Malam hinggap. Langit melebarkan kain sutra hitam di atas awan. Menaburkan bintang dan menggantung bulan untuk menerangi cakrawala.
Seperti biasa, di dekat pintu masuk jembatan yang melewati sebuah sungai kecil. Berdiri sebuah tenda mungil dengan meja dan kursi kayu lusuh di dalamnya.
Hanya tenda cokelat bulukan yang menjadi atap bagi sang koki dan pelanggan di sana. Tak lupa, beberapa pancang tiang di mana-mana demi menjaga keutuhan berdirinya rumah makan sederhana tersebut--kalau bisa disebut rumah.
Meski demikian, tempat itu tak pernah sepi dari serbuan para pelanggan. Mereka selalu berdatangan dan mengantri hingga ke pinggir jalan. Bahkan sebelum tenda sederhana itu dibuka.
"Cap cay lagi dua piring!" teriak Dhira. Gadis pelayan di tenda tersebut. Ia mengayunkan jari-jari gemulainya ke arah tumpukan piring kosong yang telah ditinggalkan.
Whus! Tempat makan yang terbuat dari kaca itu melayang ke arahnya. Lalu ia bawa dengan tuntunan satu jari telunjuk ke bak pencucian.
"Mana pesananku?" keluh seorang kakek tua berjenggot putih panjang. Ia memakai jubah ungu gelap dengan bordir berwarna perak di sekitar tempat kancingnya. Pejabat.
"Sabar sebentar lagi Tuan Merlan, pesanan anda sedang dibuat," ucap Dhira menyakinkan. Peluh menbanjiri senyum lelahnya.
Cepat-cepat Dhira berkelit di sana-sini sambil menawarkan minuman inlam--yang manis dan juga menyegarkan--kepada para tamunya agar mereka betah menunggu.
"Ayah, cepatlah! Kita harus memburu pesanan nih," teriak Dhira sambil menyingkap pintu tenda koki Ayahnya.
Di depannya, berdiri seorang pria bertubuh gempal dengan kepala setengah botak. Sedang sibuk mengatur pergerakan dari puluhan--katakanlah 35--wajan yang mengaduk dirinya sendiri. Melempar irisan sayur di dalamnya. Mengguncang-guncang serta memainkan minyak bersama kuah.
"Thalisum Cancius," mantra Ayah Dhira dan dari rak di dekatnya berterbangan puluhan botol bumbu di atas wajan penggorengan. Dari yang berwarna cokelat, bening hingga ungu.
Lada, garam, gula, dan macam-macam bumbu lainnya melayang keluar dari dalam botol. Menciptakan lautan pasir beraneka warna dan rasa di langit-langit tenda dapur.
"Hatchoo!" bersin Dhira. Hidungnya berair tatkala ada lada yang tak sengaja terhirup olehnya. "Aku akan mengurus pelanggan di luar," ucapnya berdalih agar dapat menghindari kabut bumbu tersebut.
"Mana pesananku?" teriak Tuan Merlan lagi di bangkunya sambil memukul meja dengan tangannya menggenggam sendok.
"Sabar, sebentar lagi akan selesai." Tapi masalahnya, pelanggan yang tidak sabaran mengantri di luar mulai menggebrak masuk.
"Kami tidak mau kehabisan," teriak seorang di antaranya. Khawatir.
"Rhadisum Caklum," mantra Dhira dan tiba-tiba saja pelanggan-pelanggan itu tidak dapat menggerakkan tubuhnya.
Hah?! Dhira keheranan. Dilihatnya ujung jari tangan kananya. Dia hanya ingin menenangkan para pelanggan marah dengan hawa sejuk yang dingin. Bukannya membekukan pergerakan mereka.
Seketika ujung mata Dhira menangkap tangan Tuan Merlan yang teracung di udara. Dia rupanya.
"Aku ke sini ingin makan dengan tenang. Hormatilah aku," ucapnya angkuh. Dan beberapa orang di sekitarnya langsung menunduk mencoba menyembunyikan ketidaksukaan mereka. Dasar pejabat, desis beberapa pelan.
"Repell Caspell," mantra Dhira dan seluruh pelanggan tidak sabaran tadi sembuh dari 'kutukan' Tuan Merlan.
"Hei! Berani-beraninya kau membatalkan sihirku tanpa ijin," geram Tuan Merlan. "Aku pejabat di tempat ini. Dan sudah seharusnya aku dihormati di tendamu yang kumuh."
Cukup! Darah Dhira mendidih, ia sudah lapang dada menerima sikap Tuan Merlan yang selalu mengomel. Tapi menghina lapaknya. Itu tidak bisa dimaafkan.
"Rhadisum--"
"Ini cap caynya," seru Ayah Dhira sambil keluar dari tenda dapur. Sorak-sorai terdengar saat itu juga. Kebahagiaan terpancar jelas dari raut wajah semua orang--terutama Tuan Merlan.
Syukurlah, Dhira menghela nafas lega. Kalau ia tadi kelepasan, mungkin...
"Satu untuk semua," teriak Ayah Dhira dan puluhan piring putih berisi cap cay panas melayang keluar dari dalam tenda koki. Cap cay-cap cay itu beraroma wangi, mengundang liur siapa pun yang menciumnya. Bebauan rempah sarat terasa. Benar-benar sedap.
Sepiring cap cay terbesar terhidang di depan Tuan Merlan. Uapnya mengepul. Cap caynya nampak berkilau karena kuah minyak yang kental. Sangat mengundang selera. Langsung saja pria tua itu melahapnya.
Seluruh pelanggan mendapatkan jatahnya. Bahkan yang sedang menunggu di pinggir jalan sekalipun.
Semua makan dengan lahap. Ricuh yang hampir meledak tadi teredam oleh cap cay enak yang menenggelamkan orang-orang ke setiap potongan sayurnya yang tipis.
Ayah Dhira tersenyum. Ia melap peluh yang keluar dari dahinya.
"Syukurlah mereka suka," senang Ayah Dhira. Kebahagiaan karena makanannya disukai merupakan penghargaan terbesar seorang koki jalanan.
"Yah, aku kelelahan sekarang. Lihatlah! Banyak sekali piring yang aku cuci nanti." Dhira justru mengeluh.
"Bagus lagi kalau makanan sederhana kita laris-manis." Ayah Dhira kembali masuk ke dalam tenda koki. Diikuti Dhira di belakangnya.
"Kuharap kerja keras kita berhasil." Dhira menatap ke luar dari celah pintu kain tenda koki. "Aku tidak mau usaha kita sia-sia." Dhira menatap Ayahnya.
Pria gempal di hadapannya tiba-tiba menyeringai sambil memamerkan retina matanya yang merah menyala. Lalu redup kembali seperti semula.
"Hei nak, kalau ingin menguasai manusia. Harus melalui perutnya. Jika mereka semua sudah suka, kita bisa melakukan apa saja terhadap mereka." Ayah Dhira memamerkan botol ungu berisi cairan gelap yang sudah setengah isinya kepada Dhira.
"Ya, ya, Ayah. Misi kita menguasai manusia dimulai dari kota ini. Dengan meracuni satu kota dengan ramuan 'pengendali' kita." Retina mata Dhira tiba-tiba menyala merah. Terang. Lalu meredup kembali diiringi seringai lelah yang bangga. Seolah ia baru saja memenangkan sesuatu.
"Dan inilah saatnya," ucap Ayah Dhira. "Thalisum--"
"Chifasum," sambung Dhira.
"Rhedonams," rapal mereka bersama dengan retina berpendar merah.
Dan di saat yang sama. Orang-orang yang baru saja selesai makan dan mengaduh kekenyangan tiba-tiba berdiri bangkit dengan kaku. Tak terkecuali Tuan Merlan.
Mereka semua berdiri seperti patung yang baru saja dipahat. Dhira dan Ayahnya keluar dari dalam tenda koki. Menatap kerumunan manusia kaku dengan wajah puas dan bangga.
"Wah, wah Tuan Merlan. Sekarang kaulah yang harus hormat padaku," sindir Dhira sambil memainkan janggut putih Tuan Merlan. Tampak, kalau sebenarnya Tuan Merlan sedang mencoba melawan dari dalam bola matanya.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang Putriku?" tanya Ayah Dhira.
"Seperti rencana awal, ayo serang kerajaan. Kita sudah mendapatkan orang-orang bagus." Tiba-tiba perut Dhira berbunyi. Menggerutu dengan sendirinya. "Tapi aku lapar," keluhnya.
"Ayo makan."
"Yeay! Cap cay buatan Ayah memang yang terbaik."
****
Sila dukung pengarang dengan memberikan vote dan komentar^^
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Boneka Kayu untuk Cinderella [Kumcer] [TAMAT]
Short StoryAku, Kamu bersama mengarungi Imajinasi dengan Cinderella ke negeri Mirror Mirror on the Wall berada. Dari sana, kita membeli oleh-oleh Boneka Kayu yang dipahat oleh seekor Peri Sial. Lapar, kita pun mengisi perut dengan mengudap Cap Cay Dhira. Semba...