09

789 63 9
                                    

Tak

Kaka mengaduh sambil menegakkan badan saat merasakan kepalanya di timpuk sesuatu.

"Ah siala--" umpatan Kaka tertahan di udara saat melihat Dante duduk disebelahnya sambil melepas tas punggung yang ia kenakan. Sepertinya sohibnya itu baru datang, tanpa sapaan, senyuman,  bahkan melirik pun enggan, dan ini pertama kali nya Dante seperti itu padanya.

"Apa Dante benar-benar marah sama gue? Apa pertemanan kita harus berakhir gara-gara cewek?" Pikir Kaka dalam hati.

Cukup lima detik memperhatikan Dante, Kaka kembali tersadar, celingak-celinguk mencari siapa pelaku yang sudah berani menimpuknya tanpa berperasaan. Kepalanya benar-benar dibuat sakit lantaran timpukan benda keras tersebut, walau bentuknya terasa kecil dan tumpul.

"Nyari apa lo?"

Kaka memutar badan mengarah ke sumber suara. Apa iya tidak salah dengar? Itu suara Dante, mungkin?

"Lo nyari apaan sih?" Dante mengulangi pertanyaannya, menatap Kaka yang sepertinya tampak bingung, entah apa yang saat ini ada dalam pikirkannya.

"Lo ngomong sama gue?" Tanya Kaka menunjuk diri sendiri.

Dante mengerutkan kening. "Yaiyalah sama lo, masa sama tembok."

Kaka tersenyum, tapi bukan karena ucapan Dante yang dianggapnya lucu melainkan karena ia senang, ternyata Dante masih mengajaknya berbicara.

"Ngapain lo senyum-senyum gitu, bikin merinding," ucap Dante terdengar judes.

Tapi walaupun begitu Kaka tetap senang, setidaknya Dante masih menganggapnya teman.

"Lo nggak marah sama gue?" Tanya Kaka was-was.

"Buat?"

"Yang kemaren!"

"Oh."

Kaka melirik sinis Dante, bukan jawaban seperti itu yang Kaka harapkan.

"Cuman oh doang?" Tanya Kaka lagi, merasa tidak puas.

"Terus apa?" Dante balik bertanya sambil terus memainkan benda persegi yang ada di genggamannya.

"Apa kek!" Ucap Kaka mulai jengah melihat Dante yang sepertinya biasa saja, sedangkan dirinya dari tadi merasa canggung sendiri.

"Lo minta penjelasan nuntutnya ngalahin cewek aja."

Mendengar ejekan tersebut tidak membuat Kaka angkat suara, ia tetap diam menunggu lanjutan ucapan Dante.

Dante melirik Kaka sebentar saat merasa ucapannya tidak direspon oleh cowok berhidung mancung yang sekarang posisinya sedang melihat keluar jendela. Sepertinya Kaka benar-benar memintanya untuk serius.

"Gue ngak marah soal kemaren. Lagian itu hak lo kalau mau mutusin Ama apa ngak, walaupun gue emang sempet suka sama Ama tapi bukan berarti gue punya hak buat ngelarang lo mutusin dia. Kemaren gue cuman kaget aja, tiba-tiba lo mau mutusin anak orang tanpa sebab yang jelas. Tapi setelah denger penjelasan lo, gue jadi ngerti dan mungkin kalau gue yang ada di posisi lo, gue belum tentu bisa seberani lo ngambil keputusan serumit itu, gue salut." Penjelasan Dante selesai, cowok bermata minimalis itu tersenyum lebar sambil mengaitkan lengannya pada leher Kaka saat melihat Kaka hanya meliriknya sekilas.

"Jadi gimana? Lo udah mutusin Ama?" Tanya Dante lagi.

"I-iya," jawab Kaka ragu, lantaran ia memutuskan Ama hanya via chat, apa itu bisa dikatakan putus? Entahlah, ia benar-benar tidak punya keberanian untuk memutuskan Ama secara langsung, pengecut memang dan Kaka akui itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 21, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BROKENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang