13 | Jealous of the Rain

1.2K 198 46
                                    

Note:
Datangnya hujan tak perlu izin. Pun perginya.

Satu bulan telah berlalu dari jangka waktu tiga bulan. Hebatnya, Kei merasa rutinitasnya tidak berubah. Pagi setelah aktivitas pribadinya telah selesai, Kei membuat sarapan sekaligus menyuapi Vee. Kemudian mengantar Vee 'bekerja' ke kantor. Selama waktu siang sampai sore Kei menghabiskan waktu dengan membereskan ruangan Presdir yang bolak-balik diacak-acak Vee. Sesekali Jun datang memantau, meminjami Kei buku-buku ekonomi, mengomeli Vee dengan sia-sia, lantas pergi lagi dengan kesal. Sekala juga datang tetapi diam tak bicara. Hanya Haru yang tersenyum mahfum di sampingnya. Mbak Jul, Firman, Pak Asadi dan Risna yang juga anggota tim project malah tak pernah nampak batang hidungnya. Kei sudah pesimis dengan kelompok absurd ini. Rasanya tak mungkin misi mereka mengakuisisi Golden TV akan berhasil.

"Veedyatama Regan!" Panggil Kei dengan sisa-sisa energi setelah memunguti pesawat kertas yang terserak di penjuru ruangan karena V sedang senang menemukan kegunaan lain dari kipas angin jumbo di pojokan.

"Hadiiir." Pria itu mengacungkan tangan tinggi-tinggi layaknya anak sekolah yang diabsen kehadiran.

"Mau sampai kapan main-main kayak begini?!" Kei mengembuskan napas jengkel. "Nasib perusahaan warisan kakek kamu terancam, kamu malah main kapal-kapalan."

"Ini pesawat Kekei, bukan kapal!"

Kei mendelik sewot mendengar jawaban kekanakan Vee. "Kapan kamu ngurusin project?! Bener nggak sih Jun bilang kamu tuh lulusan MBA?!"

"MBA." Vee mangut-mangut, membeo.

"Iya, kamu inget nggak?" Setitik harapan Kei muncul. Didekatinya Vee yang duduk di kursi Presdir, masih membuat origami pesawat kertas. "Kamu ini MBA lho! Tau kan MBA?"

"Tau dong!" Vee mengepalkan tangan, kelewat bersemangat. Kei ikut mengepalkan tangan di atas meja. Sungguh berharap Vee kembali normal walaupun sebentar saja.

"MBA Esih kan? Mbak Esih ada di rumah, Kekei."

Kei menjatuhkan kepala ke meja. Pupus sudah harapannya.

"Ah Vee bosan!" Si Big Boy merentangkan tangannya. Lantas berdiri, celingak-celinguk mencari hal lain yang bisa dia mainkan.

"Vee ayo dong! Masa sih kamu nggak inget sama sekali?! Kalau di film-film tuh peran utamanya bakalan inget di saat-saat genting. Ini tuh genting Vee genting! Ngerti nggak? Masa aku kudu jedotin dulu supaya kamu sadar?"

"Siapa yang mau kamu jedotin?"

Kei serta merta menoleh ke arah sumber suara lain yang muncul dari ambang pintu.

Nyonya Sarah, yang lama tak pernah pulang ke rumah tahu-tahu muncul di kantor.

"Nyo... Nyonya." Kei berdiri canggung. Bingung bukan buatan.

Sementara si Nyonya melenggang masuk. Tampilannya masih semodis yang Kei ingat pada pertemuan pertama mereka. Wajahnya masih cantik di akhir 40-an, namun ada kilat asing yang bahkan membuat Kei merinding di tempatnya.

"Mau apa?" Tanya Vee ketus, tangannya sibuk mengotak-atik rubik yang ia temukan di laci meja. Sementara ibu tirinya duduk di sofa di tengah ruangan.

Bumblevee (KTH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang