07

840 74 11
                                    

Hari ini cuaca tidak seperti biasanya. Jika kemarin-kemarin matahari selalu bersinar indah di atas langit, hari ini tidak, ia diselimuti awan berwarna ke abu-an yang menandakan cairan bening akan segera menyerang bumi, membasahi seluruh permukaan bumi beserta isinya.

Tak lama berselang suara rintik-rintik hujan pun mulai terdengar. Kaka bergegas, melirik sebentar jam yang ada di pergelangan tangan kirinya, pukul 06.30 WITA, masih ada waktu setengah jam sebelum bel masuk berbunyi, ia pun mengambil sepatu lalu mengenakannya.

Setelah merasa penampilan nya sudah cukup rapi, ia pun mendongak menatap butiran-butiran bening yang menurutnya semakin lama semakin merbondong-bondong menyerang bumi tempatnya berpijak saat ini.

Satu menit berselang, Kaka masih pada posisi nya, menatap butiran-butiran bening itu tanpa bergeming, namun bukan berarti ia menyukainya, tidak sama sekali, ia hanya sedang berfikir, apakah harus menerobos butiran-butiran bening itu, yang pastinya akan membasahi dirinya saat berlari menyusuri gang tempat ia sering menunggu angkutan umum atau ia menunggu saja hingga hujannya sedikit redah? Tapi sampai kapan? Ia bisa-bisa terlambat sampai ke sekolah. Ya, walaupun sebenarnya ada keringanan waktu jam masuk untuk para siswa maupun para guru dan staf, jika cuaca sedang seperti ini. Namun Kaka mencoba untuk tidak terlambat lagi kali ini, ia sudah cukup sering terlambat, jangan sampai menjadi kebiasaan, ia tidak menginginkan itu.

Akhirnya, dari lima menit menimang-nimang, Kaka pun memutuskan untuk menerobos butiran-butiran bening tersebut.

"Kaka berangkat, Assalamualaikum." Pamitnya, berlari menyusuri gang sambil memegangi tas-nya yang ia jadikan payung darurat, sebagai pelindung kepala.

Sesampainya di pinggir jalan, Kaka berteduh di depan sebuah ruko, mengusap-usap lengan seragamnya yang lumayan basah sambil menunggu angkutan umum arah sekolah nya.

Namun sepertinya angkutan umum hari ini lumayan padat. Terbukti dari lima menit ia berdiri pada posisinya tak ada satupun yang berhenti di hadapannya, walaupun Kaka sudah melambaikan tangan.

Inilah salah satu keistimewaan butiran-butiran bening yang dikatakan hujan, 'pembawa rejeki yang tak terduga' yang biasanya siswa-siswi memakai kendaraan beroda dua ke sekolah, hari ini kebanyakan dari mereka lebih memilih naik angkutan umum. Supir angkot pun harus bersyukur akan hal itu, selain pemasukan yang bertambah, kemacetan pun jadi berkurang.

Satu menit berselang, akhirnya mobil angkot berwarna kuning yang sedari tadi di tunggu Kaka berhenti pas di hadapan nya.

Setelah duduk sempurna di atas angkot, Kaka melirik satu persatu penghuni yang ada di dalam nya, sudah ia duga, gara-gara hujan angkot pun padat.

Berselang sepuluh detik, kegiatannya terhenti lantaran seseorang di belakangnya seperti mencolek lengan nya. Kaka pun memutar badan,

"Ama?" Ucapnya reflek menutup mulut, lantaran suara nya yang mungkin terlalu keras membuat seisi angkot menoleh menatap mereka berdua, namun sedetik kemudian kembali seperti semula.

"Loh kok bisa?" Tanya Kaka entah pada siapa. Ia masih takjub, dari sekian banyaknya angkutan umum kenapa hari ini ia bisa satu angkot dengan gadis yang berstatus sebagai pacar nya tersebut.

Ama tertawa, "bisa kenapa?"

"Bisa se-angkot, padahal nggak janjian," ucap Kaka menjawab pertanyaan Ama.

"Takdir, mungkin?" Tebak Ama lebih seperti pertanyaan.

Kaka hanya tertawa mendengar jawaban gadis berhidung mancung yang saat ini berada di samping kirinya tersebut.

"Seragam kamu basah?" Tanya Ama meraba pundak Kaka lalu mengusap-usap nya dengan tisyu yang sempat ia ambil dari dalam tas ransel yang ada di pangkuannya.

BROKENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang