"Kaka berangkat, Assalamualaikum." Teriaknya, sambil menuruni anak tangga rumahnya tanpa menunggu balasan salam dari sang Ibu maupun sang Ayah.
Cowok berhidung mancung itu melangkah sambil sesekali merapikan seragam putih abu-abunya. Satu gang lagi untuk sampai ke jalan raya, menaiki angkutan umum yang akan mengantarkannya ke sekolah.
***
"Wah pagi amat lo datangnya, kayak anak pinter aja yang rebutan kursi paling depan." Kata cowok bermata sipit yang kini berdiri disamping cowok berkulit sawo matang tersebut.
Mendengar kalimat tersebut, cowok berkulit sawo matang itu menoleh. "Kok lo tau?"
"Apanya?" tanya si mata sipit dengan tampang bingung.
Cowok berkulit sawo matang itu berdiri, menatap serius wajah si cowok sipit yang sekarang berada dihadapannya, "kok lo tau kalau gue datang cepet buat rebutan kursi. Lo dukun yah?" Tunjuknya pada cowok bermata sipit.
"Elah, dari jaman old sampai jaman now semua orang juga tau kali, kalau tiap awal semester siswa-siswi bakal bela-belain datang ke sekolah sepagi mungkin cuman buat rebutan kursi paling depan." Jelasnya tanpa menatap si kulit sawo matang.
"Oh iya, kok gue lupa yah!" ucap si kulit sawo matang sambil cengengesan.
"Kebanyakan makan micin sih lo Ka, makanya pikun," Ucapnya sambil mendaratkan bokong di samping kursi Kaka yang terletak di bangku kedua dari depan sebelah sudut kiri.
"Sialan lo Dan, lo kira gue generasi micin." Umpat Kaka menoyor kepala Dante dengan telapak tangan kirinya, membuat kepala empunya miring ke kiri.
Tidak terima dengan perlakuan Kaka padanya, Dante berniat membalas Kaka dengan mencekik lehernya, namun belum sempat Dante melakukan keinginannya Pak Burhan selaku wali kelasnya tiba-tiba memasuki kelas dengan tampang sangar seperti biasanya, tak lupa kumis tebal yang menjadi ciri khasnya tak luput dari pandangan seluruh penghuni kelas XManajeman1 termasuk Kaka dan Dante.
"Gila, auranya mistis banget." Ucap Kaka sambil melipat kedua lengannya.
"Lo pikir yang masuk itu hantu!" Balas Kaka tanpa menoleh, dan terus memperhatikan Pak Burhan yang berjalan ke meja Guru.
"Lebih dari hantu sih, ini. Soalnya auranya lebih menakutkan, Uhh.." Ucapnya sambil menggoyang-goyangkan kedua lengannya ke segala arah.
Mereka berdua pun cekikikan tanpa sadar telah menjadi tontonan satu kelas termasuk Pak Burhan yang sudah menatapnya seperti daging siap di santap. "Kalian berdua sini," panggilnya dengan lambaian tangan kanan.
Sambil menoleh ke segala arah, Kaka dan Dante mencari siapakah sosok gerangan yang di panggil oleh Pak Burhan, sampai akhirnya telunjuk Pak Burhan mengarah kepada mereka berdua.
"Saya pak?" Tanyanya serentak.
"Bukan!" jeda lima detik. "Yaiyalah kalian berdua ... siapa lagi yang dari tadi cekikikan selain kalian. Sini!" Panggilnya sambil menunjuk Kaka dan Dante
"Mampus." Itu Dante yang berucap, sambil terus melangkah menghampiri Pak Burhan.
"Apa yang tadi kalian tertawakan?" Selidik Pak Burhan sambil berkacak pinggang.
Dante membuka mulut, berniat menjawab, namun tiba-tiba Kaka bersuara. "Itu Pak, kan hari Senin Siswa-siswi baru termasuk kami berdua, rambutnya harus di plontos. Nah ... berhubung ini pertama kalinya Saya dan Dante akan berambut pelontos, saya berinisiatif memotong rambut seperti Upin dan Ipin biar Bapak dan Ibu guru serta teman-teman semua bisa membedakan kami berdua," jedanya sambil mengaitkan lengannya di leher Dante. "Soalnya kan kita berdua rada mirip, nanti cakepnya ketuker kalau model pelontosnya sama Pak, makanya kita ketawa ngebayanginnya," senyumnya mengakhiri kebohongannya.
Seketika kelas menjadi ricuh, menyoraki betapa narsisnya cowok bernama Kaka itu, yang akan menjadi teman kelas mereka sampai akhir semester.
Namun tak cukup semenit, kelas tiba-tiba hening kembali, saat Pak Burhan bersuara lagi.
"Kamu pikir saya percaya?"
"Saya gak mikir bapak bakalan percaya, soalnya percaya sama omongan manusia itu musyrik pak."
Dante menoleh menatap Kaka tak habis pikir, masih benarinya anak itu bercanda disaat Dante merasa tubuhnya tak dapat bergerak gara-gara tegang menatap wajah Pak Burhan yang sudah memerah.
Dengan sekali tarikan nafas, Dante menetralkan ketegangannya sambil menyenggol tubuh Kaka menyampaikan lewat bahasa tubuh menyuruhnya untuk diam.
Kini kesabaran Pak Burhan telah habis. Jika terus seperti ini, murid yang ada di hadapannya ini akan menghabiskan waktu mengajarnya hanya untuk mendengarkan ucapan yang menurutnya tidak berfaedah sama sekali.
"Kalian berdua, lari di lapangan sampai mata pelajaran saya selesai." Perintah Pak Burhan dengan suara yg menggelegar seantero kelas hingga urat-urat lehernya menonjol.
Dante melotot, ingin protes. Tapi nyalinya menciut saat melihat Pak Burhan masih menatap mereka berdua seperti seekor tikus yang siap diterkam binatang buas. Sampai akhirnya Dante hanya bisa menghela nafas pasrah dan berbalik menghadap pintu kelas sebelum melangkah keluar, sedangkan Kaka hanya mengangguk, menurut sambil berjalan keluar kelas.
***
Kalau suka jangan lupa tinggalkan jejak. Vote and Komend, Terima kasih 😘
"15 Januari 2018"
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN
Teen Fiction"Saat masa remajaku harus menjadi korban, atas kerasnya hidup yang tak main-main." - Kaka Maulanaskara . . . . . . . Bismillah, Ini Cerita pertama jadi mohon maaf jika masih banyak kesalahan dan typo, soalnya baru belajar.