JIHOON menunduk diam setelah mendengar berita yang Dokter katakan padanya beberapa menit yang lalu, Orangtua Jihoon memilih untuk berbicara dengan Dokter di ruang pribadi sang Dokter hendak menanyakan lebih lanjut mengenai kondisi Jihoon. Keheningan yang tercipta membuat Kuanlin tidak tahu harus bereaksi bagaimana, tentu saja dirinya ingin bertanya mengenai apa hal yang terjadi saat ini—namun melihat keadaan Jihoon yang lebih shock tentu saja membuat Kuanlin menahan diri.
Pandangan Jihoon terlihat kosong, di hari yang begitu dirinya tunggu terjadi membuatnya ingin merutuki takdir yang membawanya pada kenyataan bahwa dirinya telah hancur tanpa bekas. Tidak ada yang bisa dirinya lakukan untuk memutar balikkan waktu, padahal kebahagiaan yang selama ini dirinya harapkan bisa terjadi di hari ini. Bayangan mengenai bagaimana Kuanlin yang akan menjadi sumber kebahagiaannya kini diam seribu bahasa, sementara itu sosok baru itu sama-sama merasakan kegelisahan yang sama, namun ketenangan yang ada pada orang itu berbeda dengan ketenangan yang Kuanlin miliki.
Jihoon benar-benar ingin menerjang sosok itu dan membunuhnya dengan kedua tangannya sendiri. Hubungan dan seluruh mimpi yang Jihoon dan Kuanlin bagi selama ini menjadi begitu sia-sia, seolah-olah takdir sedang menertawakan Jihoon yang begitu percaya diri mengenai dunia yang berputar mengitarinya. Jihoon membenci sosok itu, namun Jihoon sadar, semua ini tidak akan terjadi jika saja malam itu dirinya tidak memerintah Daniel untuk menyentuhnya.
Kedua orangtua Jihoon kembali ke ruangan Jihoon dengan raut wajah yang sulit, Kuanlin bisa menangkap sisa airmata di peluk mata Hyungseob. Pertanda bahwasannya, semua yang terjadi saat ini bukanlah tipuan apalagi mimpi, Kuanlin kembali melempar pandangan pada sosok Jihoon. Terluka. Benar, baik Jihoon maupun Kuanlin terluka pada kebenaran kali ini.
Kuanlin dengan cepat bangkit dari posisinya dan memohon pamit pada Woojin, Ayah dari Jihoon. Hyungseob mendekat ke arah Jihoon lalu menggengam tangan Jihoon sambil mengelusnya pelan, meskipun Jihoon sadar kalau airmata akan segera jatuh dari manik mata hitam Ibunya. Jihoon juga ingin menangis, dirinya ingin menyumpah serapahi Daniel yang dengan bodohnya masih bertahan di dalam ruangan penuh keheningan dan sarat akan elegi.
"Ibu tidak tahu bagaimana hal ini bisa terjadi, tapi Ibu ingin Jihoonie bersikap sabar dan berlapang dada. Anak yang ada dalam kandunganmu harus lahir ke dunia, dia tidak salah apapun oke? Kita akan merawatnya bersama."
Jihoon terdiam memandang wajah Ibunya, tidak pernah dirinya menyangka kalau Ibu yang begitu marah pada Jihoon saat Jihoon ketahuan pergi ke pesta untuk merayakan ulang tahun salah satu temannya dengan meminum bir hingga mabuk, kini bersikap begitu pengertian pada Jihoon yang telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Airmata yang sejak tadi tersangkut di kerongkongan Jihoon akhirnya jatuh, memperlihatkan betapa hancurnya Jihoon saat ini. Seluruh pertahanan dirinya telah runtuh, segala upayanya untuk menolak kenyataan dan menyalahkan takdir telah usai. Bayi di dalam rahimnya tidak memiliki salah apapun untuk berada di dalam sana, Jihoon tidak berhak menyalahkan anaknya yang bahkan tidak tahu menahu mengenai hal apa yang terjadi pada Ibu dan Ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2]Because We're Not In Love [NielWink][√]
Фанфик[Omegaverse content] Jihoon tidak suka dengan tetangga barunya, bukan hanya berisik, tetangganya itu juga selalu mabuk-mabukan di tengah malam. Jihoon yang merupakan mahasiswa semester akhir tentu saja butuh ketenangan untuk mengerjakan tugas-tuga...