2. 2 Waktu

217 8 0
                                    

Pada akhirnya, anggukan lemah Bi Asih berhasil membawaku keluar melewati gerbang hitam rumahku, karena saat ini aku sedang berjalan beriringan bersama Fairel.

Ya! Anak lelaki itu mengenalkan dirinya padaku sebagai Fairel. Ia membawaku ke sebuah taman bermain, taman luas yang tidak terlalu jauh dari rumahku, di sana juga terdapat banyak anak-anak yang sedang bermain, seperti sepak bola, layang-layangan dan sejenisnya.

Saat aku bertanya mengapa dia membawaku ke tempat yang dekat dari rumahku, Fairel menjawab,

"Aku hanya ingin bermain denganmu, bukan menculikmu."

Dan saat itu juga aku tahu, bahwa Fairel adalah teman yang baik.

Fairel berjalan ke sudut taman-di mana di sana terdapat seorang pemuda tidak terlalu tua yang sedang duduk di atas rumput dengan berbagai macam bentuk layangan di sisinya. Pemuda itu menjual layang-layangan yang memang khusus diperuntukkan untuk anak-anak di taman ini-mengingat tempat ini terlihat lumayan ramai yang diisi oleh anak-anak seusiaku juga orang dewasa yang tak lupa untuk ikut memainkannya. Fairel kembali ke hadapanku dengan membawa sebuah layang-layang di tangannya lengkap dengan satu buah benang berwarna merah, dia menyerahkan benda itu kepadaku untuk kami terbangkan bersama-sama.

"Kamu membelinya?" tanyaku waktu itu.

Fairel mengangguk antusias. "Ya, sekarang ayo kita terbangkan benda ini bersama-sama. Dan kamu," tunjuknya padaku, "kamu pegang ujungnya. Aku akan berdiri di sana."

Fairel berlari kecil dengan membawa gulungan benang itu dan berhenti tepat di ujung dengan jarak yang tak terlalu dekat denganku. Helaian rambut kucir kudaku berterbangan seirama di belakang akibat punggungku yang menghadap arah datangnya angin. Kakiku sedikit berjinjit dengan mengulurkan satu tanganku setinggi-tingginya ke atas yang masih memegang kertas layang-layangan itu agar memudahkan Fairel untuk bersosialisasi dengan uluran benang yang dia pegang.

Dibantu dengan tempat dan suasana yang tepat, juga embusan angin yang bertiup sepoi-sepoi, tak butuh waktu lama untuk aku dan Fairel dengan mudah menerbangkan layangan-layangan tersebut. Dia mengulurkan benang berwarna merah yang saat itu dia pegang dengan intensitas yang lebih banyak lagi, sehingga membuat layangan itu terbang menjelajah semakin tinggi.

Sejenak aku tertawa melihat Fairel yang tampak kewalahan menarik ulur benang tersebut, saat itu angin memang semakin lama semakin berembus cukup kencang, membuat benda yang berasal dari kertas itu mengambang lincah diterpa angin.

"Kamu mau mencobanya?" tanya Fairel waktu itu, matanya sedikit menyipit menatapku akibat sinar matahari yang sedikit mengintip.

Sejujurnya aku tidak mau, aku sedikit sungkan untuk melakukannya. Tapi entah mengapa wajah dan kepalaku seolah berkhianat, sebab dengan mudahnya kepalaku mengangguk dengan wajah yang tampak antusias menanti gulungan benang tersebut.

Mungkin, karena aku ingin merasakan hal baru yang belum pernah kucoba...?

Fairel menyerahkan gulungan benang itu ke hadapanku, aku langsung menerimanya dengan antusias. Kepalaku mendongak menatap ke atas langit di mana tempat layangan kami berada. Mataku sedikit menyipit akibat paparan sinar matahari pagi, namun semua itu tak menyurutkan semangatku untuk tetap bergulat dengan benang serta kertas berbentuk persegi yang saat ini sudah menjulang tinggi di atas langit.

