5. PEMBIMBING MURID

220 13 2
                                    

Hari ini harusnya berjalan dengan mulus dan menyenangkan. Nilai tes mata pelajaran bahasa Indonesiaku mendapatkan hasil yang memuaskan. Untuk merayakannya, aku ingin membuat live di Instagram-ku yang followers-nya kini sudah mencapai 18.000 lebih pengikut. Ketika aku berjalan menuju kelas Nanda untuk mengajaknya menemaniku live Instagram, Bu Anne, guru bahasa Indonesiaku memanggilku. Singkat cerita Bu Anne ingin agar aku menjadi salah satu pembimbing murid.

Pembimbing murid adalah siswa yang dipilih secara khusus oleh pihak sekolah untuk membimbing murid yang diduga mengalami kesulitan belajar supaya mendapatkan nilai lebih baik. Biasanya pembimbing murid memiliki nilai akademis di atas rata-rata dan kemampuan bersosialisasi baik. Contohnya Leah, temanku di The Bellas yang sudah seminggu belakangan menjadi pembimbing murid bernama Wanda. Kata Leah, menjadi pembimbing murid sungguh sangat melelahkan meskipun guru-guru jadi akan semakin mengenalmu, tapi tak ada kompensasi yang sepadan untuk itu.

"Tapi, Bu ...," ujarku dengan nada keberatan. "Kayaknya di kelas saya masih ada Mutia deh yang bisa ngelakuin itu."

"Mutia kan kurang pintar bersosialisasi," kata Bu Anne. "Meski nilai-nilainya sangat bagus, kalau untuk membimbing murid lain, rasanya dia nggak bisa. Sebenarnya kuncinya kan komunikasi, Syan."

"Terus, misalkan saya bersedia, Bu, siapa murid yang harus saya bimbing?"

Wajah Bu Anne langsung mengernyit. Dengan ragu-ragu ia berkata, "Um ... kamu tau Arashi? Rashi anak 10-8?"

"Yang anak pindahan dari Jakarta itu? Yang jarang masuk terus suka ngancem anak-anak lain yang ganggu dia?" cerocosku panik.

"Iya, Syana, bantu Arashi, ya ...." Bu Anne mencomot tanganku dan menggenggamnya. "Syana itu selain pintar kan juga cantik. Pasti cowok luluh, nggak akan galak-galak sama orang cantik."

"Ha-ha," tawaku terdengar mengambang dan begitu kering. Dalam hati kubilang: kalau cowok normal sih mungkin, tapi kalau cowok semengerikan itu, siapa yang tahu coba dia diam-diam nggak membawa senjata!

Maksudku, bagaimana kalau dia kemudian kesal dengan cara mengajarku dan menusuk ginjalku pakai pisau yang sudah disembunyikannya di dalam kaos kakinya? Bagaimana kalau dia juga menawariku narkoba? Bagaimana kalau dia memaksaku bergabung ke sekte sesatnya? Bagaimana kalau aku ditumbalkan kepada iblis yang dia sembah? Bagaimana coba?!

"Oke, ya, Syana ...." Suara Bu Anne mengempaskan pikiranku yang sudah melayang semakin jauh.

"Bu, apa nggak ada murid lain selain dia?" cicitku. "Saya bisa kalau ngajar orang macam Wanda, dia cuma malas, nggak psycho kaya si Arashi itu. Lagian, menurut desas-desus, alasan dia pindah ke Bandung kan--"

"Syana," Bu Anne memotong ucapanku dengan sorot mata menegur. "Nggak baik menghakimi orang yang belum kamu kenal."

Aku menghela napas. "Kalau saya bersedia mengajar dia, apa Ibu bisa menjamin keselamatan saya?"

Bu Anne malah tertawa padahal aku mengatakannya dengan sangaaaat serius. "Iya, Ibu jamin."

"Dan keselamatan keluarga saya," tambahku cepat-cepat.

"Iya, Syana, ya ampuuuun ...."

"Oke, deh," desahku jengah. "Hari Selasa dan Kamis jam pulang sekolah selama satu jam, kan?"

"Tempatnya bisa di sekolah atau kalian tentuin sendiri."

Aku nyengir kaku. "Di sekolah. Titik. Dan kalau bisa, dekat sama pos satpam. Biar kalau dia macam-macam, Pak Narto bisa langsung nembak dia!"

Mendengar pernyataanku, Bu Anne langsung geleng-geleng kepala. "Mana ada satpam sekolah yang dikasih pistol. Udah, kamu baik-baik bimbingin Arashi, Ibu doain semoga kalian cocok jadi partner belajar. Udah ya, Ibu masuk ke ruang guru dulu."

Miss Always RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang