1. 1 Waktu

235 7 0
                                    

Pada hari libur ketika membersihkan halaman dan menyiram tanaman bersama Bi Asih, tepatnya pukul delapan pagi. Aku terkejut saat melihat batu kerikil yang seperti sengaja dilemparkan dan menggelinding tepat di depan kakiku, aku langsung menoleh ke arah gerbang-melihat seorang laki-laki yang kini memperhatikanku dengan intens dari sela-sela geriginya. Karena dilanda rasa penasaran, aku langsung berjalan mendekati orang itu.

"Kenapa kamu melemparkan batu ini padaku?" tanyaku sambil memperlihatkan kerikil itu ke hadapannya.

"Aku hanya ingin kamu melihat ke arahku."

Dahiku mengernyit mendengar suaranya, semakin berkerut dalam saat menelaah ucapannya. "Apa kita pernah mengenal sebelumnya?"

Dia menggeleng pelan, "Tidak."

"Lalu?"

"Apakah kamu melihat anak-anak yang sedang bermain di tengah lapangan itu?" tanyanya, tangannya terulur menunjuk ke arah anak-anak seusia kami-sedang bermain di area lapangan yang tak jauh dari rumahku.

Kepalaku lantas melongok sedikit ke depan untuk ikut melihat arah pandangnya, "Ya aku melihatnya, ada apa?"

"Aku tidak tahu kenapa mereka semua tidak mau bermain denganku, jadi aku ingin mengajakmu bermain. Apa kamu mau bermain denganku?"

Memang benar, tidak mengenal satu sama lain bukanlah sebuah halangan untuk bermain dengan anak kecil berusia delapan tahunan seperti kami, aku yakin para anak-anak di luar sana bahkan tidak akan berkenalan dahulu jika ingin bermain. Sebab pada dasarnya, anak-anak kecil tidak akan peduli dengan status mereka yang saling mengenal atau tidak, karena satu-satunya yang ada di dalam kepala mereka adalah ; bermain. Hanya itu, tapi tetap saja aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku, tak percaya bahwa dia akan mengajakku-anak yang notabenenya tak pernah keluar dari perbatasan halaman kecuali saat ingin berangkat ke sekolah. "Maaf, tapi kita berbeda, aku tidak bisa bermain denganmu." tolakku halus.

Ketika aku ingin berbalik, langkahku terhenti saat mendengar anak laki-laki itu tergelak.

"Oh, ayolah anak kecil, bermain bahkan lebih menyenangkan daripada hanya sekadar menyapu dan menyiram tanaman-tanaman itu." Dagunya mendongak mengarah ke selang air yang tadi kuletakkan.

Lagi-lagi kepalaku menoleh mengikuti arah pandangnya, menatapi air yang mengalir dari selang dan bunga-bungaan mekar itu. Sejenak aku tergoda dengan apa yang dikatakannya hingga tanpa sadar kepalaku mengangguk perlahan-tanda setuju yang langsung dihadiahi senyum antusias olehnya.

"Tunggu di sini sebentar." ujarku sebelum berbalik menjauhinya, rambut kucir kudaku bergoyang-goyang seirama seiring langkah kakiku yang berjalan ke arah Bi Asih.

"Jangan, Kay. Bibi takut nanti kamu dipukul dan diomelin lagi sama dia."


Dia yang dimaksud Bibi adalah nenek sihir. Saat itu aku memang meminta izin kepada Bi Asih untuk pergi keluar, tapi wanita tua itu melarangku karena khawatir aku akan dipukul lagi.

"Bibi tenang saja, Kayla pergi cuma sepuluh menit, kok. Nanti balik lagi. Sebentaaar saja, Bi. Please!"

Aku memelas menatapnya dan menangkupkan kedua tanganku di depan dada, berharap Bi Asih akan luluh dengan permintaanku.

10 WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang