10. SARANG MONSTER

241 10 5
                                    

Sudah sinting pasti aku ini. Sudah gila. Gila, gila, gila betulan. Karena sekarang, aku sedang naik taksi online menuju alamat yang dikirimkan Bu Anne lewat Whatsapp. Mantel cashmere-ku mendadak terasa panas dan membuat punggungku gerah berkeringat, jadi kucopot dan kumasukkan ke dalam tas. Namun, meski sudah melepas sweter dan meminta supirnya menaikkan AC-nya, saat kuraba punggungku, aku masih juga berkeringat. Kali ini keringatku terasa dingin dan mencekam. Kupikir selama ini aku bisa mengendalikan metabolisme tubuhku dengan pikiran yang kubuat positif, nyatanya otakku yang kusut begitu selaras dengan jantung gugupku. Koordinasi keduanya lebih mampu mengendalikan saraf simpatisku.

Ketika aku barusan pamitan pada teman-temanku, kulihat bibit Melissa sedikit berdenyut-denyut waktu kubilang aku tidak bisa ikut jalan hari ini. Aku tidak mungkin mengabaikan ekspresinya itu. Itu ekspresi puas dan kesenangan Melissa yang sudah kuhafal dan kukenal betul. Ekspresi sama yang lahir di wajah Melissa ketika Nanda mengaku kalau berat badannya naik 2 kilogram dan saat Utari bilang kalau rambutnya mendadak ketombean parah.

Ah, sudah. Bukan saatnya memikirkan seperti apa bahagianya Melissa karena rencananya terkabul--semua orang menghiburnya meski sebenarnya ia tidak butuh-butuh amat dihibur. Melissa senang kalau dia membuat rencana dan semua orang dengan begonya menurut-nurut saja. Ia suka mengendalikan, maka selama aku ada, aku bersumpah, tugasku adalah merusak programnya kejinya. Program menginvasi pikiran orang-orang dengan ucapan dan sifat manipulatifnya.

Taksi online yang kutumpangi berhenti di mulut sebuah jalan kecil. Si driver agak tidak yakin kalau jalan kecil itu bisa dilewati tipe mobilnya (Toyota Avanza) dengan mudah. Karena menurutnya jika ada motor atau mobil lain dari arah berlawanan, tentunya pengaturan majunya akan sangat rumit dan menyulitkan.

Akhirnya aku terpaksa turun di jalan kecil itu. Sebetulnya itu bukan jalan sepi, banyak warga kulihat berdiri mengobrol dengan tetangga di seberang-seberang jalan. Tapi tetap saja, aku agak tidak yakin untuk melanjutkan perjalanan. Dan menurut Google Maps yang ada di ponselku, aku masih harus berjalan sekitar seratus meter kemudian berbelok ke kiri, ke jalan yang lebih kecil. Tunggu, apa itu sebuah gang?

Menyusahkan saja.

Seratus meter kulewati dengan susah-payah di bawah terik matahari. Sweter cashmere-ku kujadikan pelindung kepala terasa sama sekali tak membantu. Kakiku tersengat matahari dan tasku yang memuat banyak buku terasa lima kali lebih berat karena aku memang tak ingin cepat-cepat sampai ke rumah cowok itu.

Kulihat ada warung di belokan jalan sebelum gang. Baiklah, di sana aku bisa membeli sebotol air mineral dan permen untuk memperbaiki mood. Kurapikan juga rambut dan menepuk seluruh wajahku dengan spons bedak.

Saat itulah seorang nenek yang memakai daster menyapaku.

"Mau les di rumah Pak Guru Ray Prasetya, ya?" tanyanya. "Tuh, yang itu rumahnya Pak Guru Ray mah." Si nenek menunjuk ke arah seberang jalan, ke rumah berpagar putih yang ada mobil sedan hitamnya.

"Eh, bukan, Bu," kataku. "Ini saya mau ke rumahnya Pak Wawan. Yang nomer delapan."

"Ke kos Pak Wawan?"

"Kos?"

"Iya, kalau Pak Wawan kan yang punya kosan di Gang Alit." Nenek itu menunjuk gang di depan. "Mau ke siapa?" tanyanya lagi.

Aduh, kepo banget, sih!

"Mau ke ... Arashi. Dia temen sekolah saya--"

"Pacar?"

Tak sadar aku berjengit. "Ya, bukanlah, Bu--" tapi aku segera berdeham dan menurunkan nada tinggiku-- "saya disuruh guru ngasihin tugasnya. Dia lagi nggak bisa sekolah soalnya."

Miss Always RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang