Anak perempuan itu menangis tersedu-sedu di kursi taman. Tidak peduli pada dinginnya udara dan salju yang berjatuhan di sekitarnya. Ia hanya memakai jaket tipis seadanya. Berbagi kehangatan dengan seekor kucing berbulu putih yang sedang dipeluknya.
"24, 24, 24." Anak itu terus mengulangi hitungannya dengan tatapan kosong ke depan. Seperti hantu di sudut ruangan.
"24," ia berhenti. Hening. "Fluffy, Kakak bisa marah kalau hitunganku cuma sampai 24. Aku harus bagaimana?" Fluffy-kucing miliknya-mendongak dan hanya menatapnya. "Ayah tidak peduli, Ibu selalu menuntutku lebih. Aku lelah hidup seperti ini," sambungnya putus asa.
****
Peri, sebagian besar orang mungkin mengganggap kami tidak pernah ada. Hehe, mereka salah! Tapi, aku memaklumi ketidakjelian mata mereka. Makhluk sepertiku memang berukuran mini dan sangat lincah dalam menyembunyikan diri. Wajar, jika kami dianggap tidak ada di dunia ini.
Sebuah hari, di musim dingin. Salju berguguran, memenuhi seluruh sudut kota. Dan inilah saatnya bagiku untuk makan. Ya, makan. Bukan makan seperti yang manusia lakukan. Karena makananku adalah jiwa anak-anak.
Tapi, aku tidak bisa mengambil jiwa anak-anak secara acak. Aku harus pandai memilah, menentukan mana jiwa yang paling putus asa untuk kumakan. Dan sebuah aura hitam yang menguar di langit mengantarkanku ke taman di sudut kota.
Tanaman-tanaman di sana sudah mati dan kering. Pohon-pohon kehilangan warna hijaunya, digantikan cabang-cabang kurus berwarna cokelat kelam. Dan di salah satu bangku taman, aku mendapati seorang anak perempuan yang sedang menangis. Aura hitam itu berasal darinya.
Mangsa. Aku menjilat bibir atasku dan langsung melesat maju, ke arah anak perempuan berambut pirang itu. Dia memiliki aura paling kelam yang paling kuminati.
"Siapa namamu, anak manis?"
Tubuh anak perempuan itu tiba-tiba menegang, batang lehernya langsung berputar ke sana ke mari mencari-mencari sesuatu.
"Fluffy, kau dengar suara tadi?" tanya anak perempuan itu pada kucingnya, namun hewan itu cuma diam dan mendengkur nikmat dalam pelukannya.
"Di sini, anak manis" aku melayang rendah hingga sejajar garis matanya. Tiba-tiba ia tergelak mundur hingga menabrak sandaran bangku taman. Kucing yang dipegangnya melotot padaku dan menggeram marah. Cih! Aku paling benci dengan hewan.
"Si-si-apa kau?" gagapnya dengan mulut dan mata sama-sama membuka lebar. Keterkejutannya bercampur rasa takut.
Dasar manusia! Aku heran, kenapa makhluk lemah ini bisa mendominasi dunia. Mungkin memang benar, kalau mereka lebih disayangi Tuhan daripada makhluk lainnya.
"Aku peri, sayang," jawabku selembut mungkin.
"Peri?" Suaranya terdengar kaku.
"Ya. Aku mendengar doamu barusan. Kau benci dengan hidupmu kan?" tebakku asal-asalan.
Anak perempuan itu mengangguk lemah, wow tebakanku benar rupanya.
"Aku bisa mengubah hidupmu menjadi lebih baik. Kuberi kau tiga permintaan, dan setelah permintaan ketiga. Kau akan merasa bahagia selama-lamanya." Menjadi makananku lebih tepatnya!
"Benarkah? Kau bisa mengabulkan permintaanku? Apa saja?"
"Apa saja" aku menyakinkannya. Yes! Aku mendapatkan jiwa baru.
Dan seulas senyum mengembang di wajahnya yang muram. Whuo! Aku terpana. Senyumnya sungguh indah, terbingkai cantik oleh rambut pirang panjangnya yang berkilauan. Ditambah mata birunya yang dalam dan bercahaya. Ia seperti peri besar tanpa sayap. Aku belum pernah melihat manusia secerah ini. Apakah karena kehadiranku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Boneka Kayu untuk Cinderella [Kumcer] [TAMAT]
Short StoryAku, Kamu bersama mengarungi Imajinasi dengan Cinderella ke negeri Mirror Mirror on the Wall berada. Dari sana, kita membeli oleh-oleh Boneka Kayu yang dipahat oleh seekor Peri Sial. Lapar, kita pun mengisi perut dengan mengudap Cap Cay Dhira. Semba...