Siang itu, bukan hal aneh dan terlarang lagi ketika aku dan anak-anak didikku bermain-main di halaman sekolah pada jam pelajaran. Apa permainan kali ini? Hari ini kami bermain Serka dan Serki. Apalagi itu?
Permainan ini dilakukan karena telah ditemukan bahwa anggota kelas IX ternyata masih belum memahami hitung-hitungan bilangan bulat. Bilangan bulat itu kan anggotanya cuma tiga, kalau tidak bilangan bulat positif, ya bilangan bulat negatif. Jika tidak keduanya, berarti pasti nol. Betul kan? Nah, operasi matematika pada ketiga golongan itu membuat pusing pala. Makanya, kami harus bermain.
Permainannya sederhana saja. Zakaria diminta membuat sebuah garis panjang melintasi halaman sekolah. Sengaja garis dibuat dengan kapur. Tujuannya agar nanti mudah dibersihkan. Kalian tahu lah bagaimana tegasnya ibu kurikulum. Jika halaman sekolah ditinggalkan dalam kondisi tercoret-coret, bisa-bisa mereka di-black list selamanya.
Setelah garis dibuat, tepat di tengah garis dibuat sebuah titik yang diberi angka nol. Lalu disepakati mereka akan menghadap ke arah utara. Maka garis di bagian barat titik nol adalah wilayah negatif. Sedangkan garis di bagian timur titik nol adalah wilayah positif.
Sekarang giliran anak-anak perempuan membuat tanda untuk titik positif 1 sampai 10 di wilayah positif. Setiap titik diletakkan tepat pada sebuah paving heksa. Antar titik diberi jarak satu paving. Tidak sabar menanti, anak-anak laki-laki segera menggarap wilayah negatif. Lima menit kemudian, garis bilangan itu telah selesai dibuat. Tidak bisa tidak, aku tersenyum puas melihat semangat dan kerja sama anak didikku.
"Baiklah. Sekarang mari kita bermain. Untuk pertama, saya akan menjadi pion. Kalian silahkan mengamati sambil membuat catatan di buku yang kalian bawa. Saya memulai dari titik nol. Zakaria, sebagai reward atas garismu yang sempurna ini, buatlah sebuah soal untuk saya peragakan."
Zakaria berpikir sejenak.
"5 – 3, Bu." Kata Zakaria.
"Saya yakin kalian sudah tahu jawabannya, ya." Kataku.
Anak-anak tertawa.
"Oke. Lima, artinya lima positif, berarti dari titik nol ini, saya akan melangkah lima langkah ke wilayah positif. Nama lainnya, serka lima." Sambil berkata demikian, aku melangkah melewati dua buah paving menuju titik 1, lalu ke titik 2, dan baru berhenti di titik lima.
"Kalian lihat? Sekarang saya sudah berdiri di titik lima. Selanjutnya adalah dikurangi tiga. Dengan kata lain, kita akan menambahkan negatif tiga pada angka lima. Berarti dari tempat saya sekarang, saya akan melangkah menuju wilayah negatif sebanyak tiga langkah. Kita sebut Serki tiga." Aku peragakan apa yang kukatakan. Terakhir aku berdiri di titik dua.
"Jadi, lima dikurangi tiga, atau lima ditambah negatif tiga, hasilnya adalah dua." Kataku. Anak-anak manggut-manggut.
"Zakaria, sekarang peragakan dua ditambah negatif tiga."
Zakaria menggantikan tempatku. Lalu dengan ragu bergeser tiga langkah menuju wilayah negatif.
"Negatif satu, Bu." Jawab Zakaria.
"Betul. Sekarang Zakaria boleh menunjuk seorang teman, lalu memberi teman tersebut sebuah soal untuk diselesaikan. Untuk saat ini, khusus penjumlahan dan pengurangan saja ya."
Anak-anak sepakat. Untuk beberapa saat, aku masih harus memberikan bimbingan. Tetapi dengan belajar sambil bermain, anak-anak menjadi cepat paham. Mereka segera saja berlomba membuat sebanyak mungkin soal dan penyelesaian yang benar. Aku mengambil jarak untuk mengambil foto.
Saat itulah tertangkap kembali betapa gersang terlihatnya sekolah kami. Seandainya ada sebuah taman tepat di depan ruang kelas.
"Bu, sedang melamunkan apa?" tanya Zakaria sambil berdiri di sebelahku. Matanya beredar mencoba mencari jejak arah pandangku.
"Aku teringat lagi kesan pertamaku saat datang ke sekolah ini. Gersang. Apa kalian tidak pernah berusaha menanam apa gitu?" tanyaku.
Zakaria tertawa.
"Lahan cuma segitu, mau nanam apa, Bu. Dikasih pot saja paling juga hanya akan menjadi bahan tendangan teman-teman."
Kami tertawa.
"Jadi kita butuh metode menanam yang lebih kuat, unik, dan mudah dirawat."
"Apa?" kejar Zakaria.
Aku berdiam sejenak. Aku pernah melihat berbagai cara menanam.
"Vertical garden." Ucapku mantap.
"Apa itu?"
"Taman yang dibuat dalam posisi berdiri." Kataku lalu mengeluarkan HP. Aku langsung browsing gambar vertical garden. Kutunjukkan hasil perncarianku pada mereka. Zakaria tersenyum lebar untuk usulanku.
"Kami siap menjadi relawan, Bu. Tetapi lebih dulu Bu Dani harus meyakinkan ... Ah, masa tidak tahu, Bu?" kata Zakaria.
Kami semua merasa paham apa yang dimaksud oleh Zakaria.
"Yah, saya akan berjuang pada rapat di akhir minggu ini. Doakan ya."
Kami semua ber-aamiin dengan penuh kesungguhan.
Jam Matematika tinggal sepuluh menit. Saatnya menyikat halaman. Yuuk.
AV
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And the Vertical Garden
Teen FictionVertical Garden itu bukan hanya sebuah taman yang dibuat karena lahan terbatas. Dia melukiskan aku. Dia prasasti keberadaanku. Dan murid-muridku.