Ini menyenangkan, luar biasa. Sebelumnya aku tidak pernah bermain-main seperti ini. Ini kali pertama dalam hidupku bergulat bersama benda ringan yang dengan ajaibnya bisa terbang melayang dengan bebas di atas langit biru. Andai aku bisa menjadi seperti layang-layang yang saat ini sedang aku mainkan, bisa terbang melayang bebas, mengiringi angkasa, juga bisa...

Dekat dengan Bunda.

Tanpa terasa setengah jam sudah aku bermain layang-layangan dengan dibantu Fairel yang tetap setia mengkomando di sebelahku. Saat itu aku jelas tahu bahwa permainan yang aku mainkan masih begitu terlalu amatir. Wajar saja, itu kali pertamaku memainkannya. Jadi aku tetap mendengarkan perkataan-perkataan Fairel yang memintaku untuk tetap menjaga keseimbangan terhadap layangan tersebut, atau ketika Fairel mengatakan jangan terlalu terlena dengan tarikan benang yang ditarik terus menerus.

Hingga tidak sampai sepuluh detik sejak ucapan Fairel keluar dari bibirnya, aku melotot kaget di tempatku berdiri ketika tali kekang yang saat ini berada di tanganku telah menipis, benang merah itu semakin lama semakin menipis dan berakhir habis tak tersisa. Semua itu akibat aku yang tidak sadar karena sudah terlalu antusias bermain.

Ya Tuhan...

Napasku tercekat di tenggorokan, kepalaku kontan saja menoleh-menatap Fairel yang saat itu tengah mendongakkan kepala memandangi tak rela layang-layangannya dengan mulut yang masih menganga.

"Fairel! Maafkan aku. Layang-layanganku-oh tidak tidak, layang-layanganmu hilang, Bagaimana ini?!" Aku menatap Fairel dengan sorot mata menyesal. Sungguh aku benar-benar tidak sadar telah berkali-kali mengulurkan benang itu sehingga saat ini layangan tersebut semakin lama semakin menjauh hilang dari pandangan kami.

Fairel menoleh, dia sedikit mengeluarkan desahan. Kemudian matanya menatap kembali ke atas langit dengan tatapan tak rela melihat layang-layangnya telah pergi menjauh.

Aku menunduk. "Maafkan aku, Fairel, aku-" Baiklah, aku bahkan sudah ingin menangis saat ini.

Saat teringat sesuatu, aku langsung mendongakkan kepala dengan sedikit pengharapan yang kuyakini tercetak jelas di wajahku. "Fairel, ayo." Aku menarik tangan Fairel untuk segera beranjak meninggalkan taman. Namun seolah tak memerdulikanku, bocah kecil itu tetap diam tak bergerak. Aku kembali menoleh menatap wajahnya yang sulit diartikan.

"Kamu mau membawaku ke mana?" tanyanya.

"Bodoh, mengejar layang-layang itu tentu saja!"

Aaah, aku sudah menghilangkan kertas layang-layangnya, dan sekarang aku bahkan mengatainya bodoh. Dasar Kayla! Tidak tahu diri.

Fairel menggeleng, "Tidak perlu!"

"Lalu?"

"Biarkan saja, lagipula kita sudah puas memainkannya, sekarang aku masih memiliki mainan yang tak kalah menarik." jawab Fairel waktu itu dengan sedikit senyuman di bibirnya.

"Benarkah?"

Fairel mengangguk antusias. "Ya."

"Jadi kamu tidak marah karena aku menerbangkannya dan kita kehilangan layang-layangan itu?" tanyaku memastikan.

"Tidak, kamu tenang saja, aku masih bisa membelinya lagi. Tapi sayangnya aku sudah bosan, aku ingin bermain permainan yang lain." ucapnya polos sembari mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.

Helaan napasku terdengar lega.

Aaah syukurlah, Fairel tidak jadi marah kepadaku sehingga aku tidak akan kehilangan teman bermainku satu-satunya.

10 WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang