot secara spontan. "Hah? Serius?" kataku sedikit histeris.

Dilan mengangguk penuh antusias. Aku masih shock. Aku diam, melongo, gak tau harus merespon seperti apa. Aku sampai heran kenapa otak gue lemotnya minta ampun.

"Gue mau minta tolong sama lo, Han. Bantuin gue nyampein perasaan gue ke Riri. Gue janji gue gak bakal ganggu lo lagi. SE-LA-MA-NYA."

Dilan menatapku penuh. Aku meliriknya. Aku masih gak nyangka Dilan akan secepat ini nembak Riri. Tapi itu bagus sih. Setidaknya siluman raja kera ini gak akan ganggu ketentramanku lagi. Seperti janji yang barusan dia katakan.

"Beneran ya lo gak bakal ganggu gue lagi dengan mulut lo yang bacot itu?" tanyaku memastikan.

"Ya Allah, gue dibilang bacot." Dilan mengelus dada. "Gue janji deh. Gue bakal lakuin apaaaapun yang lo mau."

Gue tersenyum. Kesepakatan bagus.

"Trus lo mau gue ngelakuin apa? Apa rencana lo? Lo udah tentuin dimana lo bakal nembak? Jangan nembak lewat chat. Gak modal banget jadi cowok." cerocosku tanpa jeda.

"Bentar. Tanyanya atu atu." Dilan membetulkan posisi duduknya. "Gimana kalo kita mulai dengan... ngedate!"

Gue gak ngerti. "Maksudnya? Lo mau ngerencanain date special gitu? Buat nembak si Riri?"

Dilan geleng geleng. "Rencana ngedate pertama."

Entah Dilan yang oon atau aku yang terlalu overreact. Ekspresi Dilan itu mengisyaratkan bahwa gak perlu malu kalo belom pernah ngajak ngedate orang yang udah di PDKTin selama 1 semester.

"JADI SAMPE SEKARANG LO BELOM PERNAH NGEDATE SAMA RIRI?"

Dilan buru buru membungkam mulutku yang sangat tidak bisa woles. Gimana bisa woles. Dilan udah PDKT ke Riri sejak awal semester ganjil. Sampe ganti semester dan dia belom pernah ngedate, itu kan kebangetan. Apa Dilan sebego itu buat deketin cewek? Gue kira semua cowok itu buaya. Bisa deketin banyak cewek sekaligus.

Kecuali Si Juno. Kayaknya dia gak tertarik sama cewek deh.

Kami bersamaan melihat sekitar. Banyak tatapan menghakimi semacam "dasar tukang caper" atau "norak banget." atau "bego apa bodo sih? Udah tau perpus. Sok cari perhatian pasti."

Well. Cuma dengan melihat mata saja aku bisa mendengarkan kata hati mereka.

"Lo bego ya? Ngomong asal ngegas aja." cetus Dilan sambil melepas tangannya dari mulutku.

"Ya elo itu yang bego. Selama ini lo ngapain aja sama Riri? Niat PDKT apa gak sih? Disamber orang duluan tau rasa lo."

"Berisik ya lu," Dilan memeriksa keadaan sekitar lagi, "Riri tuh susah tau. Tiap gue gombalin, dia mentahin. Tiap gue ajak jalan, dia selalu ada kegiatan di club voli. Kalo gak voli, club yang lain. Gue sampe bosen ngajaknya. Seolah olah dia gak ngasih gue celah."

Dilan terlihat hampir putus asa.

"Tapi lo gak nyerah kan?" tanyaku memastikan.

"Enggak. Gue malah makin penasaran gimana caranya naklukin Riri." jelas Dilan.

"Bagus." Singkatku.

"Cuman..." Dilan menjeda omongannya "Gue gak ngerti gimana cara ngajak dia jalan."

Dilan menenggelamkan kepalanya diantara lipatan tangan di atas meja. Harus kuakui, Dilan saat ini terlihat menyedihkan. Dia terlihat putus asa. Lucunya, Dilan menampakkan semua itu di hadapanku. Sedikit aneh, karena biasanya laki-laki tidak pernah menunjukkan kelemahannya di hadapan cewek.

Apa itu artinya Dilan benar-benar percaya dan anggap gue sahabatnya?

"Mau gue kasih tau cara deketin Riri?" ucapku. Dilan segera menarik kepalanya dan melihat ke arahku. "Gimana caranya?" tanyanya.

Aku tersenyum. "Traktir gue bakso dulu. Baru gue kasih tau."

***

Aloo aloo. Pretty Ugly lanjuutt.
Jihan jadi mak comblang nih. Siapa yg pernah jadi mak comblang juga kayak Jihan? Cung ah!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pretty UglyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang