3. REVENGE PART X

212 12 4
                                    

Secara resmi, kediaman Utari di daerah Setiabudi adalah basecamp utama kami. Tapi, jika kami sedang mood berlama-lama di lingkungan sekolah, biasanya sepulang sekolah kami menghabiskan waktu di Toko Grunge. Sebenarnya nama tokonya, Toko Bintang, tapi karena Teh Wati yang punya toko di sana berdandan agak nge-rock, kami memanggilnya Teteh Rocker dan secara otomatis kami menyebut tokonya jadi Toko Grunge.

Hanya anak kelas sepuluh seperti kami yang nongkrong di tempatnya Teh Wati. Para senior lebih senang nongkrong di tempat yang letaknya lebih dekat dengan sekolah dan dekat jalan utama. Bukannya kami tidak suka lokasi basecamp yang strategis, hanya saja kami pikir di tempat yang jarang dikunjungi murid lain akan membuat kami lebih mudah mendominasi. Kami tak ingin mengikuti tren yang sudah ada di sekolah kami, The Bellas adalah tren itu sendiri.

Rencana kami buktinya berhasil. Dalam tiga bulan, tempat Teh Wati menjadi cukup terkenal di kalangan murid-murid di sekolah sebagai markas The Bellas, tempat di mana kami bersantai dan bergosip dengan camilan yang disediakan di toko Teh Wati. Mobil Mazda CX3 merah Utari dan Toyota Yaris silver Melissa menjadi armada tetap kami. Mobil yang juga menjadi ciri khas di depan toko Teh Wati, bahwa keenam anggota The Bellas sedang standby.

Hari itu, seperti hari-hari yang lain, kami berdelapan nongkrong di toko Teh Wati sepulang sekolah. Melissa yang masih jengkel denganku duduk di ujung, menjauhiku. Meski duduk jauh, tapi aku berkali-kali mendapati ekor matanya melirik pada bros, tas dan jam tangan baruku. Syukurin ...!

Utari satu-satunya yang tampak tak enak dan serbasalah di hadapan Melissa. Aku tahu aku salah dengan memanfaatkannya menjadi narasumber. Tapi, aku juga percaya pembalasan atas perlakuan semena-mena Melissa selama ini juga penting dilakukan. Bukannya aku mau mengkudeta Melissa saat itu juga, dengan menunjukkan apa yang bisa kulakukan untuk membuatnya merasa tak berdaya. Tapi, salah satu tujuanku selain membalas sikap buruknya memang untuk itu: aku ingin menjadi nomor satu. Untuk menjadi nomor satu, semua orang tahu aku harus menyingkirkan pemilik tempat nomor satu.

Belum lama kami di sana, aku melihat sebuah mobil Land Cruiser hitam parkir di seberang toko. Kami semua tahu persis siapa pemilik mobil tersebut. Cowok jangkung itu turun, gagah berjalan menghampiri kami. Kulihat senyum Melissa mengembang, tapi dalam dua detik senyum itu juga tumbang.

Naufal menghampiriku. "Mau cabut sekarang?" tanyanya sambil tersenyum menawan padaku.

Teman-temanku tampak kebingungan dengan sapaan itu. Mereka memandangku, kemudian Naufal dan kembali memandangiku. Aku sengaja mengabaikan pandangan mereka semua. Aku memang tidak menceritakan rencanaku yang satu ini pada siapapun. Hal nomor satu yang harus kautahu tentang The Bellas: jangan memercayai siapapun di antara kami. Kami semua brengsek kalau kami punya tujuan. Bahkan Abel temanku yang jarang komentar, dia juga bisa berubah jadi Voldemort dan membunuh kami semua dengan Avada Kadavra kalau dia punya tujuan khusus.

"Yuk," balasku sembari berdiri. "Girls, aku jalan dulu, ya."

"Ke mana, Syan?" tanya Nanda kagum bercampur penasaran.

"Jalan aja," jawabku santai.

Ini dia, inilah saatnya aku melihat seperti apa reaksi Melissa. Cukup satu kilas pandang saja, aku sudah tahu kalau tak ada siapapun di sana, Melissa akan melompat ke arahku dan menusukku dengan pulpen.

Satu alis Melissa yang diukir begitu presisi dengan satu set alat pembentuk alis Anastasia Beverly Hills tampak naik tajam, melengkung sempurna seperti celurit yang kalau bisa disabitkan untuk melukaiku, sudah pasti akan ia lakukan. Bibirnya berkedut seperti tersengat listrik. Aku tahu, biasanya ia begitu pandai mengendalikan ekspresinya, tapi saat ini, wajah martirnya mencair sudah. Aku sudah melumatnya.

Miss Always RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang