Waktu awal

330 9 0
                                    

------Jadwal Rutin Kayla Kecil------

05.00 : Bangun pagi.

05.01 : Mandi.

05.21 : Salat subuh.

05.40 : Menyapu halaman.

06.00 : Masuk kembali ke dalam rumah.

06.02 : Sarapan, tersenyum dan bersikap layaknya tidak terjadi hal apapun di depan papa.

06.30 : Papa berangkat kerja.

06.31 : Mencuci piring.

06.50 : Menangis dan memanggil-manggil nama bunda.

07.00 : Berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki.

14.30 : Mengerjakan tugas-tugas rumah.

16.15 : Diomelin mama tiri as nenek sihir.

16.30 : Diancam nenek sihir agar tidak mengadu pada papa.

16.35 : Menyapu halaman bersama bi Asih.

16.45 : Bi Asih berkata, 'Semua akan indah pada waktunya, kamu hanya perlu menikmati prosesnya.'

17.00 : Ketemu nenek sihir. Diomelin lagi, dipukul lagi.

19.30 : Papa pulang kerja.

Jadwal rutin yang coba kuperlihatkan di atas adalah sebagian besar hal-hal yang aku lakukan setiap hari, bukti bahwa aku tidak pernah mempunyai waktu untuk bermain bersama
teman-teman walau hanya sekadar saling sapa dan bersenda gurau.

Nenek sihir, tanpa perlu kuceritakan, kalian sudah pasti tahu siapa dia, bukan?

Terkadang otakku selalu bertanya-tanya, kenapa hidupku persis seperti kisah dongeng sebelum tidur—Cinderella yang selalu didongengkan Bunda untukku dulu? Kenapa aku
harus merasakan semua rasa itu? Hidup layaknya di sinetron dengan nenek sihir sebagai majikannya.
Cinderella punya peri, ia bisa meminta apa saja yang diinginkannya, tapi aku? Hanya untuk beristirahat lima menit setelah pulang sekolah saja rasanya mustahil.

Terkadang aku ingin, ingin sekali merasakan hal itu, melepaskan tawa, saling berkejaran di lapangan yang luas dan bermain bersama dengan anak-anak seusiaku, kadang aku juga berpikir, kenapa aku tak seberuntung itu? Kenapa aku tak bisa merasakan itu—yang bahkan bagi orang-orang sangat mudah dilakukan, tapi kenapa tak cukup mudah untukku?

Terkadang juga ketika aku sedang menyapu halaman bersama Bi Asih, aku sering melihat anak-anak seusiaku sedang bermain, bermain apa saja yang mudah dijangkau
mereka. Sebut saja bermain gambar, kelereng, petak umpet dan beragam permainan sederhana lainnya. Rasanya aku ingin berlari menembus gerbang hitam itu dan ikut bergabung bersama mereka, tapi apalah daya, itu tak cukup mampu kulakukan.

Satu..dua..tiga.. kamu yang jaga!’

‘Itu dia! Dapat!’

‘Satu..’

‘Aku nomor dua.’

‘Aaah, dasar kamu licik.’

‘Pak Polisi, Pak Polisi numpang tanya, sebentar..’

Begitulah kira-kira suara yang rutin setiap hari kudengar, teriakan kekesalan, tawa perempuan dan lelaki kecil yang terdengar lugu di telinga.

Coba katakan padaku bagaimana
mungkin aku tidak ingin berkumpul bersama mereka? Bagaimana mungkin keinginan untuk
menembus gerbang itu tidak kuat?

Kaylaaaaa, sini kamu! Dasar anak tidak tahu diri!”

Teriakan dan perkataan menyakitkan itu juga setiap hari kudengar, teriakan menyeramkan bersamaan dengan tawa mereka. Membuatku muak dan kadang ingin berontak.

Tapi, papa menyekolahkanku agar aku menjadi anak terdidik, ia ingin aku menjadi anak yang baik. Mencoba melawan nenek sihir itu sama saja aku tak jauh berbeda dengannya, itu sama saja dengan usaha papa yang bekerja untuk menyekolahkanku sia-sia.

Setiap hari, setiap detik, setiap saat aku merasakannya hingga aku tak tahu berapa lama lagi takdir akan berpihak padaku.

Sampai tiba-tiba, aku bertemu dengannya, lelaki kecil yang datang padaku membawaku ke tempat yang tak pernah kurasakan sebelumnya, lelaki kecil yang datang membawaku ke dunia yang tak pernah kupijaki sebelumnya.

10 WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang